PoV FahryJadwal pekerjaanku sangat padat hari ini. Setelah kembali memulai dari bawah karirku, aku tetap berusaha kembali menunjukkan prestasiku. Siang ini tim kami sedang melakukan survey lokasi pekerjaan yang dulunya adalah sebuah hotel bintang empat yang sudah menjadi rahasia umum jika hotel ini adalah tempat prostitusi yang banyak dihuni oleh para mahasiswi yang mencari pria-pria berkantong tebal. Hotel ini kemudian dibeli oleh seorang pengusaha yang kemudian ingin mengubahnya menjadi pusat perbelanjaan, tak lagi sebagai tempat bertransaksi maksiat.Setibanya tim kami di hotel yang ternyata masih beroperasi karena belum resmi berpindah tangan itu, beberapa gadis dengan pakaian minim segera menghampiri tim kami yang semuanya adalah lelaki. Memang tak ada lagi arsitek wanita di perusahaan kami sejak Nasya resign. Perusahaan pun bukan tak mencari tapi memang belum menemukan arsitek wanita yang secerdas Nasya. Harus kuakui, Nasya memang partner yang sangat menguntungkan dalam urusan
“Itu bukan salah gue, Roy. Gue juga udah minta Nasya untuk ngelupain gue.”“Tapi paling tidak bersimpati lah, Ry.”“Jadi mau lu gue harus apa?”“Hubungilah dia sesekali. Siapa tau dengan begitu jiwanya yang gersang bisa sedikit lebih segar. Gue benar-benar takut jika kondisi kejiwaannya makin parah.”Aku tetap berkelit, sementara Roy masih tetap membujukku untuk peduli pada Nasya. Sejujurnnya dalam hatiku ada perasaan tak tega mendengar cerita Roy, tapi aku juga tak mau salah melangkah lagi.Aku dan Roy serta beberapa rekanku menoleh saat pintu ruangan kami diketuk. Lalu sosok yang selalu kurindukan itu muncul di sana. Tania! Oh iya, aku baru ingat kalau tadi pagi aku menyuruhnya ke kantorku mengantar bubur kacang yang dibuatnya tadi pagi. Aku memang penyuka bubur kacang, namun belum sempat menikmati buatan Tania tadi saat atasanku menelpon dan menyuruhku datang lebih awal untuk persiapan kunjungan lapangan kami tadi. Maka aku meminta Tania untuk mengantarkan bubur kacangnya di jam is
PoV Tania“Kamu yakin dengan semua cerita Roy?” tanyaku saat Mas Fahry menceritakan mengenai kondisi Nasya yang didengarnya dari Roy.“Sepertinya Roy nggak bohong, Tan. Lagian untuk apa dia berbohong, tak ada untungnya buat dia. Kamu meragukannya?”“Entahlah, Mas. Mugkin karena sudah berkali-kali Nasya meneror dengan tipu muslihatnya, aku sudah sulit untuk percaya semua yang kudengar tentangnya.”“Ya udah, kamu nggak usah mikirin dia. Toh aku hanya menceritakan apa yang Roy bilang tadi.”Aku diam. Jika benar apa yang dikatakan Mas Fahry tadi, aku bisa membayangkan betapa tertekannya Nasya, padahal saat ini dia tengah dalam kondisi hamil. Aku prihatin. Tapi jika memandang wajah suamiku yang selama ini begitu mudahnya diperdaya oleh Nasya, entah mengapa aku masih khawatir. Mas Fahry terlalu baik, bahkan mungkin terlalu polos untuk menghadapi wanita yang punya banyak cara seperti Nasya. Mungkin kebersamaan mereka bertahun-tahun dulu lah yang membuat Mas Fahry waktu itu selalu luluh dan t
Ternyata beberapa hari setelahnya pekerjaan Mas Fahry makin padat. Di hari di mana aku memintanya untuk tidak pulang malam, ia justru pulang tengah malam. Aku masih terjaga saat ia dengan pelan mencium keningku dan berbisik maaf. Aku memilih pura-pura tertidur agar ia tak merasa bersalah, padahal aku baru bisa tertidur lelap setelah ia berbaring di sebelahku dan lengannya melingkar di pinggangku.Hari-hari berikutnya pekerjaannya juga padat. Sudah tiga hari ini ia bahkan tak sempat makan malam di rumah bersamaku dan ibu. Menurut cerita Mas Fahry, beban pekerjaannya masih sama seperti saat dia masih menjadi kepala arsitek, mungkin karena beberapa pekerjaan memang sudah dikuasainya dengan baik jadi tanggung jawab itu tetap dibebankan di pundaknya.“Kemarin beberapa petinggi perusahaan memangil aku, Tan. Menurut mereka kemungkinan besar aku akan kembali dipromosikan ke jabatanku sebelumnya, karena memang aku masih memegang beberapa pekerjaan di posisi itu,” ucapnya tadi pagi saat kami se
