“Hei, buka pintunya!”
Dengan napas yang terengah-engah, Hazel berteriak di depan pintu pagar sebuah rumah yang letaknya ada di ujung gang pemukiman miskin itu. Sebab tak ada sambutan meski sudah lima menit berlalu, Hazel nekat untuk masuk tanpa izin si pemilik rumah itu. Ia berusaha mendobrak pintu pagar setinggi dadanya itu dengan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Hazel ke rumah itu bukan tanpa alasan. Ia ke sana sebab ingin mencari ibunya. Pesan terakhir yang ia terima dari nomor ibunya terlihat aneh. Jadi wanita itu pergi ke satu-satunya tempat yang ia curigai. Ia yakin jika bos ibunya-lah yang menjadi dalang dari kejanggalan itu.“Aku pulang larut malam, jadi jangan menungguku.” Begitulah pesan dari Ibu Hazel.Tidak seperti biasanya, selama 22 tahun Hazel hidup, ibunya –Citra– tidak pernah menyebut dirinya sendiri sebagai ‘aku’ saat berbicara ataupun berkirim pesan. Lalu, satu hal lagi yang membuat Hazel makin yakin jika pesan itu tidak ditulis langsung oleh ibunya adalah... tidak ada kalimat yang menyuruhnya untuk mengunci pintu depan. Padahal ibunya itu selalu menulisnya di akhir pesan. Hazel sendiri paham maksud ibunya itu. Ibunya berpesan demikian sebab tingkat kriminalitas di pemukiman mereka cukup tinggi belakang ini.“Ibu!” teriak Hazel sambil melihat-lihat ke arah jendela rumah milik Rendra –nama bos ibunya.Alasan kenapa Hazel mencurigai Rendra karena ia menganggap Rendra adalah pria gila yang licik. Sejak ibunya bekerja di kedai milik Rendra, Hazel tidak pernah sedikit pun menghormati pria itu. Kebenciannya semakin bertambah ketika ia tidak sengaja mendengar percakapan ibunya dengan Rendra. Saat itu Rendra meminta izin kepada Citra untuk menjadikan Hazel istri keduanya. Bisa saja karena ditolak, pria itu menjadi semakin gila dan nekat dengan cara menculik ibunya agar Hazel mau menerima lamaran itu. Begitulah yang dipikirkan oleh Hazel.Prang!Tiba-tiba benda pecah terdengar dari dalam rumah itu. Hazel semakin panik. Ia tak mau membuang waktunya lagi, jadi ia memilih untuk memanjat pagar itu meskipun sedikit kesulitan. Hazel tidak peduli jika ia nantinya dikira maling karena berani menerobos masuk ke rumah itu tepat pukul sepuluh malam.Setelah berhasil masuk ke pekarangan rumah itu, Hazel langsung berlari ke pintu depan utama. Ia menggedor-gedor pintu tersebut sambil berteriak memanggil ibunya.“Ibu!” Hazel berteriak lebih dari tiga kali.Hingga tiga menit berlalu, akhirnya si pemilik rumah datang membukakan pintu untuknya.“Oh, Hazel.... Ada apa?” tanya Rendra dengan tampang sok polosnya.Pria berumur 32 tahun itu berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia menatap Hazel yang tingginya jauh lebih pendek darinya, lalu ia menyeringai samar.“Jangan sok polos! Di mana ibuku?! Kau menculiknya, ‘kan?” tuduh Hazel dengan sengit.“Oh, ibumu, ya. Memang benar dia ada di sini, tapi aku tidak menculiknya. Aku sengaja memintanya datang. Selama istriku tidak ada di sini, aku meminta dia untuk membuatkan makan malam. Apa dia belum bercerita kepadamu?” terang Rendra dengan tenang.“Kau bisa memasak sendiri, Bodoh! Ibuku sudah cukup lelah bekerja di kedaimu, jadi tolong jangan memberinya pekerjaan lain!” sembur Hazel sambil mendorong tubuh Rendra ke belakang agar pria itu tidak lagi menghalangi jalannya untuk masuk ke rumah tersebut.“Lurus saja terus! Ibumu ada di dapur,” kata Rendra dengan tenang.Pria itu menyeringai sambil menepuk sebentar bahunya yang tadi sempat didorong oleh Hazel. Saat Hazel masuk ke rumahnya, ia mengekori wanita itu dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.“Ibu?” panggil Hazel saat ia tiba di ambang pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan dapur.Wanita berusia 22 tahun itu mematung di tempatnya. Pria itu berbohong. Kenyataannya Ibu Hazel tidak ada di dapur, bahkan tidak ada tanda-tanda jika tempat itu baru saja dipakai untuk memasak. Saat Hazel menyadari jika Rendra telah menipunya, ia segera berbalik.