“Gue rasa apa yang diharapkan keluarga kalian itu wajar, Ry. Lu harus tanggung jawab pada hidup Nilam setelah dia menyerahkan semua waktu dan pikirannya untuk jaga dan besarin anak lu. Anak lu bahkan lebih dekat ama Nilam dibanding lu yang ayah kandungnya, kan?”“Sulit, Gib. Gue hanya menganggap Nilam sebagai adik gue. Bagaimana mungkin gue menikahinya dan tidur seranjang dengan adik gue sendiri.”“Lah, bukannya kemarin udah tidur seranjang dan melukin dia?”“Ck! Sudah kubilang itu kejadian tak disengaja. Gue dan Nilam sama-sama kelelahan sementara Baby Ghazy rewel dan membuatku akhirnya ketiduran di kamar Nilam.”“Tapi kok pakai meluk?”“Entahlah! Mungkin waktu itu gue lagi mimpiin Tania.” Hatiku kembali basah oleh air mata, memikirkan Tania tak pernah membuat hatiku baik-baik saja. Selalu ada rasa rindu yang bergaung di sana, merindukan sosok wanita sempurna itu. Ah, aku merindukan semua tentangmu, Tania.‘Lihatlah aku sekarang, Tania. Lihatlah bagaimana hancurnya hidupku tanpamu. B
Akhirnya aku pun menikahi Nilam, adik iparku, setelah mendapat desakan dari keluarga dan ternyata Nilam pun tak mengajukan keberatan. Berbeda dengan pernikahanku dengan Tania dulu yang diadakan di rumahku, kali ini acara sederhana digelar di rumah Pak Edy, ayah mertuaku. Acara yang sangat sederhana, meski tetap sakral. Acara akad nikah hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dekat kami yang mendukung aku dan Nilam menikah. Di keluarga Pak Edy sendiri, ada beberapa kerabat mereka yang tak mau hadir karena tidak menyukai pernikahan ini.Aku bukan tak mendengar ada bisik-bisik yang memojokkanku karena menganggap aku memaksa Nilam untuk kunikahi agar Nilam bisa merawat anak-anakku. Ada pula desas-desus yang mengatakan aku pria yang tak punya hati, menikahi adik iparku sendiri yang usianya jauh di bawahku. Ya, usiaku dan Nilam memang selisih hampir 10 tahun. Nilam baru berusia 20 tahun sedangkan aku sudah hampir memasuki usia 30.“Kasihan Nilam. Aku enggak percaya Fahry menikahinya karena cin
Sepulang dari kafe ngumpul dengan Gibran dan beberapa teman lainnya, aku terkejut saat memasuki kamarku. Kamar yang tadinya berantakan dan bau asap rokok itu kini telah rapi dan wangi. Aku terpaku sesaat di depan pintu kamar, entah kapan terakhir kamar ini serapi ini. Sejak Tania pergi, kamarku menjadi tempat yang menyeramkan bagiku karena semua kenanganku dengan Tania ada di kamar ini. Kucari-cari sosok yang telah membuat kamarku menjadi serapi dan sewangi ini, namun aku tak menemukannya. Hingga akhirnya aku membuka kamar Khanza dan menemukan Nilam sedang tidur sambil memeluk Ghazy di sana.Nilam membuka matanya saat menyadari kehadiranku.“Mas Fahry sudah pulang? Maaf Nilam ketiduran,” bisiknya, sepertinya ia takut Ghazy ikut terbangun.“Kenapa malah tidur di sini?” tanyaku ikut berbisik.“Nggak enak tidur di kamar Mas Fahry. Tadi abis Nilam bersih-bersih langsung ke kamar ini.”Nilam memang sudah terbiasa tidur di kamar Khanza ketika menginap di rumah kami.“Ibu dan Khanza ke rumah
“Maaf, ya, Mas. Nilam belum tau apa saja yang harus Nilam siapkan untuk keperluan Mas Fahry.” Nilam sudah bangun saat aku keluar dari kamar mandi.Pipinya terlihat merona merah saat melihatku keluar hanya dengan belitan handuk putih. “Nggak perlu menyiapkan apa pun, Dek. Mas bisa nyiapin sendiri. Oiya, bagaimana tidurnya semalam?”“Ghazy rewel, Mas. Semalaman nangis. Mungkin karena masih merasa asing dengan kamar ini. Makanya Nilam kesiangan bangunnya.”“Loh kenapa nggak bangunin Mas semalam kalau Ghazy rewel?” Aku bertanya sambil mengambil pakaian kerjaku dari dalam lemari. Ia tak menjawab.“Mas.”Aku menoleh, Nilam seperti sedang ragu-ragu.“Kalau Mas Fahry nggak mau tidur di kamar Mas karena ada Nilam. Nilam bisa kembali ke rumah ayah. Lagian Ghazy juga kelihatan tak betah di sini Mas.”Aku menghampirinya, memegang pipinya dengan telapak tangan kananku. Pipinya terasa panas, atau mungkin karena tanganku yang dingin karena baru saja mandi.“Maaf ya, Dek, kalau Mas udah bikin kamu t
