Motor kulajukan menuju rumah Bang Radi, aku sengaja ke sana untuk sekalian menginap, karena mungkin butuh lama nanti kami bermusyawarah dan pasti akan kemalaman jika akan pulang ke rumah."Assalamualaikum," salamku ketika baru sampai di rumah Bang Radi. Kuputar gagang pintu dan menahan Dina dan Bang Radi yang sedang sibuk belajar. Ku ulangi salam yang tadi belum mereka dengar, dan mwreka menengokku serempak."Bude!" teriak Azka berlari ke arah Mbak Nuri yang sedang membawa cangkir berisi kopi."Eh, ponakan Bude yang comel datang! Kemana nih hari minggu ini, nggak ada yang inget Bude! Pasti jalan-jalan!" Mbak Nuri meletakkan kopi di depan Bang Radi dan menggendong Azka. "Lihat Nih, Bude! Aka punya lobot balu, Tante nggak oleh pinjem! Wee," ucap Azka menjulurkan lidahnya kepada Dina yang telah selesai belajar."Mana sini Tante pinjam." Dina menjahili Azka dengan mengambil robot yang tadi ia pamerkan, dan akhirnya tangis Azka mengisi rumah ini."Din!" ucap Mbak Nuri menghentikan kejahil
Kusiapkan langkah pagi ini, mengambil keputusan penting dalam hidupku. Berpisah dengan Mas Joko, sudah kumantapkan dalam hati. Bukan aku tak takut bergelar janda, aku lebih takut terkena dosa yang diakibatkan suamiku sendiri. Jika ia berusaha untuk meminta maaf dengan gigih, past hatiku akan luluh. Namun, ia bahkan tak menganggap aku dan Azka lagi."Sudah siap, Dek?" ucap Bang Radi mengagetkan lamunanku."E_eh, sudah! Ayo, Bang!" Aku melangkah keluar kamar, dan mencari keberadaan Azka. "Mam, Mamam mau kemana? Aka ikut ya?" rengeknya padaku."Azka kan biasa Mamam tinggal kalau lagi kerja. Kenapa sekarang minta ikut?" tanyaku yang tak tega melihat Azka menangisi kepergianku."Aka mau pelgi cama Mamam. Aka ikut ya!" Aku memandang Bang Radi, ia mengangguk dan aku menggendong Azka."Kalau Azka mau ikut Mamam, Azka jarus janji. Nggak boleh nakal kalau di sana!" ujarku."Janji, Mam!" sahut Azka memelukku erat. Sungguh hal yang berat, mengajak Azka ikut ke pengadilan dan harus membuat ia iku
Pagi ini, aku sudah akan berangkat kerja kembali setelah kemarin ambil libur untuk mengurus perceraianku dengan Mas Joko. Dengan memakai seragam kerjaku, aku berpamitan pada Mbak Nuri dan juga Azka untuk berangkat.Kulajukan motor lamaku, dan melenggang dengan pelan menuju tempat bekerja. Haro ini aku berangkat awal, karena aku tak harus repot masak dan beberes rumah. Aku memilih menginap di rumah Bang Radi sampai aku benar-benar berpisah. Rasanya malas jika meladeni keluarga menyebalkan itu seorang diri, bukan tak berani, lebih tepatnya menjaga diri. Siapa tahu mereka mau mencurangiku atau Azka! Waspada lebih baik daripada menyesal kemudian.Aku melewati rumah wanita bernama Arum. Terlihat mobil Mas Ilham bertengger di sana, mungkinkah mereka sudah pulang dari Jakarta? Ah! Bodo amat! Emang gue pikirin. Aku kembali menarik gas motorku melanjutkan perjalanan yang sempat mengganggu konsentrasiku.Aku sampai di kantor lebih awal, aku berjalan menuju loker dan meletakkan tasku di sana. Se
Kupacu motor dengan pelan sambil berlinang air mata. Tangisku ini bukan karena ingin berpisah dengan Mas Joko, tapi lebih ke takut kehilangn Azka. Azka adalah hidupku, apapun ku pertaruhkan untuknya."Mam, Mamam kenapa? Jangan menangis, Mam! Fokus nyetirnya!" celetuk Azka."Siapa yang nangis, Mamam kena debu truk tadi. Azka sudah makan?" "Sudah, sama ayam goreng tadi. Tapi nggak Aka abisin, soalnya nggak ada Mamam nggak enak!"Aku tersenyum mendengar ucapan Azka, ia memang anak yang selalu ingat orang tuanya. Jika denganku pun ia juga teringat Mas Joko. Andai saja dia bisa sedikit berpikir waras, semua ini tak akan terjadi."Ude, assalamualaikum!" ucap Azka saat baru memasuki rumah Bang Radi."Waalaikumsalam, Azka! Gimana main sama Ayah? Senang?" tanya "Nggak, Mamam jadi angis. Aka nggak cuka sama nenek galak sama Papap." Bang Radi yang sedang menonton tv seketika menatapku penuh selidik."Azka main sama kak Dina ya!" ucap Mbak Nuri."Iya, Ude!" Azka masuk dengan Mbak Nuri menuju k
