Share

Bab 4

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Hari ini aku akan disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Setelah kemarin dua hari tidak kerja. Sebenarnya tidak tega meninggalkan simbok yang belum sembuh. Tapi namanya buruh ikut orang, tidak bisa sesuka hati.

Hari ini Zizah memang tidak ikut. Dia aku suruh nungguin simbok. Dari semalam sudah aku wanti-wanti agar tidak bermain.

Saat berangkat, berjalan melewati ibu-ibu yang sedang belanja. Mereka memandangku dengan tatapan aneh. Entah ada hal apa lagi. Tapi aku tetap berusaha menyapa mereka.

"Ibu-ibu … cepetan pulang! Nanti suaminya disamperin perempuan ngga bener lho." Tiba-tiba saja Rini muncul yang entah datangnya dari mana. Aku juga tidak tahu maksud dia bicara seperti itu.

Ibu-ibu yang tadi berkerumun belanja, seketika bubar.

"Cepetan, nanti suami kita digodain janda," celetuk salah satu seseibu–Bu Nur yang lewat di depanku.

"Bu, tunggu!" panggilku, menyusul langkahnya.

Dia menatapku sinis. "Ada apa?" tanya Bu Nur ketus.

"Maaf sebelumnya, tadi kenapa Bu Nur bicara seperti itu, ya, di depan saya? A-pa saya ada salah sama Ibu?"

"Eh, Sit. Kamu itu 'kan janda. Harusnya sebagai janda bisa jaga diri. Jangan malah godain suami orang. Ibu-ibu RT 01 'kan jadi tidak tenang," jawabnya membuatku mengernyitkan kening. Jujur, aku belum paham.

"Godain suami orang? Memangnya selama saya menjadi janda, pernah godain suami Bu Nur? Saya tahu, bagaimana harus bersikap sebagai perempuan, apalagi dengan status janda yang sebagian orang berpikiran sempit akan memandang sebelah mata. Salah satunya seperti Bu Nur ini."

"Kalau bisa jaga diri, ngapain pagi-pagi sudah godain Mas Agus dan Pak RT?"

"Saya? Godain Mas Agus dan Pak RT? Ibu dengar dari siapa? Kalau tidak tahu yang sebenarnya, jangan mudah percaya, Bu. Jadinya fitnah lho."

"Dia itu sekarang memang pintar bicara, Bu Nur. Makanya pinter juga ngerayu suami orang." Dari belakang terdengar ucapan dari seseorang yang sudah bisa kutebak siapa.

Aku sengaja tidak menoleh, biar dia datang menghampiri.

Menatapnya dan hanya bisa mengulas senyum ketika Rini sudah berdiri di hadapanku. Selama ini simbok selalu menyuruhku sabar dan nerimo saat ada orang yang berbuat tidak baik. Tapi sepertinya, kesabaranku menghadapi warga RT 01 tidak akan berlaku lagi. Mereka memang harus dilawan. Terutama warga seperti Rini.

"Lagi-lagi kamu mengumbar fitnah tentangku. Heran. Maunya apa?"

"Memang kemarin pagi kamu mendatangi Mas Agus 'kan? Coba kalau ngga ada aku. Pasti sudah merayunya."

"Sepertinya otak kamu sudah geser, ya, Rin. Jelas-jelas aku datang untuk meluruskan masalah soal uang RT yang tidak kamu catat. Lagian, untuk apa aku merayu Mas Agus. Aku saja lebih memilih melepas dia. Dan untuk Bu Nur, mulailah menjadi warga yang cerdas."

Aku melenggang santai meninggalkan mereka.

"Sitii … urusan kita belum selesai, janda g*t*l," teriak Rini.

Aku heran kenapa Rini sangat membenciku. Harusnya 'kan aku karena dia sudah menjadi pelakor di rumah tanggaku dengan Mas Agus.

-

"Cilok … cilok …. Cilok lembut dengan isi berbagai varian," ucapku sedikit teriak sambil mendorong gerobak. Pekerjaan yang aku lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan pertama, buruh cuci.

"Mbak Siti, cilok," panggil salah satu pekerja toko yang sudah menjadi pelanggan. Aku pun segera menepikan gerobak tak jauh dari tempat dia bekerja.

"Dua hari kok ngga kelihatan, Mbak? Kemarin banyak yang nanyain," terangnya.

"Saya libur, Mbak. Simbok sakit."

"Mbak, mau ciloknya," ucap seorang bapak, lalu beliau duduk di pinggir. Menunggu.

Aku memberitahu beberapa varian isi cilok pada beliau agar bisa memilih. Tapi beliau hanya diam saja. Pandangannya pun terlihat kosong menatap ke arah jalan.

