Rita mengempaskan bokongnya di sofa empuk di rumah orang tuanya. Dalam sebulan dia memang wajib datang ke rumah ayah dan ibunya itu.
“Mana uang saku buat Bapak?” tanya sang ayah menadahkan tangan kanannya pada sang putri.
“Kemarin, kan, udah sekalian aku transfer ke rekening Mama,” ujar Rita ketus. Selalu saja uang dan uang yang menjadi bahasan setiap kali dia datang ke rumah itu.
“Itu sudah diambil semua oleh ibumu. Mana mungkin Bapak kebagian kalau sudah ibumu yang memegangnya?”
Rita mendengkus kesal. Namun, akhirnya dia keluarkan juga beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya pada sang ayah.
“Cuma segini?” keluhnya setelah menghitung ada berapa lembar yang diberikan putrinya.
Rita langsung melotot. “Nggak mau? Ya sudah, sini kembalikan,” ucapnya tak kalah ketus.
N
“Kok, malu-malu, Mas. bukankah sudah sepantasnya kita melakukan itu? Sudah lama aku menjadi istrimu dan mengharapkan itu. Dan semalam … kamu memberikan hakku itu.” Rita mengulum senyum.“Maaf, aku sama sekali tidak berniat—““Maksudnya?” Rita memotong kalimat Hendro yang ingin mengelak tentang kejadian semalam.“Apa dia masih ada di hatimu?” tanya Rita dengan wajah sendu.Hendro tak menjawab. Dia segera mengenakan pakaian kerja dan berangkat ke kantornya. Meninggalkan Rita yang berteriak seperti orang kesetanan.“Dasar keparat kau Hendro! Lihat saja nanti, aku akan membuat kau membayar semua sakit hatikku ini,” geram Rita dengan derai air mata.**Sebulan berlalu, Rita menunggu saat itu tiba. Dia berharap agar tamu bulanannya tidak datang. Memang, Rita sering melakukannya dengan p
“Aku sama sekali tidak menyangka jika Tante Rita bisa sejahat itu. Bahkan tega ngebiarin Om Hendro terlantar, padahal selama ini dia membutuhi segala keperluannya.” Za menerawang jauh ke masa lalu.“Dulu, pertama kali kami bertemu, sikapnya sangat baik dan lemah lembut. Aku bahkan menganggapnya calon ibu merua yang sempurna.” Za mengembus napas kasar.“Mungkin jiwa keibuannya ada. Dia depertinya sangat menyayangi Rico. Apapun yang diinginkan Rico, selalu dipenuhi. Dia tidak pernah bisa ditentang keinginannya. Itu juga yang membuat aku terjerumus ke jurang dosa.” Terdengar desah penuh penyesalan dari mulut Za.“Berbeda sekali denganku. Semenjak dari lahir hingga sekarang hanya menjadi bahan cemoohan. Kamu pasti bangga berdampingan dengan dia. Tidak seperti denganku.” Kali ini Albany yang mendesah resah.Za menoleh.“Apa maksudnya karena waktu itu aku tidak mengaku mengenalmu?” tanya Za menelisik.Albany tak menjawabnya.Za memutar tubuhnya hingga mereka kini berhadapan.“Aku minta ma
“Assalamualaikum, Pak.” Albany mengucap salam ketika melihat orang yang ingin ditemuinya. Pak Hasan sedang asik memberi makan ayam di halam belakang yang menyambung dengan perkebunan, hanya saja diberi pembatas pagar yang terbuat dari ram kawat.“Waalaikumsalam,” jawab Pak Hasan seraya menoleh pada orang yang menyapanya.“Eh, Nak Al. Ada apa pagi-pagi ke sini?” ujarnya masih menaburkan potongan beras pada ayam-ayam yang mengerubutinya.“Ayo duduk sini,” ajak lelaki sepuh itu seraya melangkah menuju bale-bale tempatnya beristirahat sambil melihat riuh ayam dan kolam ikan.“Bu … tolong buatkan kopi buat Bapak sama Al, ya!” teriaknya dengan suaranya yang khas. Lembut menenangkan.“Tidak usah repot-repot, Pak. Saya sebentar lagi mau ke kebun,” ujar Albany yang sudah duduk di sebelah Pak Hasan.“Nggak repot, kok, Cuma kopi saja,” timpalnya lagi dengan kekehan khasnya sambil mengusap janggut.“Kebetulan, Bapak juga ada yang ingin dibicarakan dengan Nak Al. Mungkin ini agak prbadi, tapi … B
“Tapi, jika untuk mengundurkan diri, Bapak tidak menyetujuinya. Kamu masih bisa mengurus perkebunan walaupun tidak jadi menantu Bapak.toh selama ini, Bapak mempercayai kamu karena keuletan dan kegigihan kamu, Nak Al. bapak sudah menyayangimu seperti pada anak Bapak sendiri,” lanjut Pak Hasan.“Justru masalahnya … karena istri saya merasa cemburu dengan Aisha, Pak. Dia, tidak suka jika saya masih berhubungan dengan Aisha walaupun hanya sebatas rekan kerja,” jawab Albany dengan hati tak enak.Pak Hasan langsung terkekeh mendengar itu. Sambil manggut-manggut dia berkata,”Begitulah wanita, mudah sekali terbakar api cemburu.”Albany hanya tersenyum tanpa menjawab.“Bapak akan menasehati Aisha kalau begitu. Kamu tidak perlu meninggalkan tempat ini. Bapak sudah merasa sayang sama kamu, Nak,” ujar pak Hasan.“Tapi, Pak, saya ingin mengurus lahan perkebunan saya sendiri. Jika saya masih bekerja di sini, istri saya pasti akan curiga terus. Itu yang saya hindari,” timpal Albany walau dengan hati
