Share

Bab 3

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Selepas bada' isya, ada yang mengetuk pintu belakang. Setelah ku'buka, ternyata Mbak Win.

"Assalamu'alaikum, Sit. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Zizah. Kamu yang sabar, ya. Maaf tadi tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu 'kan satu kelompok itu. Ngga bisa dikalahkan."

"Mbak Win kok malah repot beliin oleh-oleh segala. Tidak apa-apa, Mbak. Siti paham."

RT 01 memang terkenal dengan warganya yang unik. Mereka selalu mengabaikan, bahkan enggan dekat dengan tetangga yang dianggap miskin. Saling berlomba memperlihatkan materi yang mereka miliki. Meski masih ada beberapa tetangga yang baik, tapi mereka tidak berani bersuara dan memilih diam. Karena tidak ingin ada keributan yang bisa ber'episode. Seperti halnya denganku. Lebih memilih diam.

"Tidak repot, Sit. Soal uang yang kamu titipkan sama Mbak Narti, harus kamu tanyakan lagi, Sit. Tuman kalau didiamkan saja. Besok lagi kalau mau nitip, bisa ke aku saja."

"Iya, Mbak. Besok saya akan tanyakan lagi soal ini."

"Ya sudah, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

—---------

"Kamu pikir aku nilep uang kamu, Sit? Cihh …. Hidupku saja lebih makmur dari kamu. Jadi ngapain aku pakai uang kamu." Suara Mbak Narti seperti petir ketika pagi-pagi aku mendatangi rumahnya untuk menanyakan uang RT-nan.

Aku masih belum menjawab sepatah katapun dari begitu banyak ucapan yang terlontar darinya.

"Sudah Mbak Narti bicara? Sekarang gantian. Dari awal saya tidak menuduh Mbak Narti seperti yang diucapkan barusan. Saya hanya menanyakan ke mana uang RT-nan yang saya titipkan setiap bulan? Kok sampai tidak ada catatannya."

"Assalamu'alaikum." Terdengar ucapan salam yang menghentikan pembicaraan kami.

Mbak Narti yang tadi ada di ruang tengah bersamaku langsung berjalan ke depan. Aku pun mengikutinya.

"Mas Ripai, kok sudah pulang. Katanya masih dua hari lagi."

"Memangnya kamu tidak senang, suamimu pulang lebih awal? Pekerjaan sudah beres semua. Lhoh, ada Siti ternyata," sapa Mas Ripai.

Aku mengulas senyum. "Iya, Mas."

"Sana, kamu pulang. Aku mau ngurusin suamiku yang baru pulang," usir Mbak Narti.

"Tapi, masalah uang RT belum Mbak Narti jawab."

Sebenarnya tidak enak juga meneruskan pembicaraan ini. Tapi memang semua harus segera diluruskan. Bukan masalah uang yang susah payah aku sisihkan, tapi lebih ke soal kejujuran.

Mbak Narti melirik kesal. Sepertinya dia marah aku bicara seperti barusan di depan suaminya.

"Uang RT? Memangnya ada apa, Sit?"

"Maaf, ya, Mbak Narti. Kalau saya harus menceritakan sama Mas Ripai."

Aku pun memberitahu semua pada suaminya Mbak Narti.

"Uangnya Siti kamu kemanain, Dek? Apa uang yang aku kasih kurang? Sampai kamu memakai uang Siti?" tegur Mas Ripai.

"Sit, berapa uang yang dipakai istriku? Biar aku ganti." Mas Ripai terlihat mengambil dompet dari dalam tasnya.

"Eh … enak saja mau ganti. Aku 'kan tidak pakai uang Siti, Mas. Tuh, tanya saja sama Rini. Uangnya sudah aku kasih ke dia setiap bulannya. Masalah dicatat apa tidak, kamu tanyakan langsung saja, Sit."

Mbak Narti menarik tanganku mengajak keluar. "Awas kamu, ya, Sit, kalau sampai Mas Ripai marah sama aku. Harusnya hari ini aku manja-manjaan sama dia setelah beberapa hari tidak bertemu. Eh … malah kena marah. Cepetan sana ke rumah Rini." Mbak Narti mendorong bahuku.

Rini … ternyata dia sumber masalahnya. Sebagai bendara harusnya amanah, meski hubungan kami memang tidak baik.

-

"Assalamu'alaikum," salamku sambil mengetuk pintu yang sudah terbuka.

"Wa'alaikumsalam," jawab Mas Agus yang bertel*nj*ng dada dan hanya mengenakan sarung. Sepertinya dia baru bangun tidur. Pria pemalas. "Ngapain kamu pagi-pagi sudah sampai rumahku?" tanya'nya.

"Rumah Rini maksudnya? Aku mau bertemu sama dia."

"Siapa, Mas?" teriak Rini dari dalam.

"Orang miskin, Sayang," jawab Mas Agus sembari menyeruput kopi yang sudah tersedia di meja luar.

Ingin sekali merebut kopi tersebut dan menumpahkan ke wajahnya. Tapi … aku harus bisa menahan.

Sabar Siti …. Tidak ada gunanya meladeni orang seperti Agus, batinku menenangkan diri.

"Oh iya, orang miskin. Ngapain kamu datang ke rumahku?" sambung Rini.

Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tetap menjaga kewarasan agar tidak terpancing oleh mereka.

"Aku cuma mau tanya, uang RT yang dikasih Mbak Narti kenapa tidak kamu catat?"

