"Ih Papa mah gitu ... kalau dua-duanya gimana?" tanya Zahra sambil menaikkan sebelah alisnya, lalu memandangku dan memandang wajah Mas Sony secara bergantian.Aku dan Mas Sony saling berpandangan mendengar pertanyaan dari Zahra. Tapi, jika Tuhan memang memberikan keduanya pun, aku tak akan menolak. Justru, aku akan sangat bersyukur apabila pertanyaan dari Zahra barusan dikabulkan oleh Tuhan."Memang Zahra mau, kalau punya dua Dedek bayi?" tanya Mas Sony."Mau, satu buat teman main Zahra, dan yang satu buat Papa," jawab Zahra tersenyum antusias."Terus Mama gak kebagian dong?" tanya Mas Sony lagi."Iya ya, gimana kalau tiga?" Kata Zahra sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya padaku dan Mas Sony.Aku dan Mas Sony saling pandang dan terkekeh bersama mendengar pertanyaan Zahra. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga kecil yang bahagia ini. Apalagi dengan kehadiran janin bayi dalam rahimku, menambah sempurna kebahagiaan ini."Oh ya, Mas, kok jam segini kamu udah pulang kerja?" tanyaku.
"Son, Nay, kalian yakin mau ke dokter kandungan naik motor?" tanya Ibu dengan raut wajah khawatir."Iya, Bu. Naya yang minta," kata Mas Sony melirik ke arahku."Kamu kan lagi hamil muda, Nay. Apa gak sebaiknya kalian naik mobil saja," ujar Ibu."Naya gak mau, Bu. Naya mual kalau naik mobil. Lagi pula, ini keinginan Dedek bayi dalam perut Naya," jawab Mas Sony cepat sebelum aku berbicara."Ternyata bawaan ngidam toh. Terus kalian mau naik motor siapa? Kamu kan gak punya motor, Son?""Nanti aku pinjem motor Pak Ujang aja, Bu," jawab Mas Sony. Pak Ujang adalah security yang bertugas di rumah ini."Ya sudah, kalau gitu kalian hati-hati di jalan ya? Jagain Naya baik-baik, Son. Gak usah ngebut-ngebut bawa motornya," nasehat Ibu."Mama sama Papa mau naik motor? Zahra ikut ya, Pa?" tanya Zahra dengan wajah memelas."Gak bisa sayang ... Papa aja masih mau belajar dulu ini. Nanti kalau Papa sama Mama udah pulang, nanti Papa ajak Zahra naik motor keliling komplek deh. Gimana?""Ya udah deh, Pa.
"Selamat ya, Nay. Gue seneng ... banget, akhirnya Lo bisa hamil juga," ucap Siska tulus yang masih memeluk tubuhku."Terima kasih, Sis. Gue juga gak nyangka, setelah sekian lama, akhirnya gue bisa hamil," kataku."Gue jadi penasaran, Nay," kata Siska sambil melerai pelukannya."Penasaran kenapa?" tanyaku."Hmm ... ada lah. Gak enak ngomong depan Babang Sony sama Babang Aska," bisik Siska sambil terkekeh kecil."Kenapa?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku."Udah, entar aja gue kasih tau," jawab Siska.Setelah beberapa menit berbincang dengan Siska dan juga Aska, giliran aku dan Mas Sony di panggil untuk masuk ke dalam ruangan dokter. Aku dan Mas Sony segera bergegas masuk ke dalam ruangan dokter. Rasanya, aku sudah tak sabar, ingin tahu bagaimana perkembangan janin dalam kandunganku.Setelah berbasa-basi sebentar, seorang dokter wanita bernama Elsa itu menyuruhku untuk berbaring di atas ranjang pasien. Setelah mengecek tensi darah ku, barulah dokter Elsa memeriksa janin dalam peru
"Nay, kamu gak papa-papa kan?" tanya Mas Sony dengan wajah cemas.Aku yang masih sangat syok hanya bisa mengangguk. Jantungku saja masih berdebar-debar tak karuan."Mas, kenapa kamu ngerem mendadak sih?" tanyaku setelah sedikit tenang, sambil membenarkan posisi dudukku di atas motor."Wanita itu, Nay. Dia nyebrang sembarangan. Hampir aja, aku nabrak dia," jawab Mas Sony sambil menunjuk ke bawah."Tapi kamu gak nabrak dia kan, Mas?" tanyaku khawatir."Alhamdulillah, enggak, Nay," jawab Mas Sony.Aku langsung melihat ke arah yang mas Sony tunjukkan. Ternyata, ada seorang wanita yang sedang terduduk di bawah aspal dengan posisi menunduk. Rambut panjangnya yang tergerai kebawah menutupi bagian wajahnya."Ayo, Mas, kita lihat. Takut dia kenapa-kenapa," kataku sambil berusaha turun dari motor.Mas Sony segera menyandarkan motornya, setelah aku turun dari motor. Kami berdua menghampiri wanita yang masih terduduk di aspal itu. Untungnya, saat ini posisi jalanan agak sepi. Kalau ramai, pastila
"Nay, maaf ya. Aku tadi gak sadar bawa motornya terlalu ngebut," ujar Mas Sony sambil memegang tanganku lembut. Posisi kami saat ini masih duduk di atas motor. Tak lama, ia mencium punggung tanganku. Ada raut wajah sesal di wajah Mas Sony. Sebenarnya, aku mau marah. Apalagi mengingat kondisiku yang sedang hamil saat ini. Seolah-olah, Mas Sony abai pada keselamatan diriku. Tapi melihat raut wajah sesalnya, aku jadi tak tega juga."Iya, Mas, aku gak papa. Tapi jangan diulangi lagi ya, Mas? Aku takut, apalagi sekarang aku lagi hamil," kataku."Iya, Nay, aku janji gak akan gitu lagi. Tadi aku cuma syok aja. Malas ketemu orang itu," jelas Mas Sony. Orang itu yang dimaksud Mas Sony, siapa lagi kalau bukan Anggun. Jangankan Mas Sony, aku sendiri saja sangat terkejut tadi."Aku juga tadi sempat kaget, Mas. Gak nyangka kita bisa ketemu dia di jalan tadi," kataku."Entahlah, Nay. Tadi itu seperti sebuah kebetulan, yang tak diharapkan," kata Mas Sony sedikit terkekeh."Namanya juga takdir, Mas.
