Tak terasa waktu terus bergulir. Ini adalah tahun keempat setelah perpisahan itu terjadi. Tak ada kabar, surat, pesan, atau telepon yang datang. Ekspektasiku berakhir tak sesuai harapan. Ketika rasa sepi mulai menyerang, hanya doa yang bisa kulangitkan di sepertiga malam. Memohon pada Tuhan, meski dengan segala halang dan rintangan kami tetap dijodohkan.Tak mau menyerah terlalu dini, motivasiku untuk berubah semakin terpacu. Jilbab yang semula hanya kulilit di leher, kini sudah diturunkan. Terjulur menutup dada dengan beberapa gamis yang mulai kukoleksi. Baju-baju haram-ku telah dihibahkan semua, hanya menyisakan beberapa celana longgar, dan jaket yang cukup menyimpan banyak kenangan.Selain menjaga toko, aku juga mulai aktif mengikuti berbagai kajian, beberapa seminar yang diadakan di aula pesantren juga membuatku banyak mengenal teman dengan berbagai kalangan. Teman-teman yang membawa aura positif agar hidup berangsur lebih baik.Gunjingan tetangga yang seringkali mengungkit tentan
"Saya terima nikah dan kawinnya Suci Puspitasari binti Ahmad Dabawi dengan seperangkat alat salat dan sepuluh gram emas. Tunai!""Sah!"Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.Dalam sisa harapan, kuterima pinangan dari lelaki yang tak pernah dikenal. Calon imam dengan sifat yang bertolak belakang dari 'dia' yang nyaris sempurna. Versi terburuk yang mungkin tak akan wanita lain pilih untuk mengikat ikrar di atas pelaminan.Fariz Darmawan. Lelaki yang baru saja mengucap akad dengan lantang hanya dengan satu kali helaan napas.Bertumbuh tinggi besar dalam balutan jas hitam. Rahang yang dipenuhi jambang, luka gores di sebelah alisnya yang tebal, dengan rambut panjang diikat dan disembunyikan di balik kopiah.Kami berpandangan. Dia menatapku dengan
"Astagfirullahaladzim ... Guci kesayangan mama!" Dari lantai dua, aku melihat Mama berlari kecil menghampiri serpihan guci yang sudah berserak di lantai. Mas Fariz yang menyadari apa yang baru saja dia lakukan langsung mundur tiga langkah."Ya Allah, Guci antik ini Mama beli di Mall Dubai, waktu pulang haji. Barang langka ini. Ukiran kaligrafinya bahkan lebih rapi daripada potongan bewok kamu." Mama mendelik pada Mas Fariz yang hanya bisa meringis."Ya udah naik haji lagi aja, Ma. Siapa tahu nemu yang baru," tanggapnya santai yang mengundang omelan Mama."Kamu pikir segampang itu?! Antrian haji itu panjang banget, Fariz!" Mas Fariz hanya bisa menghela napas, mendengar omelan Mamanya. Jujur, aku mengapresiasi tindakannya. Di saat seperti ini dia bahkan tak berniat membela diri. "Pokoknya mama nggak mau tahu. Kumpulin serpihannya, terus susun dan lem sampe utuh lagi!""Busyet. Fariz masih harus balik kerja lagi, Ma!" sanggahnya memelas."Mama nggak peduli. Bukannya toko kamu ada penang
"Yaelah nih anak berdua suruh benerin Guci malah uwu-uwuan di sini." Mama muncul entah dari mana. Menenteng dua totebag berukuran senang.Aku langsung membenahi posisi, sementara Mas Fariz masih saja rebahan di lantai, belum menyadari.Tuk!Terdengar bunyi nyaring saat Mama mengetukkan punggung tangannya di dahi Mas Fariz."Sadarlah, Balita Kadaluwarsa! Meleyot sampe nggak kira-kira."Mas Fariz langsung terlonjak. Refleks dia bangkit, lalu duduk bersila, meraih kembali serpihan Guci dan lem yang tadi."Nih, pulang dari arisan mama sempet beli pizza. Dimakan mumpumg masih anget. Bobanya juga." Mama mengeluarkan satu box pizza, lalu tiga cup minuman boba. "Itung-itung imbalan benerin Guci!""Duh, tau aja Mama kalau Fariz lagi lape--" Plak!Mama memukul tangan Mas Fariz."Cuci tangan dulu. Habis pegang lem juga."Mas Fariz menghela napas, lalu bangkit dengan sedikit enggan."Kamu juga, Sayang!" Mama beralih padaku dengan nada yang lebih lembut.Aku mengangguk, lalu mengekori Mas Fariz u