“Pria busuk si— ough!”Namun, belum sempat Hazel meninggalkan tempat berdirinya itu, tubuhnya lebih dulu menabrak Rendra.“Brengsek, kau menipuku! H-hei!” Hazel berteriak saat kedua tangannya ditahan oleh Rendra secara tiba-tiba.“L-Lepaskan, Sialan!” teriak Hazel seraya berusaha untuk membebaskan diri dari jeratan Rendra.Tenaga Rendra jauh lebih kuat daripada Hazel, jadi wanita itu tidak bisa melepaskan diri.“Lepaskan aku atau aku akan berteriak, dengan begitu orang lain akan datang lalu memukulimu!” ancam Hazel sambil menatap tajam ke arah Rendra tanpa rasa takut.Rendra sama sekali tidak merasa terancam, ia malah menyeringai lebar. Lagipula rumahnya terletak paling ujung di gang itu, sedangkan kiri-kanannya hanya ada bangunan tak berpenghuni, apalagi depannya. Hanya ada lahan kosong yang belum laku dijual oleh pemiliknya. Jadi mustahil jika teriakan Hazel terdengar oleh penduduk yang tinggal di pemukiman kumuh itu.“Coba saja,” ucap Rendra.Belum sempat Hazel berteriak, Rendra lebih dulu menyentak tangan Hazel hingga tubuh mungil itu menempel padanya. Ketika Hazel mencoba untuk berteriak kembali, Rendra langsung menyumpali mulut Hazel dengan sapu tangan yang sejak tadi tersimpan di saku celananya.Setelah mulut Hazel terkunci rapat, Rendra menyeret Hazel masuk ke kamar kosong yang ada di dekat dapur. Hanya kamar itu yang letaknya paling dekat dari jangkauannya.Bruk!Rendra mendorong tubuh Hazel hingga ia jatuh ke kasur empuk di kamar itu. Hazel menggunakan kesempatan itu untuk melepaskan kain yang menyumpali mulutnya. Sepertinya Rendra sengaja memberi obat di kain itu. Untung saja Hazel masih sempat menahan napas. Ia juga sedikit meludah sembarangan agar tidak mengirup atau mengecap rasa kain itu, jadi tubuhnya tidak terlalu lemas ataupun pusing berlebihan akibat efek samping obat yang menempel di kain itu. Pria beristri itu berdiri di hadapan Hazel yang sedang terbaring di kasurnya. Ia melepaskan satu per satu kancing kemeja dan ikat pinggangnya.“Sudah lama sekali aku menantikan saat ini. Kurang apa aku, hah? Seharusnya kau bersyukur ada laki-laki yang mau menikahi wanita miskin seperti dirimu,” cecar Rendra.Kemeja Rendra memang sudah terbuka semua kancingnya, tetapi pria itu sengaja tidak melepaskannya. Celananya juga, ia hanya menurunkan hingga sebatas lutut, termasuk celana dalamnya.Melihat ancaman di depannya, Hazel berusaha bangun, lalu ia mundur ke belakang hingga punggungnya menyentuh sandaran kasur. Meskipun sudah menghindar, Rendra tidak menyerah. Pria itu menerjang ke atas kasur dan langsung menindih tubuh mungil Hazel.“L-Lepaskan, Brengsek!” jerit Hazel sambil berusaha membebaskan diri dari kungkungan pria beristri itu.PLAK!Mendengar Hazel mengumpat ke arahnya, Rendra menampar pipi wanita itu dengan sangat keras.“Diam dan nikmatilah! Setelah ini kau tidak akan bisa lepas dariku!” bentak Rendra sambil menjambak rambut panjang Hazel.Sambil menahan sakit, Hazel mencoba untuk menyingkirkan tangan Rendra. Sayangnya tenaga Hazel kalah kuat dari Rendra. Pria itu berhasil menahan kedua tangan Hazel di atas kepalanya lalu mulai melancarkan aksinya.“Hentikan...,” rintih Hazel disela tangisannya.Wanita itu menangis keras ketika tangan bebas Rendra menyusuri setiap jengkal kulit mulusnya. Tubuh Hazel kaku dan lemas seketika saat mendapatkan perlakuan ini. Setiap kali Hazel bergerak gelisah di bawah tubuh Rendra, Rendra kembali menamparnya bahkan tega menggigit kulit Hazel.Malam ini adalah malam paling buruk di hidup Hazel. Ia menjerit keras ketika Rendra berhasil merenggut kegadisannya. Saat Rendra mulai terlena bermain dengan tubuh Hazel, pegangan tangan pria itu terlepas. Akhirnya kedua tangan Hazel kembali bebas. Ia meraih apa saja yang dapat ia jangkau lalu memukulkannya ke arah kepala Rendra.Prang! –sebuah lampu tidur berhasil dipukulkan ke arah pelipis kiri pria itu.