Semua Bab Between Revenge and Love: Bab 41 - Bab 50
67 Bab
TELEPON PERTAMA
Liam tiba di kamar indekosnya tak kurang dari tiga puluh setelah mengantar Michelle pulang. Ia bergegas meletakkan perlengkapannya dan membiarkan sepatunya tergeletak begitu saja demi bisa membalas pesan Andini.“Saya sudah sampai,” balasnya cepat. “Cepat sekali,” balas Andini tak sampai lima menit kemudian. Ia memang menunggu balasan pesan meski tahu kalau Liam tak akan membalas pesan panjang seperti yang didapatkannya dari teman pria yang pernah dekat dengannya selama di Singapura.“Kamu sudah makan?”Kamu sudah makan. Andini mengeja ulang pesan yang dikirimkan Liam untuk memastikan kalau balasan yang diterimanya adalah sebuah kebenaran bukan mimpi yang sering terjadi dalam tidurnya. Sejurus kemudian, ia melompat kegirangan. Bukan main bahagianya. “Sudah. Kamu?” balas Andini sambil senyum-senyum sendiri.“Belum. Saya baru ingin merebus mie,” balasnya.
Baca selengkapnya
MENGAMBIL LANGKAH
“Tidur kamu nyenyak?” tanya Andini.“Hmm..”“Tadi pagi bangun jam berapa?”“4.30”“Pagi sekali..”“Ya. Saya harus lari pagi untuk menjaga stamina.”“Saya?”“Oh ya. Aku harus lari pagi untuk menjaga stamina dan melindungi kamu.”Andini memalingkan wajahnya ke jendela. Ia mengulum bibirnya berkali-kali. Keinginan itu tiba-tiba ada dan semakin besar. Dengan cepat, tangannya meraih tangan Liam dan memberanikan diri untuk menggenggamnya.Liam terkejut dan menoleh kepada Andini dengan sorot tanda tanya besar.“Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menyukaimu, Liam.” Tangan Andini semakin erat menggenggam seolah takut kehilangan.Liam bergeming. Ia membiarkan tangan kirinya digenggam Andini. Kali ini, jantungnya dibuat berdegub hebat. Di satu sisi, ia tersanjung dan
Baca selengkapnya
PENGAKUAN
Setelah Andini masuk ke kelasnya, Liam melamun di dalam mobil. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah tindakannya yang membiarkan perasaannya sendiri bertumbuh tidak akan membuat dirinya makin jatuh ke dalam? Apakah perasaan yang seharusnya tidak pernah ada itu justru akan membahayakan dirinya dan Andini?Sekali-sekali ia tidak akan membiarkan Andini terluka. Ia mencintai gadis itu tulus adanya. Ia mencintainya karena memang mencintainya. Tanpa syarat. Tanpa niat untuk mengambil apa-apa.Ia memandang cakrawala yang terik padahal waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Sinar yang menyengat dan kebetulan memarkirkan mobilnya di tempat yang berhadapan langsung, membuatnya tak betah menunggu Andini menyelesaikan kelasnya hari ini. Bergegas ia keluar dari mobil dan berniat untuk mencari udara segar akan rumitnya pikiran saat ini.“Liam…,” panggil Michelle yang tiba-tiba ada tak jauh dari posisinya.“Ya?&rdqu
Baca selengkapnya
LANGKAH BESAR