Aku sedang menyirami bunga di depan rumah Bang Radi. Sekarang aku memilih tinggal di rumah abangku karena rumahku sudah aku jual seperti saran Bang Radi. Kulihat bunga yang bermekaran sangat indah, membuat suasana pagi ini juga indah."Mam, Aka mau itu siram bunga!" "Azka mau bunga?" Anakku mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaanku."Oke, hati -hati ya! Awas bajunya basah.Saat sedang asik bermain air menyiram bunga, mobil fortuner putih berhenti di depanku. Tampak kaca jendela mobil terbuka, dan wajah Mas Joko menyembul dari dalam."Azka! Mau ikut Papap nggak?" ucap Mas Joko. Aku sengaja membiarkan Azka yang akan menjawabnya. Aku ingin tahu apakah anakku ini ingin dengan ayahnya atau tetap denganku."Nggak! Aka mau sama Mam ajah, Papap jahat."Mas Joko tampak melirik tajam dan menatap dengan tatapan yang menusuk. Mobil hitam lamborghini juga tampak berhenti di depan rumahku.Aku melihat Anggi dan suaminya serta Rendi yang datang ke rumahku. Tentu aku kaget bukan kepalang, mereka
"Mas Rendi, silahkan diminum tehnya. Maaf ya ada sedikit gangguan tadi di depan." Mbak Nuri menyuguhkan teh dan juga camilan di depan Rendi dan Anggi."Makasih, Mbak!" Mbak Nuri ke belakang meninggalkanku dengan Rendi dan Anggi."Vit, tadi mantan suamimu?" tanya Rendi penasaran."Iya!" jawabku tak enak."Masih berani dia bilang cinta padahal sudah menikah lagi, ngeri ya, Vit!" imbuh Anggi. Aku melirik Azka yang tampak asyik dengan ponsel milik Rendi."Azka, sama Mamam sini!" Ajakku pada Azka yang tampak nyaman di pangku Rendi. "Nggak apa, dia udah nyaman sama saya.""Nggi, kamu ke sini mendadak ada apa? Kenapa nggak kabarin aku?" tanyaku penasaran."Nggak apa! Kangen lama nggak ketemu kamu sama Rendi. Rendi bilang kalau kamu Resign, betul?" Aku melirik ke arah Rendi. Aku memang meminta libur berapa minggu padanya."Gini, Nggi! Vita ini meminta cuti. Ketika aku tanya alasannya, dia diem. Makanya aku bilang sama kamu kalau dia resign, ternyata dia sedang sedih. Maaf ya, Vit!" ucap Rend
"Vit, besok kamu berangkat ya! Aku udah bilang ada pak Direktur buat kamu kerja lagi di pabrik!" Rendi mengirimkanku pesan saat aku baru akan pulang dari PT penyalur tenaga kerja."Maaf, aku nggak bisa! Aku udah daftar kerja ke luar negeri. Dan besok rencananya sudah mulai masuk asrama. Maaf ya, Ren!" Sebenarnya aku juga sangat berat, meninggalkan Azka dan semua kenangan di tempat ini. Tapi aku harus bisa melanjutkan hidupku sebagai single parent, aku tak bisa mengandalkan kemampuanku yang hanya membuang bola sisa di pabrik."Bisa kita ketemu sekarang?" tanya Rendi. Aku melihat jam di pergelangan tangan menunjukan pukul jam tiga sore."Di mana?" tanyaku."Zero cafe!'"Baiklah, aku langsung menuju ke sana!" Aku sengaja langsung ke lokasi karena memang aku dekat dengan cafe yang Rendi sebutkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di Zero cafe. Tempat yang sudah lumayan ramai karena sudah menjelang sore. Banyak muda mudi berpasangan datang ke cafe ini sekedar membuang sebel atau berpa
"Mbak, bagaimana penampilanku?" tanyaku selepas berdandan untuk menyambut kedatangan Rendi."Cantik. Kamu bahkan tak terlihat sudah punya Anak, Rendi mau ke sini jam berapa katanya?" tanya Mbak Nuri."Sebentar lagi sampai, mobil sudah masuk depan gang." Aku bersiap menetralkan perasaan tegang saat hendak bertemu Rendi. Meski ini bukan pernikahan pertamaku tapi aku benar-benar gugup. Azka yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan dasi kupu-kupu di lehernya, tampak terlihat comel dan menggemaskan."Mam, Ayah mau datang ya?" Aku melipat keningku, mendengar Azka memanggil Ayah."Maksud Azka? Ayah?" tanyaku."Iya, Ayah Lendi. Kata Ayah balu Azka harus panggil Om Lendi, Ayah." Aku tersenyum mendengar panggilan lucu yang Rendi kenalkan untuk dirinya. Azka memang terlihat akrab akhir-akhir ini dengan Rendi, karena ia sering mampir ke rumahku hanya sekedar minum kopi dan mengajak Azka keluar.Tentu aku tak tahu jika itu caranya mendekatkan diri dengan Azka. Azka yang mulai terbiasa denga