“Argh!” teriak Rendra sambil memegangi pelipisnya yang terasa sakit akibat pukulan dari Hazel. Saat Rendra lengah, Hazel langsung menjejakkan kakinya bersamaan dengan kedua tangan yang mendorong tubuh pria itu. Beruntung kali ini usaha Hazel berhasil. Pria itu terjungkal ke belakang akibat tubuhnya tidak dalam posisi siaga. Hazel segera menyingkir dari atas kasur seraya merapikan penampilannya yang awut-awutan itu. Ketika Hazel bangun, tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Dengan terseok-seok, Hazel segera berlari ke pintu kamar itu untuk kabur. Kurang satu langkah lagi Hazel berhasil keluar dari kamar itu. Namun, lagi-lagi Rendra berhasil meraih gaun Hazel dan menarik tubuh perempuan itu ke arahnya. “Kau benar-benar tidak tahu diri!” bentak Rendra. Awalnya Rendra memang menarik tubuh Hazel agar mendekat. Akan tetapi, ketika tangan kiri Rendra berhasil menarik rambut panjang Hazel untuk kedua kalinya, pria itu langsung mendorongnya ke sebelah kanan, tepat ke arah meja rias yang ada di k
Saat ditanya, Heri hanya diam."Bagaimana jika kita melaporkan tindak pelecehan ini lebih dulu sebelum orang lain melaporkan putri kita? Dengan begitu putri kita tidak bersalah, ‘kan?" usul wanita paruh baya itu.“Aku tidak mau terlibat dengan polisi. Kita ini orang miskin! Hukum di negara ini tidak pernah memihak kita!” sembur Heri setelah mendengar usulan dari Citra. Citra tersentak. Air matanya sejak tadi sudah deras mengalir membasahi pipi, apalagi setelah Heri membentaknya dengan lantang. Hatinya semakin bertambah sakit saat Heri tidak menyetujui usulannya itu. “Lalu bagaimana? Apa kita hanya akan berdiam diri sampai anak kita dilaporkan? Putri kita baru saja dilecehkan! Masa depannya telah hancur! Apa kau tidak memikirkan perasaannya?!” cecar Citra. Citra sudah tidak mampu menahan dirinya ketika melihat sikap Heri yang begitu acuh. Suaminya itu sama sekali tidak mengambil tindakan setelah mengetahui anaknya dilecehkan. Bahkan, respons pertama Heri kepada Hazel sangatlah tidak
Setelah menuduh, wanita itu langsung berlari ke arah Hazel. Bersamaan dengan langkah kakinya itu, ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil sesuatu. Rupanya wanita itu menyimpan sebuah gunting kain lalu menodongkannya ke arah Hazel. “Hei!” teriak Handika sambil berlari ke arah Hazel. Di waktu yang bersamaan, satu-satunya polisi yang berjaga di sana langsung berlari ke arah wanita itu. Ia hendak mencegah wanita itu sebelum bertindak nekat, sementara itu Handika berusaha melindungi Hazel. “Ough!” pekik Handika. Handika memang berhasil mengamankan Hazel dengan cara menarik wanita itu ke belakang tubuhnya, tetapi ia terpaksa harus mengorbankan dirinya sendiri. Wanita yang tiba-tiba datang tadi terlanjur menghunuskan guntingnya hingga melukai lengan bawah Handika. Gunting itu cukup tajam, jadi ketika wanita itu menusukkannya dengan kuat, benda tajam itu sanggup merobek kulit lengan Handika. “Bersembunyi di belakangku,” perintah Handika sembari berdiri di depan Hazel agar tubuh
Ketika mendengar perintah penahanan itu, Hanzel langsung meloncat turun dari tempat tidurnya. Ia sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang korban pelecehan yang hendak melaporkan kasusnya malah ditahan atas tuduhan pembunuhan? Ia korban, bukan pelaku! “Aku tidak melakukan apapun! K-Kalian tidak berhak menahanku!” seru Hazel. Melihat Hazel terlihat panik, Handika langsung berdiri dari kursinya. Pria itu menatap ke arah Hazel. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya ketika seorang polisi membawa surat penahanan yang sah. “Kami sudah memeriksa TKP. Kami menemukan sebuah surat yang dapat dijadikan bukti bahwa anda terlihat dalam kasus pembunuhan korban R!” jelas polisi itu. Dua orang polisi lainnya langsung berlari ke arah Hazel. Mereka melakukan hal yang sama seperti Casey tadi, yaitu memborgol kedua tangan Hazel dengan plastic handcuffs.Dua orang itu langsung mendorong tubuh Hazel dan memaksanya untuk keluar dari ruangan itu. Mereka hendak membawa Hazel ke mobil polisi mereka untuk memb
