Nasya tersenyum semringah saat keluar dari kamarnya diiringi oleh Bi Ina. Ia menghampiriku dan sama sekali tak memperdulikan Roy yang justru dari tadi menunggu dengan gelisah di depan pintu kamarnya.“Kupikir aku hanya berhalusinasi, Mas. Rupanya Mas Fahry memang ada di sini.”Aku sedikit menggeser dudukku ketika Nasya duduk di sampingku.“Kita mau ke mana?”Aku bergeming, melirik Roy yang menatap tajam ke arah kami.“Hari ini ulang tahun Mas Fahry, kan? Aku senang Mas Fahry mengunjungiku kemari.”“Sebentar ya, Sya. Aku mau bicara dengan Roy dulu.”Kutinggalkan Nasya yang kemudian menatap tak suka.“Dia kalau gini kelihatan normal. Terus mau kita bawa ke mana dia?” tanyaku pada Roy dengan suara pelan.“Gue juga bingung. Tapi lu liat sendiri kan tadi dia seperti apa kalau lagi kumat? Apa mungkin kita bawa ke rumah sakit aja dulu.”Aku meremas kasar rambutku.“Lu putusin segera, Roy! Gue enggak mau lama-lama di sini. Istri gue nungguin gue!” Aku mulai emosi.Roy menatapku, masih dengan
“Nilam pun merasakan hal seperti itu saat berhadapan dengan Mas Lukman. Nilam pernah mencintainya, lalu kemudian hubungan kami harus terpisah. Sekarang, saat melihatnya dengan segala problema hidupnya, Nilam masih sering merasa iba. Mas Lukman meski punya kuasa di perusahaannya, meski terlihat sangat perkasa karena sering berganti-ganti wanita, tapi sebenarnya dia rapuh. Hanya pada Nilam lah dia mau jujur, hanya Nilam lah yang tau apa sebenarnya yang sedang bergejolak dalam hatinya. Nilam tau dia selalu merasa kesepian, dia tak punya siapa-siapa, dia juga tak mungkin punya keturunan setelah vonis mandul yang diterimanya. Dan Nilam tak pernah bisa mengabaikannya, meski pun Nilam sadar Nilam sudah punya Mas Gibran.”Aku terenyuh mendengar cerita Nilam. Tak menyangka jika gadis lincah itu punya masalah yang sama denganku. Sungguh ikatan masa lalu ini tak bisa benar-benar pergi dari kehidupan kami masing-masing.“Kamu masih sering menghubungi Hasan Lukman?”"Tidak sering, aku dan Mas Lukm
Sudah tengah malam saat aku dan Nilam tiba di rumah. Rasa lelah setelah bolak balik Jakarta – bandung – Jakarta membuat seluruh tubuhku merasa pegal. Kupersilakan Nilam masuk ke dalam kamar Khanza, karena ia memang sering tidur di kamar itu ketika sedang menginap di rumah kami.“Sepertinya Tania sudah tidur, Dek. Kamu istrirahat dulu, ya.”Nilam mengangguk dan segera menghilang dari pandanganku, masuk ke kamar Nilam. Dengan hati-hati kubuka pintu kamarku dan Tania, beruntung Tania tak mengunci pintunya, mungkin ia juga sedang menungguku.Dalam remangnya lampu tidur, aku melihat tubuh istriku itu berbaring memunggungiku. Ada rasa cemas di dalam hati, apakah Tania akan marah dan protes atas kepergianku ke Bandung kali ini?. Kurebahkan tubuhku di sampingnya setelah terlebih dahulu membersihkan tubuh. Ya, aku memilih mandi agar tak ada bekas-bekas aroma Nasya yang mendekapku erat saat membawanya ke rumah sakit tadi. Paling tidak, ini adalah usahaku untuk datang dengan tubuh bersih dari Na
Kilau cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah gorden kamarku membuatku menggeliat dari tidurku. Kuraba ruang di sebelahku, tak ada lagi Tania di sana. Tentu saja Tania sudah bangun lebih dahulu karena ini memang sudah pagi, lagi-lagi aku melewatkan salat subuh. Semalam aku tak bisa memejamkan mata membayangkan bagaiman nantinya respon Tania. Kulirik nakas di sebelah tempat tidurku, tak ada lagi bingkai foto Tania dan Mas Farhan disana. Padahal semalam aku meletakkannya di sana. Mungkin Tania sudah menyimpannya kembali.Ibu menatapku dengan tatapan sinis saat aku keluar dari kamar.“Tania dan Khanza ke mana, Bu?”“Ibu kecewa padamu, Nak. Kenapa kamu terus-menerus melakukan kesalahan yang sama? Bukankah hanya orang bodoh yang jatuh berulang-ulang dalam kesalahan yang sama? Tapi kamu tak bodoh, Nak. Kamu anak ibu yang paling cerdas.”Aku memejamkan mataku, merasa bersalah pada ibu. Lalu aku menarik tubuh wanita renta itu dalam dekapanku, mencari kekuatan di sana.“Fahry lelah, Bu.”