"Pak, Bapak tidak apa-apa?" tanyaku sampai tiga kali mengulang dan baru direspon.

"O-oh maaf-maaf. Ciloknya sudah jadi?" tanya'nya.

"Belum saya buatkan, Pak. Karena tadi Bapak tidak menjawab saat saya tanya ciloknya mau yang isi apa."

"Astaga … maaf sekali, Mbak." Bapak tersebut melepas kaca mata yang dikenakan dan mengusap wajah dengan kedua tangannya.

Kalau dilihat dari penampilannya, beliau sepertinya orang berada. Tapi kenapa jajan cilok di pinggiran seperti ini? Memang tidak ada yang salah, aku hanya heran saja.

Akhirnya aku duduk di samping beliau dengan menjaga jarak. Rasanya tidak sopan kalau tetap berdiri di depan beliau.

"Bapak baik-baik saja 'kan?"

Beliau menoleh dan tersenyum. "Apa saya terlihat tidak baik-baik saja? Sampai Mbak mengajukan pertanyaan seperti barusan?"

"Ma-maaf, bukan maksud saya lancang. Cuma … raut wajah Bapak menunjukkan ada beban."

Bapak tersebut tertawa terpingkal sampai terbatuk. Entah kata-kata mana yang lucu.

"Mbak itu mengingatkan saya dengan seseorang."

"Seseorang?"

"Iya, seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya dan selalu membuat saya bisa tertawa lepas."

Di tengah-tengah obrolan kami, beliau mendapat telepon. Beliau langsung berdiri menjauh dariku.

"Anak itu, selalu saja bikin ulah. Saya akan segera pulang." Sebuah jawaban yang kudengar.

"Maaf, Mbak. Saya tidak jadi beli ciloknya. Mungkin lain kali kalau kita bertemu lagi. Terima kasih karena sudah membuat otot di wajah saya tidak kaku lagi dengan pertanyaan yang membuat saya tertawa."

Bapak yang aku tidak tahu dia siapa masuk ke dalam mobil berwarna putih yang terparkir beberapa langkah dari tempatku berdiri.

-

"Assalamu'alaikum."

Tidak berapa lama Zizah muncul dari balik pintu. "Wa'alaikumsalam, Mak." Dia mencium punggung tanganku.

Aku sedikit berjongkok. "Emak ada jajan untuk Zizah." Aku memberikan sebungkus roti bakar rasa cokelat kesukaannya.

"Terima kasih, Mak." Zizah lari sambil memanggil neneknya. "Mbah, Zizah dibeliin roti bakar."

Aku mengikuti langkah Zizah masuk ke dalam kamar simbok.

"Assalamu'alaikum, Mbok."

"Wa'alaikumsalam. Kok sudah pulang, Sit?"

"Iya, Mbok."

Hari ini memang pulang lebih awal dari biasanya. Tadi cilok yang aku jual habis lebih cepat.

"Ini Siti bawa nasi bungkus sama buah jeruk untuk Simbok."

"Kamu tidak usah beli apa-apa untuk Simbok. Uangnya untuk keperluan yang lain saja."

"Keperluan yang lain besok pasti ada rezeki lagi, Mbok. Yang penting Simbok cepat sehat."

"Simbok bikin kamu susah, ya, Sit."

"Bikin susah apanya, sih, Mbok. Justru Siti yang minta maaf karena belum bisa membahagiakan orang tua. Sampai Bapak sudah meninggal."

"Jangan bicara seperti itu. Kamu itu anak yang baik, Sit. Berbakti."

"Insyaa Allah, Mbok."

Aku menatap Zizah yang tiba-tiba diam.

"Zizah … kok tidak dimakan rotinya?"

"Mak, Zizah ngga punya Bapak, ya, Mak?" Pertanyaan Zizah membuat dadaku bergetar.

"Kok Zizah bilang begitu? Bapaknya Zizah, ya, Bapak Agus."

Zizah menggelengkan kepala.

Aku dan simbok menatap satu sama lain.

"Tadi, Zizah panggil Bapak, tapi Zizah dibentak sama Ibu Rini."

"Dibentak? Oh … Ibu Rini tidak bentak Zizah. Dia memang suaranya besar." Berusaha menjelaskan sebisaku.

"Tadi begini, Mak." Zizah memperagakan Rini.

Apa? Rini tega berkata seperti itu pada anak kecil. Dia juga menjewer Zizah?

Kali ini Rini benar-benar sudah kelewat batas.

"Sit, maafin Simbok karena tidak bisa menjaga Zizah."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status