Share

II. Escape

11 juni 2014

01 : 20 wib

Sidoarjo, Jawa Timur

POV : Angga

Sudah lewat dini hari, kami semua masih bertahan di dalam rumah. Semua mata terlihat kosong, seperti tidak memiliki harapan. Ada yang cemas dan berdoa tak henti-henti, ada juga yang menelfon semua nomor di kontak hp, mencoba meminta bantuan, namun tak satupun membalas. Dari luar terdengar banyak sekali suara geraman dari 'mereka' yang lapar. Mungkin tak ada lagi manusia hidup yang tersisa di luar sana. Kesempatan untuk hidup memang kecil, bila di hadapkan dengan kejadian ini.

Ya, sama seperti film yang sering ku lihat. Jadi seperti ini lah rasanya, seperti ini lah kekacauan nya. Semua menggunakan segala cara untuk tetap hidup, meski harus mengorbankan teman atau keluarga, menjadikan mereka umpan atau santapan zombi. Dan ini benar-benar tidak lucu, tidak seru seperti di film. Darah berceceran, organ tubuh dan isi perut bagaikan hidangan lezat mereka. Penyebaran yang sangat cepat, membuat jumlah mereka bertambah banyak.

Ibu Yuli pun sedari tadi cemas, sambil menelfon anak-anak nya yang telah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri di luar kota, namun tak ada yang menjawab pesan maupun telfon nya. Kemungkinan kecil mereka selamat, namun kemungkinan besar mereka menjadi mayat. Dari semua film zombi yang telah ku lihat, kamu tidak mudah begitu saja selamat dari musibah ini. Strategi dan kerja sama dari para 'survivor' sangat di perlukan. Bodoh nya aku, yang dulu ingin sekali wabah zombi itu nyata. Dan sekarang aku bingung harus melakukan apa. Namun aku harus tetap tenang, karena kepanikan hanya akan memperburuk kondisi.

Sudah cukup lama kami bersembunyi, jam pun menunjukkan hampir pukul 3 pagi. Beberapa dari kami ada yang berjaga, melihat situasi dari lantai atas, beberapa lagi ada yang berjaga di ruang tamu, ada pula yang menjaga pintu belakang. Pintu kami halangi dengan lemari, dan beruntung nya jendela rumah ku cukup tinggi, jadi tak mungkin mereka bisa memanjat. Hanya saja, sampai kapan kita di sini?

Dari semua film zombi yang pernah ku lihat, wabah seperti ini sering kali di sengaja, untuk melengserkan suatu negara, uji coba senjata, atau berasal dari serangan teroris. Seperti kata ku tadi, mungkinkah kita di serang? Tidak ada salah nya berspekulasi seperti itu. Secara garis besar, Indonesia sudah cukup modern dalam pertahanan negara, sehingga harus nya hal ini bisa teratasi. Namun, serangan mendadak ini tidak terelakkan.

Waktu telah menunjukkan pukul 3:30 pagi, dan seperti nya sudah tidak ada suara dari orang yang masih hidup, terlihat cukup sepi, hanya geraman lirih dari para mayat hidup di luar sana. Kami berusaha agar tidak gaduh di dalam, tidak ingin mereka masuk dan mulai menggigit kami satu per satu.

Setelah berdiam cukup lama, kami pun akhir nya berdiskusi, mengenai masalah evakuasi.

"Begini... Kita pikirkan cara untuk sampai ke tempat evakuasi... Berdiam di sini pun, belum tentu mereka cepat datang menjemput kemari...", kata pak Warto.

"Kenapa bapak bisa percaya, kalo mereka gak datang?", Ujar ayah ku.

"Aku sudah berhadapan dengan banyak pelaku kriminal, tapi tidak seberbahaya ini... Setidak nya butuh 2 orang untuk melumpuhkan satu dari mereka.. jadi, pasukan terlatih pun akan cukup kewalahan.. sehingga kemungkinan besar, mereka hanya akan menyisir evakuasi di daerah kota saja, karena terdekat dengan pasukan besar mereka, itupun, mereka hanya mendahulukan orang-orang penting.. rakyat biasa seperti kita, akan di kesampingkan belakangan..", ujar pak Warto.

"Tunggu pak.. Jika keluar dari sini, sama saja dengan bunuh diri, jumlah mereka ratusan, kita hanya ber 10 orang, kita punya apa buat melawan....!?", jawab ibu Yuli.

"Di lihat-lihat mereka cukup kuat, aku tadi lihat ada orang-orang yang kewalahan mengatasi 1 zombi saja.. aku pun gak mampu ...", ujar Alvin, anak pak warto yang mulai sadar.

"Sebenar nya cukup mudah untuk membunuh mereka,... Pusat kelemahan mereka hanya di kepala... Hancur kan saja kepala nya, atau patah kan leher nya... Memang sedikit susah untuk orang awam yang tak punya kemampuan bela diri...", ujar ku dan semua melihat ke arah ku.

