Telepon di tengah malam itu mengagetkanku. Alina mencoba bunuh diri, katanya. Kantukku langsung lenyap dan aku bergegas meninggalkan rumah hanya menggunakan pakaian tidur yang kugunakan.Namun, rumah Alina sepi-sepi saja. Sama sekali tidak terjadi euforia kepanikan. Bukankah itu aneh mengingat Alina adalah anak semata wayang mereka? Aku turun dengan sandal tipis dan pakaian tidur yang langsung membuatku mengigil karena udara malam.Bel bergema di dalam rumah. Tak lama pembantu rumah tangga yang tampak mengantuk membuka pintu. Ia tak mengatakan apa-apa padaku. Kesadaranku kalau ini adalah sebuah tipuan langsung muncul.“Mana Alina?”“Nyonya muda ada di atas, di kamarnya, Tuan!”Aku memaki di dalam hati. Dengan langkah cepat-cepat aku menaiki tangga menuju kamar Alina semasa gadis. Di depan pintu kamarnya ada mami Alina yang tampak setengah mengantuk, melemparkan senyum yang memintaku untuk maklum.Setelah membuatku hanya berkendara dengan separuh jiwa sama sekali tidak ada permintaan m
Aku tidak tahu bagaimana Gatra menjadi lebih sensitif tentang kondisiku. Tetapi, sejak malam ia datang ke kamarku dan tetap di kamar sampai akhirnya pagi datang tanpa kami sedikit pun bercumbu, semuanya menjadi sangat aneh.“Kamu harus lebih banyak konsumsi buah dan protein!” Dia meletakan paha ayam lainnya setelah aku sukses menghabiskan yang sebelumnya.Perutku sudah kenyang dan yang aku inginkan adalah berjalan-jalan keluar untuk menghirup udara. Kehamilanku belum terlalu besar, tetapi aku mulai merasa sangat berat sekarang ini.“Aku tidak mau lagi!” tolakku.Yang aku lihat setelahnya adalah tatapan sedih Gatra.Bukankah ia adalah iblis yang sama dengan yang membeliku bagaikan barang hari itu? Ia bahkan memaksaku untuk meneken kontrak!“Hanya satu! Hanya satu lagi!” teriakku menyerah dan menyambar paha ayam yang dikukus dengan menakjubkan itu.Aku yakin aku bisa memakan satu potong lagi. Dan aku akan mengeluarkan seluruh isi perutku saat Gatra menyodorkan yang lainnya untuk ketiga
Bagaimana kamu memandang Ayu, Gatra?Bagaimana aku memandang Ayu? Aku memikirkannya di dalam kantor. Untungnya tidak ada berkas yang perlu kupelajari dan kutandatangani secepatnya. Kemarin semua kerja sama yang memerlukan peninjauanku telah diselesaikan dan kini mulai dijalankan.Saat pertama kali mendengar soal Ayu, aku menilainya sebagai jalan keluar dari masalah yang sedang kualami saat ini. Apalagi tampaknya orang yang berkoar-koar tentang gadis yang diasuhnya itu mementingkan uang dibandingkan keselamatan manusia.Begitu aku tahu kalau yang dijual oleh manusia yang bahkan tidak pantas disebut manusia itu adalah gadis yang terkurung di dalam sebuah lingkungan yang buruk, aku kasihan dan gelisah.Aku mulai bertanya-tanya apakah hal yang tengah aku kerjakan ini benar? Secara hukum jelas itu masalah. Yang tengah aku alami adalah perdagangan manusia.Mendadak rencanaku yang hanya melakukan pembuahan melalui bayi tabung lenyap. Otakku berteriak kalau yang kulakukan tidak benar. Dan sat
Jantungku berdebar-debar bahkan setelah merebahkan diri di peraduan. Kenapa? Apa sekarang selain hamil aku juga mengalami masalah dengan jantung. Aku membuang napas beberapa kali sebelum akhirnya menyerah untuk mencobanya. Bukan apa-apa. Memang apa salahnya dengan penyakit tambahan, semua orang akan mati pada akhirnya.Kupejamkan mata, hendak tidur. Antara sadar dan tidak sadar aku mendengar pintu terbuka. Aku pikir itu hanya khayalanku belaka. Sampai aku merasakan seseorang sudah tidur di sampingku. Pegasnya melesak ke bawah jauh sekali.Aku membuka mata sedikit untuk melihat siapa itu. Sebelum membuka mata pikiran buruk telah menghampiriku lebih dulu. Kenangan semasa kecil datang dengan sangat cepat. Dongeng tentang makhluk-makhluk yang lebih di kenal sebagai dedemit di kampungku.“Ada apa?”Mataku jadi terbelalak lebar melihat siapa yang ad di sampinhgku saat ini. “Gatra?” tanyaku hampir tidak percaya.Setelah pengumuman bahwa aku akhirnya hamil datang, Gatra tidak pernah lagi sing