"Uang apa, ya? Memangnya kamu punya uang?" jawab Rini menjengkelkan.

"Ya sudah, aku mau ke rumah Bu RT saja. Biar semuanya clear."

Aku langsung pergi dari hadapan mereka. Risih juga lama-lama menatap sepasang suami istri yang tidak w*r*s.

Akhirnya aku pun sampai di rumah Bu RT. Dan aku yakin, pasti akan ada drama lagi. Karena Bu RT dan Rini adalah satu klop.

"Mbak Siti. Ada apa, Mbak?" tanya Pak RT ketika melihatku datang. Beliau sedang menyiram bunga.

"Bu RT, ada, Pak?"

"Oh, Ibu sedang belanja. Silahkan masuk!"

Pak RT sama istrinya memang sangat berbanding terbalik, Beliau merangkul semua warga tanpa terkecuali.

Baru mau masuk, Bu RT datang. Wajahnya sangat tidak mengenakkan. "Ada apa pagi-pagi nemuin suami saya?"

"Bukan nemuin Bapak, tapi Mbak Siti datang mencari Ibu."

"Oh. Ada apa, Mbak?"

"Saya mau meluruskan soal uang RT kemarin, Bu. Maaf kalau pagi-pagi jadi mengganggu."

"Memangnya ada masalah apa, Mbak?" tanya Pak RT. Apa ini menyangkut soal Mbak Siti yang tidak ikut piknik? Kemarin saya dengar dari beberapa warga. Soalnya saya memang tidak ikut. Karena dua hari ini ada kepentingan."

"Ini urusan anggota RT ibu-ibu. Bapak tidak usah ikut-ikutan!"

"Bapak 'kan ketua RT, Bu. Jadi memang harus tahu."

"Tapi soal anggota RT ibu-ibu 'kan urusannya Ibu sama pengurus lainnya."

Pak RT dan Bu RT malah berdebat sendiri. Aku yang hendak meluruskan masalah jadi bingung.

Tiba-tiba Rini datang. "Sit, ngapain juga kamu ke rumah Bu RT?"

"Lhoh, jelas aku datang ke sini. Masalahnya 'kan menyangkut soal uang RT."

"Mbak Siti, silahkan jelaskan dari awal! Biar saya paham duduk permasalahannya," ucap Pak RT yang kelihatan menahan sakit karena beberapa kali Bu RT mencubit lengan beliau.

Sepertinya Bu RT masih menyimpan kesalahpahaman antara aku dan suaminya. Dia pikir kami memiliki hubungan hanya karena Pak RT pernah memberi tumpangan saat aku pulang dari pasar. Padahal waktu itu aku juga bersama Zizah.

Bukan warga RT 01 kalau tidak membesar-besarkan masalah menjadi bahan gibah.

Setelah aku menjelaskan duduk permasalahan pada Pak RT. Beliau langsung menanyakan uang tersebut pada Rini.

"Mbak Rini 'kan bendaharanya. Dari penjelasan Mbak Siti, katanya uang tersebut sudah diberikan pada Mbak Rini oleh Mbak Narti. Terus, kenapa tidak ada catatannya?"

"U-uang tersebut memang tidak saya catat untuk pembayaran bulanan RT, Pak. Tapi saya catat sebagai cicilan hutang Siti pada saya," jawabnya membuatku kaget. Karena selama ini satu rupiahpun aku tidak pernah memiliki hutang pada Rini. Jadi bagaimana bisa dia memberi jawaban seperti itu.

"Cicilan apa maksud kamu, Rin? Jangan ngawur. Aku tidak punya hutang sama kamu."

"Jangan pura-pura lupa, Sit. Kamu ingat waktu minta uang Mas Agus dengan alasan Zizah sakit? Ingat ngga?"

Aku mencoba mencerna ucapan Rini sambil mengingat hal yang dia maksud.

"Iya, aku memang pernah minta uang sama Mas Agus untuk pengobatan Zizah. Wajar 'kan. Karena dia memang bapaknya."

"Terus, kamu pikir itu uang Mas Agus? Dari mana pengangguran bisa punya uang? Itu uangku tahu."

Astaghfirullah, maksud Rini uang yang Mas Agus berikan untuk pengobatan Zizah adalah hutang?

"Kenapa kamu tidak bilang dari awal, Rin? Kalau tahu begitu, aku pasti tidak akan menerimanya."

"Heleh, sok-sok'an ngga butuh duit. Jelas-jelas kamu minta uang Mas Agus waktu itu."

"Soal itu 'kan urusan pribadi antara Mbak Rini, Mas Agus dan juga Mbak Siti. Tidak ada sangkut pautnya dengan uang RT. Kalau seperti itu yang dirugikan jelas Mbak Siti." Pak RT kembali bicara.

"Bapakkkk," ucap Bu RT pelan, tapi menekan.

"Baiklah, Rin. Silahkan kamu ambil uang tersebut sebagai cicilan atas bantuan Mas Agus untuk anaknya yang kamu anggap sebagai hutang. Kamu bilang saja masih kurang berapa hutangku. Akan segera aku lunasi."

"Pak RT, Bu RT maaf kalau sudah menyita waktu Bapak dan Ibu. Sekalian saya mau bilang, kalau mulai detik ini, saya tidak ikut anggota RT lagi. Terserah saya mau dianggap warga RT 01 atau tidak. Assalamu'alaikum."

Aku berusaha memberanikan diri untuk bersuara. Lebih baik memupus seperti itu. Daripada harus berhadapan dengan orang-orang aneh.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status