Tring.Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Albany. Walau malas karena lelah, dia ambil juga benda yang tergeletak di atas nakas itu.[Ada yang menanyakan lagi tentang sayuran. Dia butuh edamame dalam jumlah besar untuk ekspor ke Jepanng.]Albany mengernyit. Ternyata dari Amel.“Siapa, Mas? Pasti si Aisha itu lagi, ya?” Za langsung menuduh.“Bukan, dari Amel ini.” Albany menjawab setelah mengetik balasan pada wanita itu.“Dia lagi …,” dengkus Za kesal. “Kenapa, sih, hidup kamu dikelilingi banyak perempuan?” lanjutnya sembari mendelik.“Orang ganteng ya begitu,” jawab Albany cuek. Dia lalu menaruh kembali benda pipih itu.“Iissh, PD amat nih, orang.” Za memukulkan bantal pada suaminya. Lelaki itu hanya tertawa pelan.“Emang kamu nggak ngerasa kalau kamu juga banyak dikelilingi cowok?” Albany melirik pada istrinya.“Siapa?” elaknya tak merasa.“Si Ronald itu, terus laki-laki yang sama kamu waktu kita ketemu di kafe dan kamu bilang nggak kenal sama aku. Emangnya kamu nggak lihat kalau dia
Rita tertawa. “Tentu saja bisa, tapi barangnya kecil. Aku masih penasaran denganmu,” ucapnya tanpa malu. Albany menyunggingkan senyum sinis. “Kenapa nggak kau lac*r saja sama gajah sekalian. Aku yakin ukurannya luar biasa buatmu!” cibirnya lagi. Rita kembali tertawa. “Kamu membuatku semakin bergairah, Al. Wow, aku berani bayar berapapun yang kamu mau,” bisik Rita sambil mencondongkan tubuhnya mendekati Albany. “Dan sayangnya, aku tidak menjual diri. Dan kau tahu sendiri, jika uang yang miliki sekarang, itu semua milik ayahku. Tanpa harus menjual diri padamu, aku masih bisa memilikinya,” ujar Albany diakhiri tawa. “Tapi … semua itu sudah menjadi milikku sekarang, Sayang. Kalau kamu mau mengambilnya kembali, silahkan. Akku akan senang hati menghamburkannya denganmu. Bukankah kamu sangat membenci suamiku itu?” tanya Rita dengan seringaian yang licik. “Aku membencinya. Tapi, aku jauh lebih membencimu,” jawab Albany tersenyum miring. Pembicaraan mereka kembali terhenti karena Amel
“Apa itu, Mas?” Ningsih mendongak dan memperhatika sang kekasih.“Aku yakin Mami akan merestui kita jika kamu hamil,” ujar Hendro yakin.Mata Ningsih terbelalak seketika.“Tidak, Mas. Itu dosa,” jawab Ningsih menggeleng.“Hanya sekali aja, Sayang. Mas janji!” Hendro memohon sambil berlutut di hadapan gadis itu.“Kamu mau, kan, kita bersatu?” pintanya lagi memelas.Ningsih meluruh dengan wajah memberengut. Takut akan dosa, namun dia pun kalah pada rasa cinta.**“Maaf, karena aku, kamu dulu menderita bersama Al. Aku pengecut, Maria. Maka mulai sekarang, aku akan mulai memperbaiki segalanya. Tidak ada kata terlambat untuk kata cinta, bukan?” Hendro menatap wanita di depannya lekat. Ningsih tersenyum.“Minggu depan aku akan menikahimu. Surat gugatan cerai untuk Rita sudah aku ajukan ke pengadilan. Aku akan sengaja tidak datang biar prosesnya bisa segera selesai. Beberapa foto yang diambil Mami saat Rita bersama seorang laki-laki sudah bisa menjadi bukti.” Hendro menghela napas berat.“A
Hendro dan Ningsih pergi berdua diantar sopir Yohana. Mereka menuju sebuah mall, di mana butik baju pengantin ada di sana.“Apa kamu pernah ke sini?” tanya Hendro menggenggam tangan Ningsih yang mendorong rodanya di lantai mall.“Belum. Cuma, Za beberapa kali mengajakku ke mall yang deket rumah. Dia sering mengajakku ke klinik kecantikan. Pantas saja ya, dia itu sangat cantik. Perawatannya saja mahal sekali,” kekeh Ningsih.“KAmu juga cantik, Sayang.” Hendro kembali mengelus punggung tangan kurus itu.Panggilan itu, benar-benar membuat hati Ningsih bergetar. Kenangannya akan masa lalu dengan lelaki itu kembali terngiang.Mereka masuk ke sebuah butik yang menyediakan pakaian pengantin. Harus memesan memang, tapi mereka juga memiliki beberapa koleksi yang sudah jadi.Tak perlu bersusah payah, karena tubuh Ningsih yang kurus bisa cukup dengan ukuran yang banyak dipakai orang.“Ini bagus,” tunjuk Hendro pada sebuah kebaya putih tulang.“SAngat bagus malah, Mas,” ucap Ningsih dengan mata