Bam!Dua energi beradu cukup keras. Pada saat itu juga Ajiseka sudah berpindah tempat, seketika itu beberapa prajurit yang mengawal Kolowono mengelilingi Ajiseka dan Galuh. Sedangkan sosok yang semula duduk santai di alam bawah sadar Ajiseka mulai terpancing dengan banyaknya musuh gaib yang mengelilinginya. Namun, ia tidak berniat menampakkan dirinya.Kumbolo lebih memilih memberikan suplai kekuatannya secara total kepada Ajiseka. Ya, dirinya beranggapan jika Kolowono harus di beri pelajaran berharga karena selama ini sungguh-sungguh berniat mencelakai Ajiseka. Rupanya bangunnya Kumbolo dari singgasananya memicu roh Nogoweling yang juga menunggu reaksi lanjutan Ajiseka.“Tampaknya kau memiliki keinginan membinasakan makhluk gaib itu, adakah sesuatu yang meresahkan dari makhluk-makhluk itu?” tanya roh Nogoweling kepada Kumbolo.“Tentu saja Nogoweling, Kolowono merupakan makhluk yang gemar bersekutu dengan orang yang hendak berbuat jahat. Tidak hanya itu saja, aku meyakini ia juga bagia
Matahari sudah condong ke barat, tetapi Ajiseka dan Galuh masih belum juga menemukan perkampungan. Bahkan, raut lelah tercetak di wajah ayu Galuh, tidak heran jika gadis itu kelelahan. Sebab selama ini dirinya tidak pernah bepergian jauh.“Aji, di daerah ini tidak ada perkampungan ya? Sudah seharian jalan tetapi kita belum menemukan adanya kehidupan manusia lho ini,”“Aku tidak tau, Mbakyu? Kalaupun tidak ada juga tidak ada masalah kan? Toh selama ini kita sudah terbiasa,” jawab Ajiseka.“Bukan itu, Aji? Ah sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan.” Ucap Galuh.Gadis itu berjalan mendahului Ajiseka. Berharap ia menemukan pemukiman warga dan menyapa, itulah keinginan Galuh saat ini. Dan tampaknya keinginan itu sedikit ada titik terang, pasalnya di kejauhan asap tipis tampak mengepul di celah-celah rerimbunan hutan.“Aji! Lihat itu!” teriak senang Galuh manakala melihat ada tanda kehidupan.“Iya, Mbakyu? Ayo.” Jawab Ajiseka.Ayunan langkahnya di percepat, begitu juga dengan Galuh.
Cicit burung menyapa pagi yang cerah. Di dalam gubuk, makanan khas pedesaan tersaji di atas meja milik sang sepuh. Ya, Ajiseka dan Galuh baru boleh meninggalkan kediaman sang sepuh setelah mengisi perutnya. Perbincangan kecil terjadi, hanya sedikit saran dan mengingatkan kembali pesan yang semalam telah di sampaikan.Kini, langkah riang mengayun terarah, sebab Ki Ageng Pamungkas sudah memberitahukan lokasi keberadaan padepokan pertama yang harus di sambangi Ajiseka. Ya, mereka tidak perlu menjelajahi seluruh daerah di wilayah tengah. Begitu juga dengan wilayah lainnya, karena setelah menemui pimpinan padepokan, Ajiseka harus segera bertolak ke padepokan kecil di wilayah selatan.Tempat itu tidak lain adalah kediaman Ki Haryo Wicaksono. Rumah sekaligus tempat berkumpulnya orang-orang yang menentang adanya sekte Kembang Kenongo secara diam-diam. Sayangnya, Ajiseka tidak menanyakan alasan Ki Ageng Pamungkas memintanya segera kesana.Terik mentari mulai menghangat, dan sosok burung Elang
Raksa Bumi, padepokan olah Kanuragan yang berdiri kokoh di daerah perbatasan. Tidak megah, tetapi cukup luas dan begitu rapi. Hari ini mereka kedatangan tamu tak di undang yang mengaku utusan dari seorang sepuh dunia persilatan.“Seluruh wilayah sedang bergolak, lalu tiba-tiba Kisanak datang dan mengaku utusan dari sesepuh aliran putih yang kami hormati. Sebagaimana kami ketahui, sejak lebih dari sepuluh tahun lalu beliau menghilang tanpa jejak. Lalu, bagaimana mungkin kami percaya begitu saja, terlebih yang mengabarkan hal itu Kisanak yang masih begitu muda,” ujar Adhinata. Lelaki setengah baya yang menjabat sebagai pimpinan padepokan Raksa Bumi.“Menurut, Ki Adhinata apa yang harus saya buktikan, sedangkan saya kesini tidak membawa bukti apa pun,” jawab Ajiseka.“Lakukan sesuatu yang dapat membuat diriku yakin, tidak mungkin Ki Ageng Pamungkas begitu saja mempercayai seseorang, suuah...” ujar pimpinan padepokan Raksa Bumi sembari melesat ke arah Ajiseka.Ia menghendaki pembuktian da
