“Rama, kenapa kamu bertindak seperti ini, Nak?” Malam ini kami dipanggil Bunda. Suasana sudah seperti sidang kasus kriminal saja. Bunda berlaku sebagai hakim, Mas Rama tersangka dan aku saksinya.“Rama emosi, Bun.”Untung Bunda mengunci kamarnya rapat-rapat, hingga seluruh ART dan penjaga tak ada yang mendengar.“Kamu itu pria 29 tahun, Ram. Beda dengan Cinta yang masih 21 tahun. Kalau Cinta yang emosi masih wajar, kamu sebagai lelaki lah yang harus meluruskan. Ini malah kamu yang emosi. Di mana peran kamu sebagai lelaki?”“Zadit sudah keterlaluan, Bun.”Bunda menggeleng.“Terus, Dennis yang tangannya masih sakit begitu juga kamu suruh ngehajar para preman itu?”Mas Rama yang kini menggeleng. “Gak, Bun. Dennis hanya nunjukin orang-orangnya. Setya sama Anzu yang ngehajar.”Bunda berdecak kecewa. “Harusnya kamu cukup lapor polisi.”“Bun, lelaki mana yang gak emosi lihat istrinya hampir dilecehkan, Bun.”“Rama, Rama. Dua puluh sembilan tahun Bunda didik kamu, masih saja kamu menangani m
“Biarkan kami membawa Pak Panorama. Bekerjasamalah, agar semua jadi mudah dan urusan cepat selesai.”“Ini kenapa seperti penyergapan tero*ris sih? Suami saya bukan tero*ris!” Aku berusaha menghalangi para petugas itu. “Kami hanya menjalankan tugas.”“Mana surat penangkapannya?” Zaky menimpali.“Ini.” Lelaki yang berseragam polisi itu menyodorkan sebuah surat kepada Zaky. Zaky menerima surat itu.“Atas tuduhan penganiayaan? Tapi kenapa sampai seperti ini penangkapannya. Apa ini tidak terlalu berlebihan?”“Maaf, kalau mengganggu. Tapi kami harus membawa Pak Rama sekarang.”“Dia lagi sakit.” Aku masih berusaha menghalangi.“Nanti akan diperiksa tim dokter polisi saja.”“Gak bisa.”“Maaf, kami harus.”“Tak semudah itu. Ini terlalu janggal. Tunjukkan identitas kepolisian kalian. Jangan-jangan kalian bukan polisi.” Zaky meminta bukti. Benar juga katanya. Bisa jadi mereka hanya orang suruhan. Palsu.“Kami tak perlu menunjukkan identitas.”“Kalau begitu biarkan saya menghubungi Polda Jambi d
KASUS Zadit diperpanjang di pengadilan. Ternyata, sejak awal semua memang rencananya. Para preman yang menyekapku dan hampir melecehkanku adalah orang sewaan. Photo yang diambil seolah-olah aku terjatuh di pelukannya, tanpa mengenakan hijab, memang disengaja.Semua itu dilakukan Zadit karena satu hal, dia menyukaiku sementara di jariku ia lihat sebuah cincin telah melingkar. Timbullah akal bulus untuk menghancurkan hubunganku dengan Mas Rama. Zadit, nama yang bagus, perangainya sayang sekali tak sebagus namanya.“InsyaAllah kamu sama Nak Rama bisa melewati semua ujian ini ya, Cinta. Bapak hanya bisa mendoakan dari jauh. Nanti pas jadwal kontrol Bapak mampir lagi, ya?” Aku menghubungi Bapak di kampung via panggilan telepon. Tentu saja Bapak sedih, panjang lebar aku hanya bercerita soal kejadian yang menimpa kami.“Bapak juga lihat di berita, kok. Rindu juga udah nelpon Bapak.”“Maafkan Cinta ya, Pak? Cuma bisa buat Bapak malu.”“Kamu malah buat Bapak bangga selama ini. Kasih sama Bagus
BEGITU selesai semua persoalan, aku dan Mas Rama akhirnya dapat merancang bulan madu. Kalau lah bisa diberi judul, mungkin Bulan Madu yang Tertunda adalah tajuk tepat pada kisah kami. Menikah sebelum Ramadhan, Mas Rama mencium bau busuk di perusahaan. Semua baru selesai sekarang. Ditambah, masalah dengan Zadit beberapa waktu lalu.Hah. Akhirnya hati ini bisa lega. Kami bisa menikmati waktu sepenuhnya berdua.“Hati-hati ya, Mas. Jaga Mbak Cinta baik-baik.” Tara menepuk pundak Mas Rama, seperti berlagak bahwa ia lah seorang kakak.“Ren, jaga Tara baik-baik. Awasi jangan sampai kebanyakan tebar pesona.” Pesan Mas Rama pada Rendra. Tara yang mendengar hal itu jadi mencebikkan bibir.Bandara Sulthan Thaha tak begitu ramai pagi menjelang siang itu. Tampak hanya segelintir orang yang hendak melakukan perjalanan. “Bun, pamit.” Kusalami tangan wanita yang sangat kuhormati itu.“Hati-hati ya, Nak. Jagain Rama untuk Bunda. Kalau Rama nakal cubit aja kuat-kuat. Anggap aja itu dari Bunda.”“Dih,
MENGAPA pula ketika baru saja Mas Rama merebahkan diri ke tempat tidur dan terlelap karena terlalu letih, Ulya menelepon? Dan mengapa pula saat kuangkat telepon Ulya itu, ia memanggil Mas Rama dengan tambahan kata ‘mas’ padahal sebelumnya ia hanya memanggil nama? Aneh. Apa hanya aku yang berpikir kalau ini bukan sekadar kebetulan?Ulya pergi ke Lombok. Tujuan yang sama dengan kami. Berangkat di jam yang bersamaan. Berada di pesawat yang sama bahkan duduk di kursi sebelah kami. Kebetulan?“Mas Rama tidur.” Aku mencoba menjawab sopan pada Ulya, meski rasa kesalku sudah hampir memuncak.“Ini Cinta? Aduh, maaf ya. Maaf. Aku kira Rama temenku yang lain. Soalnya di Lombok aku juga menemui orang yang namanya Rama. Aku salah sambung.”“Salah sambung atau sengaja?”“Apa maksudnya sih?”“Udahlah.”“Ya udah. Makasih.” Telepon ditutup Ulya.Cahaya kuning di ufuk sana meluruh dan perlahan menggelap. Tak terasa waktu maghrib pun seperti datang lebih cepat. Di kotaku, di waktu sekarang biasanya masi
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami