Sudah tengah malam saat aku dan Nilam tiba di rumah. Rasa lelah setelah bolak balik Jakarta – bandung – Jakarta membuat seluruh tubuhku merasa pegal. Kupersilakan Nilam masuk ke dalam kamar Khanza, karena ia memang sering tidur di kamar itu ketika sedang menginap di rumah kami.“Sepertinya Tania sudah tidur, Dek. Kamu istrirahat dulu, ya.”Nilam mengangguk dan segera menghilang dari pandanganku, masuk ke kamar Nilam. Dengan hati-hati kubuka pintu kamarku dan Tania, beruntung Tania tak mengunci pintunya, mungkin ia juga sedang menungguku.Dalam remangnya lampu tidur, aku melihat tubuh istriku itu berbaring memunggungiku. Ada rasa cemas di dalam hati, apakah Tania akan marah dan protes atas kepergianku ke Bandung kali ini?. Kurebahkan tubuhku di sampingnya setelah terlebih dahulu membersihkan tubuh. Ya, aku memilih mandi agar tak ada bekas-bekas aroma Nasya yang mendekapku erat saat membawanya ke rumah sakit tadi. Paling tidak, ini adalah usahaku untuk datang dengan tubuh bersih dari Na
Kilau cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah gorden kamarku membuatku menggeliat dari tidurku. Kuraba ruang di sebelahku, tak ada lagi Tania di sana. Tentu saja Tania sudah bangun lebih dahulu karena ini memang sudah pagi, lagi-lagi aku melewatkan salat subuh. Semalam aku tak bisa memejamkan mata membayangkan bagaiman nantinya respon Tania. Kulirik nakas di sebelah tempat tidurku, tak ada lagi bingkai foto Tania dan Mas Farhan disana. Padahal semalam aku meletakkannya di sana. Mungkin Tania sudah menyimpannya kembali.Ibu menatapku dengan tatapan sinis saat aku keluar dari kamar.“Tania dan Khanza ke mana, Bu?”“Ibu kecewa padamu, Nak. Kenapa kamu terus-menerus melakukan kesalahan yang sama? Bukankah hanya orang bodoh yang jatuh berulang-ulang dalam kesalahan yang sama? Tapi kamu tak bodoh, Nak. Kamu anak ibu yang paling cerdas.”Aku memejamkan mataku, merasa bersalah pada ibu. Lalu aku menarik tubuh wanita renta itu dalam dekapanku, mencari kekuatan di sana.“Fahry lelah, Bu.”
Kebahagiaan melingkupi keluarga kami setelah info mengenai kehamilan Tania tersebar. Tak hanya ibuku, tapi juga ibu mertuaku juga kerap datang dan membawakan berbagai macam makanan untuk Tania. Kali ini aku berjanji akan benar-benar menjaga Tania agar tak mengalami keguguran lagi seperti yang pernah di alaminya waktu itu.Tania pun tak mengalami kondisi mengidam yang parah, ia hanya tak suka dengan beberapa aroma tajam. Yang berubah hanya satu, Tania semakin manja padaku. Kondisi ngidam yang menguntungkan bagiku, karena jika sedang bersamanya, Tania akan selalu bergelayut manja padaku. Ia juga sangat suka menghirup aroma tubuhku, membuatku sedikit kerepotan jika ia justru melarangku untuk mandi karena menyukai aroma keringatku. Namun aku menikmatinya, menikmati semua perubahan ajaib Tania seiring dengan perutnya yang semakin hari semakin terlihat membuncit.Sesekali ketika sedang di kantor, Roy juga masih bercerita padaku mengenai kondisi Nasya yang ternyata hingga saat ini masih menj
“Kamu udah kayak dokter beneran deh, Sayang,” kataku saat Tania menjelaskan dengan detail mengenai hasil pemeriksaannya.“Iya, Mas. Aku menghapal semua yang dikatakan dokter agar aku bisa kembali menceritakannya padamu.”Aku terkekeh. Lalu meraih tubuhnya, menenggelamkannya dalam dekapanku.“Kenapa nggak minta kuantar aja sih, Tan. Kan aku bisa dengar langsung dari dokter beneran bukan dari dokter gadunganku ini.”Ia tak menjawab, hanya mencubit kecil pingganggku ketika aku menyebutnya dokter gadungan. Lalu kemudian kami tertawa bersama. Ah, indahnya masa-masa ini. Walaupun sesekali aku melihat Tania terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi kurasa itu adalah hal yang wajar, sebab ia tengah mengandung.***Berita yang kudapat berikutnya dari Roy adalah tenyata bayi Nasya yang terlahir sebelum waktunya tak dapat bertahan hidup. Menurut Roy, selain karena terlahir prematur, kondisi bayi Nasya juga memang kurang nutrisi mengingat selama hamil Nasya tak pernah mengurus dirinya sendiri, apa