"Gak semudah itu mas angga, mereka jumlah nya lebih banyak dari kita yang masih hidup..", sahut bu Nimah.

"Kalau begitu, kita bekerja sama, saling melindungi satu sama lain...", sahut ku.

"Apa yang kamu katakan ada benar nya mas.. Tapi beberapa dari kita tidak semahir yang kamu kira... Bisa kewalahan kita..", ujar bu Yuli.

"........", Aku berlalu pergi ke lantai atas dan tak menghiraukan perdebatan mereka.

Berdiam di sini pun juga tak ada hasil nya, karena kemungkinan terburuk adalah semakin banyak mayat yang bisa saja mendekat dan menerobos ke dalam. Yang ada di benak ku adalah, keluar dari sini, dan mencoba memanggil bantuan.

Aku mulai mengambil beberapa peralatan yang benar-benar kubutuhkan, seperti pisau besar, yang ku ikat kan ke tongkat besi yang ku bawa dari bengkel tempat ku bekerja, dan mungkin beberapa pakaian yang sedikit tebal, untuk berjaga agar serangan mereka tidak bisa menembus ke kulit ku. Ayu pun melihat ku saat aku mulai merakit tombak.

"Mas... Kamu mau pergi ke tempat evakuasi..??", tanya Ayu.

"Kemana lagi kamu pikir.. Aku gak bisa diam aja di sini.. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak berharap banyak pada bantuan yang datang, kecuali ada yang membawa nya..", ujar ku.

"Aku ikut kalau gitu..", ujar Ayu.

"Terlalu berbahaya ayu... Lebih baik aku sendiri saja.. Aku tidak bisa melindungi mu setiap waktu... Apa kata ibu mu nanti kalau kamu menjadi seperti mereka...", ujar ku.

"Aku bisa melawan mereka.. Seperti yang mas bilang tadi..", ujar Ayu.

"Sudahlah, lebih baik kamu di sini.. Aku akan kembali, begitu sampai di tempat evakuasi, membawa bantuan..", ujar ku.

"Tapi mas...", sahut Ayu.

"Cukup... Aku tidak bisa kehilangan adik kesayangan ku... Jadi tolong, bertahanlah... Dan doakan saja aku...", Sahut ku sambil memeluk Ayu.

"..............", Ayu pun menangis.

"ingat kata-kata ku... siapapun yang terinfeksi, mereka sudah bukan seseorang yang kamu kenal.. kecil kemungkinan untuk sembuh... jadi, bunuh lah... siapapun itu... atau kamu bakal menyesal karena membiarkan mereka hidup....", ujar ku.

Aku meninggalkan Ayu di lantai atas, dengan air mata nya yg perlahan menetes. Sudahlah, demi kebaikan bersama. Setelah mendapat bantuan, aku janji akan kembali.

Aku telah mendapat pesan dari beberapa teman-teman ku, mengatakan bahwa mereka semua selamat, dan masih bersembunyi di rumah masing-masing. Aku berniat mengajak mereka karena mereka lah orang-orang yang dapat ku percaya saat ini. Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas ke pintu keluar. Semua orang melihat ku dan berusaha menahan ku.

"Angga.. kamu sudah kehilangan akal?!! Kamu mau bunuh diri pergi sendiri ke sana..?!", Sahut ayah ku.

"Tolong bertahan sampai aku kembali membawa bantuan... Aku tidak sendiri ke sana, jadi tenang aja... Doakan aku..", ujar ku sambil membuka blokade pintu depan.

"Ya sudah.. semoga kamu selamat sampai tujuan, dan jangan lupa kembali membawa bantuan itu..", ujar bu Yuli.

"Angga... Ini, semoga berguna.. kamu tau kan cara pakai nya..?", Ujar pak Warto sambil memberikan sebuah pistol revolver, dengan peluru penuh.

"Ya pak, terima kasih..", ujar ku.

"Hati2...", Ujar semua orang di ruang tamu.

Setelah perpisahan dengan mereka, pintu utama pun telah di blokade kembali. Kini aku sendiri, berada di luar dengan udara yang terasa sangat dingin dan tidak seperti biasa nya.. terlihat sepi, hanya ada darah dan potongan tubuh di halaman depan. Sedih, namun aku tidak boleh mengecewakan tangis mereka, aku harus bisa membawa bantuan itu. Secepat mungkin.

Tujuan pertama ku yang terdekat adalah rumah Arul. Rumah nya tidak begitu jauh dari sini. Dia yang pertama membalas pesan dari ku. Semoga dia masih bisa bertahan, sampai aku jemput. Rencana ku adalah, berkumpul dengan semua teman-teman, dan berencana bersama-sama memanggil bantuan, untuk menyelamatkan keluarga masing-masing. Karena aku sadar, bahwa aku sendiri tidak bisa melawan kondisi saat ini. Aku pun mengambil sepeda motorku, dan mulai pergi meninggalkan rumah ku, rumah yang berisikan orang-orang penuh harapan kepada ku.