Di kedai kopi yang ukurannya tak terlalu besar, berpengunjung sedikit serta jauh dari keramaian, Adimas duduk sendirian menunggu Ali membawakan informasi untuknya. Sambil menunggu, ia membuka galeri ponselnya dan melihat foto-foto Andini kecil yang lucu nan menggemaskan.“Kamu tumbuh menjadi putri yang sangat cantik, Nak. Papa tidak bisa melupakan betapa bahagianya Papa memilikimu.” Adimas mengusap-usap wajah Andini yang diperbesar pada layar ponselnya.Ingatannya akan putrinya terekam jelas. Waktu boleh memudarnya akan kenangan masa muda, tapi tidak dengan setiap detik pertumbuhan Andini yang sangat menggemaskan. Andini tidak berubah, wajahnya seperti Melisa. Melihat Andini dewasa, Adimas seperti melihat mendiang isterinya sendiri.“Melisa, andai kamu tahu, aku sangat merindukanmu. Jika waktuku sudah tiba, Andini telah bertemu dengan pasangan yang mampu menjaganya, kita akan bertemu lagi, Sayang..” Adimas membelai foto Melisa yang menjadi wall
Baca selengkapnya
PAK LEO DAN ALI
Ali akhirnya tahu di mana indekos Liam berada. Liam menyadarinya. Padahal jarak indekos itu sudah diperhitungkan agar tak dekat dengan jangkauan Adimas dan para pengikutnya. Akan tetapi, Ali yang merupakan mantan anggota, mampu menemukan indekos Liam lebih cepat dari yang Liam kira.“Ali sudah tahu lokasi saya, Kapten.” Liam memberitahukannya langsung kepada Pak Leo melalui sambungan telepon.Di seberang sana, Pak Leo mengepal tangannya kuat-kuat sambil memandang ke luar jendela. “Apakah dia menghalangimu untuk mendapatkan informasi? Hampir 6 bulan kamu berada di sana dan tidak memberikan informasi baru.”Liam merasa tersinggung mendengarnya. Dia hampir mati karena misi ini. Karena misi yang diberikan Pak Leo juga menyebabkan Liam jatuh cinta dan tenggelam pada rasa yang terlarang. “Liam. Apa dia menghalangimu? Jawab saya.“ Pak Leo mengulang pertanyaannya sekali lagi karena Liam hanya terdiam dan membia
Baca selengkapnya
PAK LEO BERAKSI
Motor hitam Ali berkelok-kelok dari jalan satu ke jalan yang lain. Pak Leo dengan beraninya membuntuti Ali tanpa sedikitpun rasa takut. Mengandalkan alat pelacak yang telah dipasang Liam di bawah tangki motor besarnya, Pak Leo bisa mengetahui di mana saja Ali bertandang.Di sebuah perempatan jalan yang sepi, Pak Leo menjalankan misinya. Sepuluh anak buah yang lain telah mempersiapkan diri untuk mengepung Ali. Tak ada jalan kembali, misi ini harus berhasil sebab nyawa Liam yang menjadi taruhannya.“Ingat, apapun yang terjadi, misi ini tidak boleh gagal!” perintah Pak Leo kepada semua anak buahnya.Ketika Ali berbelok ke arah Selatan dan melintasi deretan pepohonan yang sunyi dan sepi, lima pemotor dari arah berlawanan menuju ke arahnya. Menyadari ada yang tidak beres, Ali mencoba untuk melarikan diri dan memutar balik. Akan tetapi, ia terlambat, Pak Leo dan lima anak buahnya sudah berada di belakangnya.DorSuara temb
Baca selengkapnya
CEMBURU
Ali kebingungan, ia kehilangan jejak Liam. Karena itu, Liam mengatur siasat ke dua. Ia kembali lagi ke tempatnya tadi bersembunyi, berbelok ke ruang dosen, dan menampakkan dirinya agar Ali dapat melihat.“Liammm!” panggil Michelle bersemangat.“Haaah..!” dengus Liam. Niat untuk memancing Ali agar tak curiga, justru mengundang kehadiran yang lain. Michelle. Semenjak ia tahu kalau Michelle memiliki perasaan kepadanya, ia berusaha untuk menjaga jarak. Di hatinya hanya ada Andini Putri Hartanto. Tidak ada yang lain. Hanya Andini yang mampu membuat hatinya bergetar hebat. Hanya Andini seorang. Ia tak mau wanita lain dalam hidupnya.“Hai, Chelle.” Dengan terpaksa, Liam membalikkan badannya dan menyambut Michelle yang berlari dan mencoba meraihnya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Liam?” suara Michelle berubah menjadi lebih hangat. Ia berharap jawaban yang diberikan Liam adalah jaw