“Nona! Anda mendengarkan saya atau tidak?” tanya pengacara itu sambil menggebrak meja.“Jika anda tidak mau berbicara, maka kasus ini sudah jelas akan dimenangkan oleh keluarga korban! Asal anda tahu, jika kasus ini terbukti benar, maka sesuai dalam pasal 338 KUHP, anda akan terjerat hukuman maksimal pidana mati!" tegas pengacara itu.Pengacara itu terpancing emosi saat melihat Hazel masih saja diam sambil menundukkan kepalanya.Gertakan itu akhirnya membuat Hazel menegakkan kembali kepalanya secara perlahan. Untuk pertama kalinya sepasang mata Hazel bertemu pandang dengan mata pengacara yang penuh kilat amarah itu.Kenapa sekarang jadi Hazel yang bersalah? Ia korban di sini, tetapi orang-orang seolah yakin jika ia adalah pembunuhnya. Bahkan sedikit pun tidak ada perlakuan baik dari pihak yang berwenang untuknya.“Tapi aku benar-benar tidak membunuhnya! Aku berani bersumpah!” teriak Hazel.Tak betah dengan desakan itu, akhirnya Hazel menceritakan kronologis kejadian malam itu, mulai da
Polisi itu tidak memberikan kesempatan bagi Hazel untuk berbicara. Ia langsung menarik paksa Hazel, lalu membawa wanita itu keluar dari ruangan tersebut.Tentunya sebelum membawa Hazel ke rumah tahanan, ia memastikan bahwa borgol di tangan Hazel masih aman. Ia tidak mau Hazel kabur, meskipun hal tersebut tidak mungkin terjadi. “Izinkan saya bertemu dengan ibu saya terlebih dahulu. Ada yang ingin saya sampaikan,” pinta Hazel saat polisi itu mendorong tubuhnya ke arah pintu keluar kantor kepolisian.“Tidak ada hak istimewa bagi anda, Nona!” tolak polisi itu.Meskipun sudah ditolak, Hazel tetap memohon-mohon agar ia diizinkan untuk menemui ibunya. Sayangnya, untuk kesekian kalinya Hazel ditolak, bahkan polisi itu sempat membentak dan mendorongnya dengan kasar karena permintaannya itu.Saat kaki Hazel baru saja menginjak teras depan kantor kepolisian, ia langsung disambut dengan banyak cahaya lampu kamera yang ditujukan ke arahnya. Rupanya sudah ada puluhan wartawan yang siap memburu beri
Gio kembali menarik tangan Handika. Pria itu membawa temannya semakin masuk ke TKP. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah halaman rumah Rendra. Karena Handika bersama dengan Gio, pria itu bebas masuk ke TKP asalkan tidak menyentuh apapun dan tidak mengganggu penyelidikan.“Aku tidak tahu, tetapi aku curiga jika ini bukan pembunuhan yang disengaja. Masa' iya seorang wanita muda tega membunuh pria yang umurnya jauh di atasnya? Dunia sudah beneran rusak dong,” ujar Gio mencoba menerka kasus yang ia tangani itu.Handika mengangguk setuju dengan pendapat Gio. Ia sedikit tahu sifat korban, jadi ia setuju jika kasus ini bukan murni pembunuhan, melainkan ada faktor lain yang membuat tersangka —Hazel— berani melakukan tindak kriminal yang begitu menggegerkan.“By the way, kamu kenal pengacara di sekitar sini tidak? Yang lumayan murah gitu, jangan yang mahal-mahal, aku tidak mampu," tanya Handika tiba-tiba.“Hah? Kamu kenapa tiba-tiba ingin mencari pengacara? Memangnya kamu terlibat kasus apa?
Akhirnya seorang polisi datang, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia membawa nampan dari stainless yang berisi makan malam untuk Hazel. Ia meletakkan nampan itu tepat di depan pintu sel sebelum akhirnya ia menguncinya kembali. “Besok pagi anda baru bisa pergi untuk menemui pengacara yang baru,” ucap polisi itu. Hazel terbelalak. Ia tidak salah dengar jika polisi tadi baru saja mengatakan bahwa Hazel akan bertemu dengan pengacara yang baru. Apakah artinya Hazel memiliki kesempatan untuk membela dirinya lebih baik daripada sebelumnya? Tak terasa pagi telah tiba. Samar-samar Hazel mendengar suara aktivitas dari ruangan di depannya. Tak lama setelahnya, seorang polisi datang dan langsung membuka pintu sel itu. “Nona, ikut kami!” katanya. Seperti yang sudah disepakati kemarin malam, pagi ini Hazel akan menemui pengacaranya yang baru. Ia kembali dibawa ke gedung utama. Ia ditinggal disatu ruangan kecil yang nantinya menjadi tempat pertemuan dengan pengacara baru itu.