Jalanan menuju rumah Arul cukup ramai, dengan mayat-mayat yang berjalan tak tentu arah. Terlihat masih ada yang hidup meski usus mereka terbuai keluar, ada yang berlarian kesana-kemari menghindari gigitan zombi, ada juga zombi yang sedang makan bersama, dan sebagian dari mereka yang hidup mungkin mengunci diri di dalam rumah, seperti keluarga ku.

Aku pun hampir sampai di dekat rumah Arul, dan ku lihat banyak sekali jumlah mereka berkumpul di sana. Ku lihat dari kejauhan, Arul sedang berada di atas rumah nya sendiri, tak terlihat orang lain lagi di sana. Apa jangan-jangan, keluarga Arul sudah...?

Aku harus mencari cara agar bisa menarik perhatian mayat-mayat ini agar pergi menjauh. Akhir nya, ku putuskan untuk membakar motor yang ku bawa di kejauhan, agar perhatian para zombi ini teralihkan karena ledakan bahan bakar. Setelah mereka terpancing oleh api dari motor ku, aku langsung menyelinap di semak-semak dan segera menuju rumah Arul.

"Oii..!", sahut ku.

"Jadi lu yang bakar-bakar di sana..? Kerja bagus..! sekarang mau gimana..??", Tanya Arul.

"Keluarga lu mana..?", Sahut ku.

"Di dalem...", Balas Arul singkat sambil menunjuk ke arah jendela depan.

"Ow.... Maaf, gua turut berduka rul..", ujar ku.

"Udah lah... Lagian ortu gua memang udah berumur, cuman yang bikin gua gak rela, itu cara mereka untuk meninggal...", Sahut Arul.

"Mending lu turun... Kita ngobrol sebentar..", ujar ku.

Setelah turun, Arul bercerita singkat tentang kejadian di sini. Karena dia tak tega membunuh keluarga nya, akhir nya mereka di kurung di dalam rumah yang sudah di blokade oleh nya. Lalu naik ke atas atap, dan dia pun langsung membalas pesan ku.

Aku memberi tahu nya sedikit penjelasan tentang kejadian ini, dan juga tentang rencana pelarian menuju titik evakuasi di surabaya. Setelah sesampainya di sana dan mendapat bantuan, baru lah menyuruh para penyelamat untuk menghampiri keluarga yang masih bertahan di rumah. Rencana nya memang sederhana, tapi kita masih belum tau, apa yang menanti di sana. Beberapa senjata se-ada nya kami bawa, seperti 'clurit', parang, dan juga perlengkapan lain. Perjalanan ke titik evakuasi cukup jauh, jadi kita harus persiapkan semua nya.

"Jadi kita kemana dulu nih?", Tanya Arul

"Gua udah ngirim pesan ke semua temen-temen, agar ngumpul di base camp biasa nya, tapi cuma fiki yang bales..", kataku sambil men-cek handphone ku kembali.

"Sial, panggilan darurat. Apa karena kejadian ini semua komunikasi jadi kacau ya...", sambung ku.

"Mungkin... Saluran tv pun dari tadi gak ada.. Mungkin operator nya jadi zombi..", Sahut Arul.

"Ya udah lah, yang penting, kita ke basecamp dulu, supaya tenang buat ngatur rencana...", Ujar ku.

"Lu mau ke sana jalan kaki..?? Kan sepeda motor udah lu bakar barusan..", sahut Arul.

"Lu gak punya sepeda??", Tanya ku.

"Ada.... Cuman ijin dulu ama yang di dalam..", ujar Arul sambil menunjuk beberapa sepeda motor nya di dalam, bersama keluarga nya yang menjadi zombi.

"Lu ngapain sepeda motor di taruh di dalem rul...", Ujar ku.

"Heh, gua orang miskin, jadi wajar sepeda motor gua taruh di ruang tamu.. gak punya garasi gua.. Emang lu kalo malem, motor lu di taruh halaman? kan lu juga miskin...", Sahut Arul bercanda.

"Sialan lu... Eh, itu punya siapa..?", Ujar ku menunjuk sepeda motor pick-up merek VIAR di samping rumah nya.

"Mau naik itu..?? Gak masalah sih, cuman bensin nya menipis tadi...", Jelas Arul.

"Ya udah lah, gampang.. kita ke pom bensin..," ujar ku.

"operator nya udah jadi zombi lah, gimana sih lu...", sahut Arul.

"bacot lu... nyari eceran nanti...", ujar ku.

Dengan membawa sepeda motor pick-up milik kakak nya Arul, kami melanjutkan perjalanan untuk bertemu dengan teman-teman di basecamp. Aku masih memikirkan, bagaimana keadaan di rumah. Semoga mereka baik-baik saja, sampai aku kembali. Tapi, bukan nya Alvin terkena gigitan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status