Brak!Barang dagangan yang tersusun rapi di atas meja dagang berhamburan manakala gerombolan itu tidak mendapatkan keinginannya. Tidak hanya menghancurkan barang dagangan, kelompok itu juga memukul pria tua yang sedang memungut barang-barang dagangannya. Bahkan, tanpa belas kasihan salah satu anggota menarik paksa si pria tua dan memeriksa kantong pakaiannya.Aksi tarik-menarik terjadi, tetapi akhirnya pria tua itu hanya bisa pasrah manakala pelipisnya terkena hantaman bogem mentah dari beberapa orang yang memorak-porandakan dagangannya. Langkahnya gontai, memungut kembali sisa dagangan yang sekiranya masih bisa di jual. Pasalnya hanya itu barang yang ia miliki setelah semua harta yang ia bawa habis terkuras oleh kelompok yang memeras dirinya.Melihat penindasan itu Ajiseka dan galuh tidak melakukan apa-apa, pasalnya ia ingin tau seberapa kejam kelompok itu dan yang paling penting adalah asal dari kelompok itu sendiri. Bahkan, kedua murid padepokan Kahuripan itu menghampiri si pria tu
Slash...Seberkas sinar terang mengarah tepat di tubuh Ajiseka, beruntung dirinya menghindar tepat waktu. Sehingga sinar terang itu hanya mengenai pohon besar di belakangnya. Hal itu membuat Galuh turut memasang kewaspadaannya.“Hati-hati, Mbakyu!” teriak Ajiseka mengingatkan Galuh.Galuh mengangguk, dirinya juga merasakan aura yang datang begitu kuat dan jahat. Bahkan, ia belum pernah merasakan tekanan yang berbeda. Dia menduga asalnya bukanlah dari jenis lelembut biasa, tetapi setelah di telisik, rupanya aura itu berasal dari seorang manusia.Beruntung malam ini sinar rembulan begitu terang, sehingga tidak menyulitkan pandangan mata biasa. Walau pun kedua murid padepokan lelembut itu sudah terbiasa dengan mata batin, tetapi alangkah baiknya jika tidak menggunakannya. Setidaknya mereka bisa menghemat energi batin yang terus-menerus mengalir.“Aji, apakah kau mengenalnya?”“Ya, rupanya dia masih hidup, aku tidak menyangka jika aura iblis itu berasal dari tubuhnya,”“Artinya dia memili
Dewi Wengi, pimpinan padepokan Kembang Kenongo itu menghajar Ajiseka tanpa ampun. Bahkan, dirinya juga menyusul arah terhempasnya tubuh buronan yang ia cari. Tepat setelah Galuh menyusul Ajiseka, wanita itu datang dan berdiri angkuh tidak jauh dari dua murid padepokan Kahuripan.Sedangkan ajiseka sendiri malah tersenyum saat pimpinan padepokan itu menyusul dirinya.“Aki tidak apa-apa, Mbakyu? Tenang saja, aku yakin digdaya wanita itu tidak jauh berbeda dengan wakilnya,” ujar Ajiseka kepada Galuh yang memegangi lengannya.“Apakah lelaki itu wakilnya?” tanya Galuh sembari memasang kewaspadaan terhadap wanita yang masih berdiri angkuh tak jauh darinya.Ajiseka mengangguk, lalu ia mengisyaratkan agar Galuh segera menyingkir. Tentu Ajiseka harus lebih waspada dari sebelumnya, pasalnya yang ia hadapi saat ini adalah dua petinggi padepokan. Sedangkan dirinya dan Galuh masih berstatus sebagai murid.Benar saja, belum lama Galuh menyingkir, dua anergi dari arah yang berbeda melesat ke arahnya.
Hutan bergemuruh sepanjang malam, rupanya pertarungan belum berakhir hingga pagi hari. Bahkan, burung yang biasanya berkicau dengan tenang harus terbang menyelamatkan diri. Pasalnya aksi kejar-kejaran terjadi di sepanjang jalur sungai besar menuju selatan.Artinya mereka melewati wilayah padepokan Kembang Kenongo dan tujuan awal Ajiseka. Tanpa mereka sadari, seorang lelaki empat puluh tahunan menyadari keributan yang terjadi. Bahkan, ia juga mengikuti arah lesatan yang mengakibatkan gemuruh di pepohonan pinggir desanya.Haryo Wicaksono, lelaki itulah yang menyadari adanya pertarungan. Ia menguntit tanpa mengajak muridnya, tetapi rupanya sosok lain juga mengikuti langkahnya. Salindri, gadis yang malam tadi melakukan meditasi juga menyadari adanya keributan dan kebetulan melihat sang ayah pergi ke arah yang sama.Sementara itu, aksi kejar-kejaran berhenti di sebuah desa yang begitu suram. Sepi dan seperti di tinggalkan oleh penduduknya. Di tempat itulah Ajiseka dan Galuh menghentikan pe