"Tuh bener kan? Kedatangan kalian kesini bikin Naya jadi mau makan nasi. Kamu pengen lauk apa, Nay? Biar aku bilang sama Mbak di dapur buat masakin," tanya Mas Sony padaku. Wajah Mas Sony terlihat senang dan antusias. Seolah sangat senang melihat istrinya ini akhirnya mau makan nasi."Hmm ... aku pengen banget makan pakai lauk ayam bakar sama sambel terasi mentah, Mas. Tapi ..." kataku tertahan. Mau bilang kok rasanya gak enak."Tapi apa?" tanya Mas Sony menaikan sebelah alisnya."Aku maunya kamu yang masak, Mas," ucapku pelan."Hah!" Mas Sony membelalakkan matanya lebar, seolah tak percaya dengan apa yang aku ucapkan barusan."Aku mana bisa masak, Nay?" ucap Mas Sony dengan wajah di buat memelas.Mendengar ucapan Mas Sony, seketika bibir ini melengkung ke bawah. Kesal rasanya, jika keinginan ini tak mau ia turuti. Saat Mas Sony menatapku, aku langsung memalingkan wajah. Entahlah, semenjak hamil, aku merasa sangat sensitif. Sebentar-sebentar rasanya ingin marah. Meskipun aku sudah ber
POV Anggun🍁"A ... Anggun, aku ... aku benar-benar gak tahu kalau saat itu kamu sedang hamil anakku. Kenapa kamu gak bilang padaku, kenapa?" tanya Mas Jody meninggikan suaranya. Tiba-tiba, air mata jatuh dari sudut matanya.Ada kesedihan yang terlihat jelas di wajah Mas Jody. Seandainya dulu ia tahu bahwa aku sedang mengandung anaknya, apakah ia akan tetap pergi meninggalkan aku?"Kalau kamu tahu, terus kamu mau apa, Mas? Bukankah niatmu mendekati aku hanya untuk mendapatkan harta aku? Hah!" teriakku.Enak sekali Mas Jody berbicara begitu. Seolah-olah ia masih peduli pada anaknya yang hingga kini tak pernah sekalipun ia temui."Enggak, aku gak sejahat itu. Aku akui, aku memang salah. Tapi, aku gak mungkin ninggalin kamu gitu aja, kalau aku tahu kamu hamil," lirih Mas Jody."Bullshitt ... bualan macam apa itu? Kamu sama Rista itu sama, Mas, sama-sama pengkhianat!" teriakku.Kesal, marah, kecewa dan juga sakit. Itu adalah gambaran kondisi hatiku saat ini. Aku tahu, aku pun tak sempurn
"Anggun!" Mas Jody menarik sebelah tanganku. Aku pikir ia tak mengejarku, ternyata salah."Lepas, Mas!" teriakku berontak."Anggun, izinkan aku untuk menemui anak aku. Aku mohon, kasih aku kesempatan sekali aja," kata Mas Jody dengan wajah memelas.Aku tak tahu ia jujur atau bersandiwara. Karena dulu ia yang aku anggap tulus pun, ternyata hanya buaya."Gak! Kamu gak ada hak buat nemuin anak aku. Kamu pikir, kamu siapa, Mas? Selama inipun kamu gak pernah peduli kan?""Itu karena aku gak tau. Kalau aku tahu dari awal kamu mengandung, aku gak akan ninggalin kamu," kata Mas Jody seolah meyakinkan aku.Mas Jody masih memegang sebelah tanganku dengan erat. Semakin aku berusaha untuk melepaskan tangannya, tapi semakin kuat ia mencengkram tanganku. Saat ini, kami sudah berada di depan gerbang kost-kostan.Untung saja, suasana kost-kostan ini lumayan sepi. Kalau tidak, pastilah saat ini kami sudah menjadi pusat perhatian. Tak lama, Rista muncul dari balik pintu kostan, ia berjalan seperti ingi