Kebahagiaan melingkupi keluarga kami setelah info mengenai kehamilan Tania tersebar. Tak hanya ibuku, tapi juga ibu mertuaku juga kerap datang dan membawakan berbagai macam makanan untuk Tania. Kali ini aku berjanji akan benar-benar menjaga Tania agar tak mengalami keguguran lagi seperti yang pernah di alaminya waktu itu.Tania pun tak mengalami kondisi mengidam yang parah, ia hanya tak suka dengan beberapa aroma tajam. Yang berubah hanya satu, Tania semakin manja padaku. Kondisi ngidam yang menguntungkan bagiku, karena jika sedang bersamanya, Tania akan selalu bergelayut manja padaku. Ia juga sangat suka menghirup aroma tubuhku, membuatku sedikit kerepotan jika ia justru melarangku untuk mandi karena menyukai aroma keringatku. Namun aku menikmatinya, menikmati semua perubahan ajaib Tania seiring dengan perutnya yang semakin hari semakin terlihat membuncit.Sesekali ketika sedang di kantor, Roy juga masih bercerita padaku mengenai kondisi Nasya yang ternyata hingga saat ini masih menj
“Kamu udah kayak dokter beneran deh, Sayang,” kataku saat Tania menjelaskan dengan detail mengenai hasil pemeriksaannya.“Iya, Mas. Aku menghapal semua yang dikatakan dokter agar aku bisa kembali menceritakannya padamu.”Aku terkekeh. Lalu meraih tubuhnya, menenggelamkannya dalam dekapanku.“Kenapa nggak minta kuantar aja sih, Tan. Kan aku bisa dengar langsung dari dokter beneran bukan dari dokter gadunganku ini.”Ia tak menjawab, hanya mencubit kecil pingganggku ketika aku menyebutnya dokter gadungan. Lalu kemudian kami tertawa bersama. Ah, indahnya masa-masa ini. Walaupun sesekali aku melihat Tania terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi kurasa itu adalah hal yang wajar, sebab ia tengah mengandung.***Berita yang kudapat berikutnya dari Roy adalah tenyata bayi Nasya yang terlahir sebelum waktunya tak dapat bertahan hidup. Menurut Roy, selain karena terlahir prematur, kondisi bayi Nasya juga memang kurang nutrisi mengingat selama hamil Nasya tak pernah mengurus dirinya sendiri, apa
Aku hanya mengintip dari balik pintu ruangan perawatan Nasya di rumah sakit jiwa ketika akhirnya aku mengabulkan keinginan Tania untuk menjenguknya. Ternyata bukan hanya Tania, tapi ibuku pun meminta ikut saat kukatakan jika kami akan ke Bandung menengok Nasya.Aku memilih untuk tidak ikut masuk, tak mau ada insiden yang tak kuinginkan lagi. Sementara Roy, yang juga ikut ke Bandung karena memang setiap weekend ia akan mengunjungi Nasya menemani ibu, Tania dan Khanza ke dalam ruangan Nasya.“Ayah, Tante Nasya sakit apa? Kenapa nggak cantik seperti dulu lagi?” tanya Khanza sesaat setelah keluar dari sana.“Ayah juga nggak tau, Sayang. Yang pasti Tante Nasya butuh doa dari Khanza agar ia cepat sembuh,” jawabku.“Tapi Tante Nasya tetap baik sama Khanza, Ayah. Dia tadi meluk Khanza katanya kangen. Khanza juga kangen Tante Nasya.”Aku melirik Tania, ia hanya mengangguk.“Ibu tak menyangka Nasya bisa jadi seperti ini, Nak. Ibu kasihan melihatnya.” Kali ini ibu yang menggumam.“Kita doakan sa
Malam ini, aku dan Tania menghadiri undangan makan malam dari Gibran. Dokter yang juga sahabatku yang seklaigus juga adalah kekasih dari Nilam. Gibran memang selalu seperti ini, merayakan ulang tahunnya di Jakarta meski ia sebenarnya bertugas di Bandung.Satu hal yang pernah membuatku tercengang saat Gibran pernah mengakui jika waktu itu ia memilih meninggalkan Jakarta dan bertugas di Bandung karena ia ingin menghindariku dan Tania. Ya, Gibran memang dengan terang-terangan mengakui jika ia dulu menyukai Tania, namun aku mendahuluinya satu langkah karena akulah yang lebih dulu melamar Tania. Terlebih seluruh keluargaku dan Tania sangat mendukung hubungan kami saat itu.Namun kini, Gibran pun sudah menemukan tambatan hatinya yang tak lain adalah adik kandung Tania. Sungguh kebetulan yang sangat aneh menurutku. Tak jarang saat sedang bersama Tania, aku masih sering melihat Gibran melirik sembunyi-sembunyi pada Tania. Aku lelaki, dan aku tau binar mata Gibran masih menunjukkan rasa kagumn