“Bunda di surga ketemu ayah Farhan, Yah?”“Iya dong, Sayang. Bunda dan Ayah Farhan sudah bahagia di sana. Apalagi kalau Khanza dan Ghazy jadi anak baik, tidak membentak Tante Nilam seperti tadi.”Gadis itu menunjukkan penyesalan.“Kalau begitu nanti Khanza minta maaf pada Tante Nilam, Yah. Tapi, Khanza nggak mau panggil bunda pada Tante Nilam, ya.”“Emang ada yang nyuruh Khanza manggil bunda pada Tante Nilam?”“Kata teman-teman Khanza, Yah.”“Jangan dengarkan teman-teman Khanza, Nak. Tante Nilam juga nggak akan memaksa Khanza mau manggil apa. Karena apapun panggilan Khanza padanya, Tante Nilam tetaplah menyayangi kalian berdua, Khanza dan adik Ghazy.”“Ayah juga?”Aku terdiam sesaat. “Iya dong, Sayang. Tante Nilam sayang pada kita semua.”***Sore hari menjelang maghrib aku baru pulang ke rumah. Nilam menyambutku kaku sambil menggendong Baby Ghazy. Aku langsung melirik pakaiannya, takut jika ia berpakaian minim seperti kemarin. Tapi ternyata kali ini Nilam berpakaian sangat sopan, kao
PoV NilamSudah seminggu ini aku berada di rumah ini sebagai istri dari Fahry Aditama, kakak iparku yang akhirnya sekarang menjadi suamiku. Aku sendiri tak mengerti mengapa dengan mudahnya aku mengiyakan dan pasrah saja pada keputusan ayan dan ibu untuk menikahkanku dengan Mas Fahry. Kata-kata demi Ghazy dan demi Khanza selalu jadi alasan utama keluarga besar kami. Kurasa alasan yang sama pula yang dulu membuat Tania menerima lamaran Mas Fahry sepeninggal Mas Farhan.Di malam pertama aku berada di rumah ini, aku benar-benar gelisah semalaman. Selain karena Baby Ghazy rewel, aku pun merasa sedikit tersinggung karena rupanya Mas Fahry tak mau tidur sekamar denganku dan memilih tidur di kamar Khanza. Ya, terang saja aku tersinggung. Aku adalah gadis yang baru pertama kali menikah dan menyandang status istri. Meski aku belum berani membayangkan hal yang lebih jauh mengenai hubunganku dengan Mas Fahry, tapi setidaknya aku membayangkan pagi harinya bisa terbangun sambil menatap wajah lelaki
Kecupan singkat, pujian Mas Fahry dan Khanza pada masakanku, serta ekspresinya yang menurut saat aku memintanya tak merokok di kamar tadi membuatku hari ini menjalani hariku dengan penuh semangat. Khanza dan Ghazy pun semakin akran dan menjadi pelipur lara bagi ibu mertuaku menyaksikan mereka berdua bermain bersama di dalam rumah. Suara-suara khas anak kecil membuat rumah ini terasa kembali ceria, itu yang dikatakan ibu padaku.“Rumah ini terasa mati beberapa bulan terakhir ini semenjak kepergian Mbak mu, Nak. Ibu bersyukur sekarang masih bisa menikmati pemandangan seperti ini. Melihat cucu-cucu ibu bermain bersama.”Aku hanya tersenyum. Satu lagi yang membuatku merasa bahagia, tadi sewaktu kembali ke dapur untuk membereskan peralatan makan Mas Fahry dan Khanza, ternyata semua sudah bersih dan tersusun rapi.“Tadi ayah yang beresin. Katanya biar nggak ngerepotin Tante Nilam.” Itu yang dikatakan Khanza saat aku bertanya.“Nak Nilam.” Suara ibu membuyarkan lamunanku.“Iya, Bu.”“Nak Nil
“Tapi, Dek ..."“Tanpa tapi, Mas. Nilam nggak kenal kata tapi jika berurusan dengan wanita gila itu! Bahkan Nilam bisa lebih gila darinya jika ia mengusik ketenangan hidup Mas Fahry, terutama anak-anak Mbak Tania!”Mas Fahry justru memandangku sambil tertawa kecil, tak lama kemudian ia menghampiriku lalu mengacak-acak rambutku.“Kamu berlebihan, Dek. Mas nggak ada maksud apa-apa. Ini murni kerja sama bisnis. Kamu pasti tau kan Hasan Lukman mewariskan separuh harta dan perusahaannya pada Nasya. Dan dia sekarang sedang memulai merintis dari awal lagi bersama salah satu rekanku. Jadi karena kami bergerak di bidang yang sama, kami punya kesepakatan untuk saling mendukung.”Aku terdiam sesaat, tapi naluriku tetap saja waspada dengan semua yang berhubungan dengan Nasya. Kata-kata Mbak Tania sebelum meninggal waktu itu masih kuingat dan akan selalu kuingat.“Dek, jika nanti Mbak nggak bisa bertahan dan harus menyerah pada penyakit ini, Mbak mohon Nilam yang mengambil alih menjagakan anak-ana