Baca selengkapnya
ADIMAS BERGERAK
Adimas memeriksa ponselnya berkali-kali dalam satu jam. Tak biasanya, Ali hilang dari pelaporan rutin yang biasa dilakukan. Ia melirik pergelangan tangannya, genap sudah sepuluh jam Ali tak mengirimkan kabar.Ia berinisiatif untuk melakukan panggilan dan nomor Ali dinyatakan tidak aktif. Ia tak bisa dihubungi dan Adimas tak tahu keberadaannya saat ini.Di bangku taman, Hendri sedang menghisap puntung rokoknya yang hampir habis. Dari ruangannya, Adimas melihat dan memerintahkan Sardi untuk membawa Hendri ke ruangannya.“Apa kamu tahu keberadaan Ali?” tanya Adimas setibanya Hendri masuk.“Sebentar, Pak Adimas,” Hendri meraih ponsel di sakunya dan berusaha melakukan panggilan. Namun, sambungan itu tak juga menunjukkan tanda. Nomor yang dituju dinyatakan tidak aktif. Dengan tangan yang masih memegang ponsel, Hendri menatap Adimas dengan penuh makna.Keduanya menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ali menghil
Baca selengkapnya
EKSPRESI JAWABAN
Pagi-pagi sekali, dengan menaiki ojek sewaan, Hendri berangkat menuju kampus di mana Andini berkuliah. Instingnya mengatakan kalau ia akan menemukan jawaban dengan membuntuti mereka.Ia meminta pengemudi ojek tersebut untuk menepi agak jauh dari gerbang utama universitas swasta terkenal itu. “Berhenti, Pak,” pintanya sambil menepuk pundak sang pengemudi ojek.Stang motor mengarah ke kiri dan ia turun tepat di depan kios fotokopi. Kios fotokopi itu adalah tempat langganan Ali memarkirkan motornya dan memperhatikan Andini serta Liam dari jauh.“Ini, Pak.” Hendri memberikan ongkos dua kali lebih banyak dari kesepakatan. Memberikan satu lembar uang berwarna merah bukanlah hal sulit baginya. Semenjak bekerja langsung untuk Adimas, apa pun bisa dibelinya. Bulan depan, ia berencana untuk membukakan tabungan pendidikan untuk kedua adiknya. Oleh karena itu, pantang pulang baginya jika belum menemukan Ali.Pengemudi ojek itu
Baca selengkapnya
KALI PERTAMA
Api cemburu yang dirasakan Andini belum juga reda. Meski hari telah berlalu, mulutnya tetap bungkam. Ia takut sekali kehilangan Liam. Ia tidak ingin lelaki yang dicintainya dimiliki oleh orang lain. Namun, ia malu untuk mengakuinya. Ia malu untuk menceritakan alasannya marah.Keadaan terjadi sebaliknya. Liam tidak mengetahui kenapa Andini marah kepadanya. Ia merasa tidak melakukan kesalahan. Ia tak tahu, kalau Andini melihat adegan dirinya dengan Michelle, bagaimana ia menangkap tubuh Michelle. Ia menganggapnya wajar karena menolong orang yang hampir celaka adalah perbuatan baik. Namun, itu sangat tidak wajar bagi Andini dan bagi semua wanita pada lelaki yang dicintainya.Suasana hening masih diterima Liam. Cukup pahit sebenarnya. Bagi Liam, kebungkaman Andini justru menjadi kecamuk dalam dadanya. Mobil yang dikemudikan Liam berseberangan arah dari arah pulang mereka. Andini yang menyadarinya hanya diam saja. Ia tak akan membuka mulutnya sebelum Lia
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status