Beberapa waktu yang lalu, di tempat lain, Kinan menghentikan motornya karena ponselnya terus saja berdering. Dia menepi untuk menerima panggilan itu. Dia takut ada hal penting dari kampus atau yang lain. Saat dia melihat layar ponselnya, dia segera menggulir tanda telepon berwarna hijau.“Halo, Bu?” sapanya.“Kinan? Sebentar lagi saya mau ke kantornya Ken. Saya mau ngecek perkembangan dia, tapi saya masih kejebak macet ini. Saya ada rencana mau makan siang di sana. Apa kamu bisa tolong belikan makanan dan antar ke sana?” pinta Za.“Mmh, itu … saya ….”“Apa kamu sedang sibuk? Sudah mulai kuliah?” tanya Za.“Eh, bu-bukan, Bu. Saya baru pulang dari tes masuk. Saya sama sekali nggak sibuk. Hanya saja saya tidak tau di mana kantor Abang,” jawab Kinan.Za terperangah sejenak, heran karena sepertinya Ken belum pernah mengajak Kinan ke kantornya. Namun, akhirnya dia bisa menguasai diri. “Oh, begitu. Ok, begini saja. Saya nanti kasih kamu alamat lengkapnya dan kamu bisa pakai google map, kan?”
“Kamu sudah di sini, baguslah. Mari kita makan bersama,” ajak Za. Mata Ken terbelalak. Dia tidak mau jika keberadaan Miranda di ruangannya tersendus sang ibu.“Emmh, itu … kita makan di ruang meeting saja.” Ken memberikan saran. Namun, Za menolak.“Tidak, tidak. Bunda ingin melihat ruanganmu, sekalian ngecek kerjaanmu,” jawab Za dan melanjutkan langkah menuju ruangan sang putra.Ken mematung dengan mata melotot pada Kinan. “Elu harus nolongin gue,” ucapnya dengan wajah memucat.“Rasain! Makanya jaga syahwatmu itu,” desis Kinan mendelik lalu mengikuti langkah ibu mertuanya.“Shit! Sial!” Ken mengkus kesal, walau begitu dia menyusul keduanya ke ruangan.“Ini kenapa makanannya kok di sini?” tanya Za yang melihat tas berisi kotak makanan di lantai.“Eh, tadi terjatuh, Bu,” jawab Kinan dan gegas mengambil tas itu.Za langsung duduk di sofa sambil menatap sekeliling. “Ruangan ini Bunda yang design. Persis seperti yang Bunda mau. Semoga kamu suka,” ucapnya pada Ken yang duduk dengan gelisah.
Kinan seperti biasa memasak untuk makan malam. Meski dia masih merasa kesal dengan Ken, tetapi dia tetap melakukan kewajibannya.Ken pulang sudah hampir Isya. Dia tampak kelelahan. Bukan hanya lelah dengan masalah pekerjaan, tetapi hatinya juga.Wangi makanan menguar saat dia mengempaskan dirinya di sofa dan membuka kaus kaki.“Makanan sudah siap,” ujar Kinan sambil mengambil kaus kaki yang terserak di lantai, lalu menyimpannya ke tempat cucian.Ken hanya mengembus napas kasar sambil memperhatikan gerakan istrinya. Kinan memang baik sebagai seorang istri. Setiap pagi selalu menyiapkan sarapan dan juga makan malam. Wanita itu juga mencucikan semua bajunya. Namun, Ken sama sekali tidak berselera saat melihat dirinya. Rasannya seperti melihat makanan yang sudah dingin. Nggak berselera.Dada, pinggul, paha, semuanya rata. Meskipun wajahnya cantik, tetapi di mata Ken Kinan bagai seorang anak kecil saja. Belum pantas untuk dinikmati. Berbeda jauh dengan Miranda yang memiliki tubuh yang sint
Dua minggu sudah Kinan kuliah. Dia mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Tak jarang dia juga pulang malam, hampir Isya. Berbarengan dengan Ken sampai di rumah. Seperti halnya malam ini, Kinan pulang lebih terlambat, karena ada jadwal kuliah jam lima sore. Jadwal dadakan karena dosennya ada keperluan di siang hari.Kinan buru-buru memarkir motor matic-nya di garasi di mana mobil Ken sudah terparkir di sana.“Duh, dia udah pulang, aku belum sempet masak,” gumamnya sambil menaruh helm di rak. Kinan gegas masuk. Matanya memicing saat melihat pemandangan tak senonoh di ruang TV. Ada ken yang duduk bersandar ke sofa, lalu di sebelahnya ada Miranda yang bersandar di pundak Ken sambil memainkan jarinya di dada bidang lelaki itu.Kinan menarik napas panjang. Meski cinta itu belum ada, tetapi tidak bisa juga jika dia melihat pemandangan itu di rumahnya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang tidak boleh dikotori dengan perbuatan asusila suaminya.Melihat kedatangan Kinan, Miranda langsung menda