PoV Fahry.Hatiku rasanya terbagi dua sesaat setelah mengakhiri telepon dari Tania. Aku takut akan kembali menimbulkan masalah akibat memenuhi keinginan Roy tadi. Roy tadi dengan wajah panik mendatangiku saat aku sedang berkonsentrasi dengan pekerjaanku.“Nasya, Ry! Nasya!” Serunya.Aku bingung, namun raut wajah panik Roy mengatakan ada sesuatu yang terjadi. Lalu dengan tangan gemetar Roy menyerahkan ponselnya padaku. Kusipitkan mataku menatap layar ponsel Roy yang menyajikan percakapannya dengan kontak yang diberi nama “Bik Inah”.“Siapa?” tanyaku masih tak mengerti.“Asisiten rumah tangga Nasya. Lu lihat kiriman video terakhirnya deh.”Aku penasaran, membuka video yang dimakud Roy.“Astaghfirullah!” pekikku tertahan.Vidoe itu memperlihatkan sosok seorang wanita hamil dengan rambut acak-acakan, yang sedang tertawa dan menggumam sendiri, lalu tak lama kemudian menangis meraung dan memukul-mukul perutnya yang terlihat buncit. Nasya! Ya, sosok di dalam video yang berdurasi sekitar 5 me
“Pakai mobilku aja, lu yang joki!” Kulemparkan kunci mobilku padanya.Aku sengaja menyuruhnya memakai mobilku agar nantinya aku bisa segera pulang kembali ke Jakarta setelah urusan Nasya berada dalam penanganan orang yang tepat.Aku masih memutar-mutar ponselku di tangan, memilih kalimat yang tepat untuk mengabari Tania mengenai keberangkatanku kali ini ke Bandung ketika justru Tania lah yang menelepon duluan. Ragu-ragu, aku menjawab telepon dari Tania. Rasa bersalah semakin menguasai ketika ternyata Tania menelepon karena ingin aku pulang lebih awal hari ini. Bagaimana ini? Aku melirik Roy yang sedang berkonsentrasi menyetir. Ah, seharusnya tadi aku mengabaikan ajakan Roy. Apakah Tania akan memahami alasanku kali ini? Atau aku akan kembali menggoreskan luka di hatinya?Dengan hati-hati kukatakan pada Tania jika aku sedang berada di jalan menuju Bandung. Jujur saja, aku terbata-bata saat harus kembali menyebut nama Nasya pada istriku. Namun di luar dugaanku, Tania justru mengatakan ka
Nasya tersenyum semringah saat keluar dari kamarnya diiringi oleh Bi Ina. Ia menghampiriku dan sama sekali tak memperdulikan Roy yang justru dari tadi menunggu dengan gelisah di depan pintu kamarnya.“Kupikir aku hanya berhalusinasi, Mas. Rupanya Mas Fahry memang ada di sini.”Aku sedikit menggeser dudukku ketika Nasya duduk di sampingku.“Kita mau ke mana?”Aku bergeming, melirik Roy yang menatap tajam ke arah kami.“Hari ini ulang tahun Mas Fahry, kan? Aku senang Mas Fahry mengunjungiku kemari.”“Sebentar ya, Sya. Aku mau bicara dengan Roy dulu.”Kutinggalkan Nasya yang kemudian menatap tak suka.“Dia kalau gini kelihatan normal. Terus mau kita bawa ke mana dia?” tanyaku pada Roy dengan suara pelan.“Gue juga bingung. Tapi lu liat sendiri kan tadi dia seperti apa kalau lagi kumat? Apa mungkin kita bawa ke rumah sakit aja dulu.”Aku meremas kasar rambutku.“Lu putusin segera, Roy! Gue enggak mau lama-lama di sini. Istri gue nungguin gue!” Aku mulai emosi.Roy menatapku, masih dengan
“Nilam pun merasakan hal seperti itu saat berhadapan dengan Mas Lukman. Nilam pernah mencintainya, lalu kemudian hubungan kami harus terpisah. Sekarang, saat melihatnya dengan segala problema hidupnya, Nilam masih sering merasa iba. Mas Lukman meski punya kuasa di perusahaannya, meski terlihat sangat perkasa karena sering berganti-ganti wanita, tapi sebenarnya dia rapuh. Hanya pada Nilam lah dia mau jujur, hanya Nilam lah yang tau apa sebenarnya yang sedang bergejolak dalam hatinya. Nilam tau dia selalu merasa kesepian, dia tak punya siapa-siapa, dia juga tak mungkin punya keturunan setelah vonis mandul yang diterimanya. Dan Nilam tak pernah bisa mengabaikannya, meski pun Nilam sadar Nilam sudah punya Mas Gibran.”Aku terenyuh mendengar cerita Nilam. Tak menyangka jika gadis lincah itu punya masalah yang sama denganku. Sungguh ikatan masa lalu ini tak bisa benar-benar pergi dari kehidupan kami masing-masing.“Kamu masih sering menghubungi Hasan Lukman?”"Tidak sering, aku dan Mas Lukm