Aku hanya mengintip dari balik pintu ruangan perawatan Nasya di rumah sakit jiwa ketika akhirnya aku mengabulkan keinginan Tania untuk menjenguknya. Ternyata bukan hanya Tania, tapi ibuku pun meminta ikut saat kukatakan jika kami akan ke Bandung menengok Nasya.Aku memilih untuk tidak ikut masuk, tak mau ada insiden yang tak kuinginkan lagi. Sementara Roy, yang juga ikut ke Bandung karena memang setiap weekend ia akan mengunjungi Nasya menemani ibu, Tania dan Khanza ke dalam ruangan Nasya.“Ayah, Tante Nasya sakit apa? Kenapa nggak cantik seperti dulu lagi?” tanya Khanza sesaat setelah keluar dari sana.“Ayah juga nggak tau, Sayang. Yang pasti Tante Nasya butuh doa dari Khanza agar ia cepat sembuh,” jawabku.“Tapi Tante Nasya tetap baik sama Khanza, Ayah. Dia tadi meluk Khanza katanya kangen. Khanza juga kangen Tante Nasya.”Aku melirik Tania, ia hanya mengangguk.“Ibu tak menyangka Nasya bisa jadi seperti ini, Nak. Ibu kasihan melihatnya.” Kali ini ibu yang menggumam.“Kita doakan sa
Malam ini, aku dan Tania menghadiri undangan makan malam dari Gibran. Dokter yang juga sahabatku yang seklaigus juga adalah kekasih dari Nilam. Gibran memang selalu seperti ini, merayakan ulang tahunnya di Jakarta meski ia sebenarnya bertugas di Bandung.Satu hal yang pernah membuatku tercengang saat Gibran pernah mengakui jika waktu itu ia memilih meninggalkan Jakarta dan bertugas di Bandung karena ia ingin menghindariku dan Tania. Ya, Gibran memang dengan terang-terangan mengakui jika ia dulu menyukai Tania, namun aku mendahuluinya satu langkah karena akulah yang lebih dulu melamar Tania. Terlebih seluruh keluargaku dan Tania sangat mendukung hubungan kami saat itu.Namun kini, Gibran pun sudah menemukan tambatan hatinya yang tak lain adalah adik kandung Tania. Sungguh kebetulan yang sangat aneh menurutku. Tak jarang saat sedang bersama Tania, aku masih sering melihat Gibran melirik sembunyi-sembunyi pada Tania. Aku lelaki, dan aku tau binar mata Gibran masih menunjukkan rasa kagumn
Gibran menatapku penuh tanya saat aku menariknya dengan kasar dari kerumunan tamu undangan dinnernya.“Apa-apaan lu!”“Ikut gue sebentar, Gib!”Tania sendiri sudah tak terlihat berada satu meja dengan dokter yang menemaninya mengobrol tadi.“Dia! Dia siapa?” tanyaku dengan gugup pada Gibran menunjuk ke arah pria yang masih berjubah dokter, yang tadi duduk berhadapan dengan Tania.“Ya teman gue lah, Ry. Lu enggak liat dia masih pakai jubah dokter.” Gibran terlihat kesal.“Maksud gue ... dia dokter apa?”“Dia dr. Bambang. Dokter senior, spesialis Onkologi.” Gibran menjelaskan singkat.“Tahan dia di sini, Gib. Jangan biarkan dia pulang sebelum gue kembali kemari. Gue mau antar Tania pulang dulu.”Gibran masih menatapku tak mengerti, namun aku mengacuhkannya lalu mencari Tania di antara kerumunan tamu. Hingga akhirnya aku kembali menemukan istriku itu sedang duduk bersama Nilam, wajahnya terlidat sendu, aku bisa menangkap sisa-sisa tangisan di sana namun ia segera tersenyum saat melihatku
Sekali lagi aku hanya mengangguk, semoga saja pria itu mengerti bagaimana syok nya aku saat ini sehingga tak sanggup lagi berkata-kata. Gibran mengantarkan dr. Bambang dan beberapa rekannya yang lain, sementara aku masih terduduk lemas.Kutengadahkan wajahku memandangi langit kelam yang berhias bintang malam. Air mataku terus menerus luruh meski aku sudah berusaha menahannya sekuat tenaga. Tania Nadira, istriku, ternyata menyimpan begitu banyak kesakitan yang tak ingin dibaginya denganku. Dia ingin melahirkan bayiku ke dunia ini tanpa kekurangan apapun, tapi justru mengorbankan tubuhnya sendiri demi memastikan bayi kami tumbuh dengan baik.Suara helaan napas di dekatku membuatku mengalihkan perhatianku dari memandang langit malam. Gibran terlihat sudah kembali duduk di hadapanku, entah kapan lelaki itu sudah kembali duduk di sana. Ia terlihat tak sesemringah tadi, yang sepanjang acara makan malam perayaan ulang tahunnya terus saja menyunggingkan senyum sambil menyapa para tetamunya.