Di luar masih terdengar raungan Miranda yang terdengar manja pada Ken, dan Kinan hanya bisa menghela napas gusar. Ucapannya yang kemarin, malah menjadi boomerang yang memantul dan menyerangnya tanpa ampun.Jika Miranda saat ini tengah merasakan sakit di kepala, tangan juga matanya, sedangkan Kinan merasakan sakit di hatinya.“Apa Ibu Za akan senang jika si Bangke itu akhirnya menikah sama si Keong Racun?” gumam Kinan menatap langit-langit kamarnya. Rasa lapar yang tadi meronta minta diisi kini hilang begitu saja.“Apa aku menyerah saja?” desahnya. Namun, Kinan kembali membayangkan ucapan-ucapan sang ibu mertua yang memintanya untuk bersabar.“Perjuanganmu tidak akan mudah.” Dan ternyata itu memang benar adanya.**“Tugas sebanyak ini, nggak akan beres dikerjain sejam dua jam ini,” keluh Sesyl, orang yang cukup bersahabat dengan Kinan.“Aku tinggal setengahnya lagi,” ujar Kinan yang membereskan alat tulisnya dan memasukannya ke dalam tas.“Bantuin gue, dong,” rengek Sesyl si cantik de
“Sini, gue tunjukin!” ujar Sesyl menarik Kinan ke depan cermin.“Lihat diri, lu sendiri, Kinanti. Elu itu cantik. Gue akuin itu. Cuman gaya elu aja yang kurang nendang,” lanjut Sesyl memutari Kinan yang berdiri mematung menatap pantulannya sendiri.“Kurang nendang? Kamu pikir aku ini lagi latihan karate, apa?” balas Kinan heran.“Iiish, bodoh amat, sih, elu. Gemes, deh, gue.” Sesyl melotot pada temannya itu.“Besok, abis pulang kuliah, kita nge-gym. Abis itu kita belanja baju baru buat elu. Yaang buanyaaakk,” saran Sesyl.“Aduh, Syl, aku kan mesti masak buat suamiku. Aku mesti minta izin dulu,” keluh Kinan.“Halaah, kagak usah elu pikirin suami macam gitu. Lagian, dia pergi sama si Keong Racun itu juga nggak minta ijin, kan, sama elu? Dia bawa uler keket itu juga kagak minta ijin, kan? Napa elu mesti repot-repot minta ijin segala?”“Tapi, Syl … aku nanti ….”“Halaah, udaah. Elu mau suami elu itu balik ke jalan yang benar, atau elu mau dia dikuasai sama si Uler Keket itu selamanya?” t
Suara musik menghentak-hentak di ruangan berukuran 6 x 10 meter itu dengan setiap sisinya dilapisi cermin. Kinan mengikuti gerakan aerobic yang diperagakan oleh seorang instruktur di depan sana. gerakan Kinan masih terlihat kaku dan aneh. Namun, dia kembali teringat dengan perkataan temannya.“Elu mau berubah, atau suami elu diembat si Keong Racun selamanya? Walaupun elu nggak cinta, minimal elu bisa balikin rasa sakit hati elu sama dia.”Iya, sepertinya Sesyl memang benar. Lagi pula, diam-diam Kinan memang mulai menyukai Ken.“Badanku berasa remuk,” ucap Kinan selesai latihan aerobic. Dia duduk di sebuah alat fitness di samping Sesyl yang masih asik berlari di atas sebuah treadmill.“Baru sehari. Besok, elu ikut zumba. Lusa elu mulai pake alat-alat di sini. sayang, kan, elu udah jadi member,” ujar Sesyl yang sesekali menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya.“Gila, Syl, sampe kapan?” pekik Kinan merasa keberatan.“Olah raga itu buat kesehatan. Jadi, elu mesti lakuin seumur hidu
“Wah, wah, rupanya ada upik abu yang berubah jadi boneka Annabel,” cibir Miranda dengan tatapan mengejek. Matanya menilik Kinan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dalam hatinya dia mengakui jika gadis itu terlihat jauh lebih cantik. Namun, itu justru semakin menyulut rasa bencinya semakin menjadi.Ken masih mematung dengan mata yang tak berkedip.“Bukannya boneka Anabel itu rambutnya panjang dan keriting seperti punyamu?” balas Kinan. Dia melihat ke arah Ken yang di depannya sudah ada sepiring nasi goreng yang tinggal setengah. ‘Oh, udah diambilin sama si Keong Racun,’ pikirnya. Dia lalu duduk di hadapan lelaki itu yang masih menatapnya.“Heh, enak aja. Elu tuh yang kaya boneka Anabel. Muka elu tebel banget pake make up-nya,” cibir Miranda yang melemparkan sepotong timun ke arah Kinan.“Tebal apanya? Tebalan juga muka kamu, nggak malu numpang tinggal di sini.”“Elu ya, berani-beraninya!” Miranda mau bangkit dan mencekik Kinan.“Heh, udah, udah. Ayo, sarapan,” sergah Ken menahan ta