Ekspresi Alina sangat menyeramkan aku lihat. Sekarang aku menyadari apa yang dulu kurasakan pada Alina bukan cinta, tetapi tantangan dan perasaan ingin memiliki.“Ka-mu!” Alina menunjukku dengan marah.Jika ada hal yang bisa aku lakukan untuk Alina sekarang adalah menerima kemarahannya. Aku tahu kalau tidak ada alasan buatku lagi sekarang. Walau pun awal dari kesadaranku atas perasaanku sendiri adalah orang yang sama.“Aku tidak akan membuat alasan apapun padamu!”Alina melangkah dengan cepat ke arahku. Ia lalu melayangkan pukulan keas ke pipiku. Rasanya sangat menyengat dan aku tahu kaau Alina juga merasakan sakit di telapak tangannya.“Sebaiknya kamu mengompres telapak tanganmu,” usulku.“Tidak perlu sok baik. Aku tidak butuh kebaikan yang seperti itu. Bagaimana bisa kamu ….” Suara Alina melengking dan di matanya terdapat kilauan.Namun, satu fakta yang aku tahu sejak lama adalah tentang perasaan Alina padaku. Ia sama sekali tidak pernah mencintaiku. Ia mungkin bilang mencintaiku s
Mami Alina datang ke rumah setelah aku menghubungi wanita itu. Alina sendiri kukurung di kamar. Beberapa pelayan kutugaskan di pintu. Tentu saja aku menguncinya. Aku tidak mau ia keluar dan mencoba menyerang Ayu kembali. Tidak.Wanita itu masih tampak begitu mempesona seperti pertama kali aku melihatnya dulu sekali sebelum menikah dengan Alina. Tidak ada yang kurang. Bahkan kerutan di wajah mami Alina tertutupi dengan sempurna karena make upnya.“Ada apa?” tanyanya seolah panggilanku adalah sesuatu yang tidak berarti.Akan tetapi, dia harus tahu kalau Alina baru saja hampir mencelakai orang lain. Bagaimana kalau aku terlambat datang untuk memisahkan Alina dan Ayu? Apa yang akan terjadi pada anakku dan Ayu?“Mami pasti sudah dengar kan kenapa aku panggil ke sini.”“Tapi, itu urusan rumah tangga kalian, kenapa kamu memanggilku yang sudah tua dan sibuk ini?” tanyanya masih dengan tingkat kepedulian yang rendah.“Karena aku tahu kalau Mami lebih kenal Alina dibandingkan denganku. Aku tida
“Barusan kamu mengatakan apa?”Erlan datang pagi-pagi sekali ke rumahku. Ia diantar langsung ke ruang kerja dan aku sama sekali tidak bertanya ramah padanya seperti biasa. Alih-alih begitu aku langsung mengatakan padanya apa yang aku inginkan.“Aku tidak mau mengulang kalimat yang sama!” Aku duduk di kursi kerja, memutarnya hingga aku tidak bisa lagi melihat wajah Erlan di belakang.Namun, kursiku diputar kembali dengan cepat. Dan Erlan menatapku seperti menatap alien. “Kamu bisa katakan apa yang terjadi padaku?”Aku menghela napas dan mengangguk. Kuceritakan semua pembicaraan yang kulakukan dengan Ayu semalam. Bagaimana Ayu menilai dirinya sebagai pelaku ketimbang korban.“Kita adalah orang jahatnya di sini!” Aku mengatakannya tanpa memandang Erlan sedikit pun.Tusukan rasa bersalah menghantamku dengan sangat hebat. Apakah ini baik-baik saja? Apa benar kalau sesuatu seperti ini sama sekali tidak masalah?Aku tahu kalau hati nuraniku sudah menjawab dengan lantang. Kergauan itu sudah
Waktu melihat gambar anak itu di layar tidak ada perasaan bahagia yang mucul di dalam hatiku. Malahan aku merasa takut dan sedih. Semua orang gembira. Wajah mereka berseri-seri menatap makhluk yang berada di dalam perutku yang terkadan bergerak itu.Mata orang-orang bersinar-sinar tidak sabar menunggu saat-saat aku melahirkan. Mereka akan bertemu dengan hal yang paling mereka inginkan di dunia. Lalu, bagaimana denganku?Aku melihat berbagai macam orang di dunia ini dan bagaimana cara mereka menyambut kelahiran. Ada yang bahagia. Ada yang sedih. Dan hal yang aku yakini dilakukan ibuku sendiri adalah benci.Rasa takut itu semakin besar setiap kali aku melihat orang-orang bereaksi. Seluruh tubuhku seolah berteriak meminta mereka bertanya padaku apa yang aku rasakan.Aku ingin ditanyai. Aku ingin ditenangkan. Aku yang akan merasakan sakit saat melahirkan. Akan tetapi, aku adalah orang yang mereka abaikan pendapatnya. Bukankah ini tidak adil?Namun, ternyata ada seseorang yang peduli denga