Masa laluku memang bukan sesuatu yang patut dikenang. Kelamnya bahkan mengalahkan pekatnya malam. Belenggu yang mengekang sebagai seorang anak perempuan tunggal dari keluarga yang paham, justru malah menjadikanku sosok yang pembangkang.Dunia yang berbahaya kujadikan tempat pelarian. Kuhirup udara kebebasan hingga nyaris tak tahu jalan pulang. Tak ada lagi batasan atau larangan, keingintahuan yang besar menjerumuskanku pada pusara lembah hitam yang berputar. Saat itu duniaku bahkan hanya berpusat pada satu orang. Ferry Septian. Dia bak oase di tengah ladang gurun yang gersang, hiburan saat hari-hari yang kulewati di lingkungan pedesaan terasa amat membosankan. Dia mengenalkanku dengan dunia, dunia luas yang sebelumnya tak pernah kukenal. Juga kenikmatan duniawi yang seolah tak ada habisnya. Bersamanya aku bertualang, meninggalkan tempat kelahiran di Lumajang. Menyusuri tiap tempat di Jawa Timur, bahkan dengan motornya kami sampai ke Jakarta. Kota besar yang tak pernah kusambangi sebe
Mas Faris membawaku ke tempat tato yang ada di daerah Blok M. Menemui tatto artist yang bisa membantuku menghapus tato dengan metode Laser tattoo removal. Aku pernah mendengar kalau ini adalah metode prosedur untuk menghilangkan tato permanen dengan laser. Sinar laser bertenaga tinggi akan menembus lapisan kulit dan menghancurkan partikel tinta pewarna tato di dalam sel-sel kulit secara permanen. "Nggak usah takut, artist-nya perempuan. Nanti gue minta ruang khusus biar nggak ada orang laen."Aku mengangguk. Kemudian merapatkan genggaman tangan saat Mas Fariz menuntunku masuk ke dalam. Melewati orang-orang yang tengah diukir tubuhnya. Beberapa dari mereka bahkan terang-terang memerhatikan. Mungkin heran melihat perempuan dengan jilbab menutup dada bisa-bisanya masuk ke tempat seperti ini."Mata lu ke mana?" Aku kaget sendiri saat Mas Fariz tiba-tiba menoyor salah seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menunggu antrian. "Mau dicolok?" "Lu lagi, turunin nggak tuh hape, atau mau gu
"Masih sakit?" Di tengah perjalanan pulang Mas Fariz bertanya tentang keadaanku setelah melakukan prosedur laser tadi.Aku menggeleng pelan, sembari meraba perban yang Wini rekatkan di bekas laseran."Nggak, kok. Cuma masih ada rasa perihnya sedikit.""Nanti kalau mau ganti perban atau olesin salep antibiotik, bilang, ya! Lu nggak mungkin, kan minta tolong mama atau Bi Surti," ingat Mas Fariz, seolah mewanti-wanti.Aku mengangguk pelan sebagai tanggapan."Masih inget apa aja yang dibilang Si Wini, selama seminggu setelah sesi pertama?" Dia bertanya lagi. Sepanjang perjalanan tatapan Mas Faris terus berganti dari jalanan di depan, lalu ke arahku."Masih. Katanya harus jaga area kulit tetep bersih dan kering biar nggak terjadi infeksi, hindari pakaian ketat, terus jangan kopekin bekasnya kalau udah kering. Dan yang terakhir untuk sementara hindari kontak fisik dengan suam--"Tubuhku sontak terhuyung ke depan saat dia tiba-tiba menginjak pedal rem tanpa aba-aba.Antara kaget, dan geli, a
"Temen lu masih lama?" Mas Fariz mondar-mandir di depan mobil. Sesekali dia melirik jam yang melingkar bersama dengan gelang kayu yang tak pernah lepas dari tangannya.Sudah sepuluh menit kami menunggu Lola di depan mini market pinggir jalan. Namun, ibu anak satu itu masih tak kunjung datang. Apalagi Mas Fariz tak mau pergi sebelum sahabat dekatku itu datang. Katanya dia khawatir meninggalkanku sendiri, padahal ini jalanan yang ramai, dekat pusat perbelanjaan juga. Tapi, dia masih juga ngotot kalau Jakarta itu berbahaya di mana pun tempatnya."Ah, itu dia!" Tak lama sebuah mobil Sedan merah berhenti di samping mobil kami. Lola keluar dengan heboh seperti biasanya."Sorry, sorry, sorry banget, Bestie!" Dia menggenggam tanganku. "Tadi Bapaknya Si Arka nggak mau ditinggal."Aku mengernyitkan dahi."Bapaknya?""Elah, kamu kek nggak tahu aja Betrand gimana."Aku meringis kecil."Kalau gitu gue pergi dulu, ya, Ci!" Mas Fariz tiba-tiba menginterupsi."Oh, iya, Mas. Hati-hati." Dia mengangguk