"Mam, kita mau kemana?" tanya Azka saat di sadar jika ini bukan arah ke rumah Mbak Nuri."Coba tanya Ayah, mau kemana?" ucapku melirik Rendi."Kemana, Yah?" "Kemana yah? Azka maunya kemana?" tanya Rendi sengaja membuat Azka penasaran."Kita mau ke butik, Sayang.""Butik itu apa, Mam?" "Tempat memilih baju-baju bagus, nanti Azka juga bisa milih baju di sana. Ya kan, Yah?" Rendi mengangguk dan ia tersenyum. Kedekatan kami bahkan sudah lama, tapi aku tak menyangka jika jodohku bisa berubah dalam jangka waktu yang singkat. Aku dan Mas Joko menikah enam tahun lamanya, dan baru tiga bulan menikah aku dianugerahi anak. Tadinya bahagia namun semakin ke sini semakin kacau rumah tanggaku akibat campur tangan ipar dan mertuaku.Kini aku sedikit prihatin dengan keadaan Mas Joko, bahkan tadi pagi saat bertemu dengannya wajahnya amatlah murung. Pernah bersama pasti tahu, baik dan buruknya lelaki itu. Cinta? Bukan masalah cinta yang aku bicarakan. Aku hanya kasihan dan sedikit bersimpati. Aku hany
Malam ini, malam terakhir aku menjanda. Besok harinya aku sudah akan berganti status menjadi istri seorang Rendi Prayoga. "Sudah siap, Dek menjadi istri kembali?" ucap Bang Radi mengatakan dengan penuh kasih saat aku sedang menidurkan Azka di kamar."Abang belum tidur?" tanyaku."Mana bisa tidur kalau begini, Abang merasa sedang jadi orangtua yang akan menikahkan anaknya. Pusing mikirin acara besok," ucap Bang Radi."Apa sih yang dipikirkan? Sudah, istirahat saja. Kan ada WO yang mengurusi pernikahan Vita, Abang dan MBak Nuri hanya duduk manis dan melihat adiknya yang comel ini berbahagia. Orang Vita yang nikah aja biasa aja, kenapa Abang yang deg-degan. Aneh," ucapku."Namanya juga orang tua, Vit. Terlebih suamimu itu bukan orang sembarangan, Abang hanya sedikit minder saja.""Kok minder? Kaya dan miskin sama saja. Lagian, keluarga Rendi itu baik-baik. Bahkan, keluarga yang dari Jakarta juga sudah hadir tiga hari yang lalu," ucapku mengabarkan kehadiran keluarga besar Bella yang men
"Mas, uang yang kemarin aku taruh di bawah tumpukan baju, dimana? Mas lihat atau mungkin Mas yang ambil?" Kulihat wajah mas joko yang tampak datar dan sudah kupastikan, pasti suamiku telah yang mengambilnya."Maaf, Dek. Mas ambil tadi buat di kasihkan ke ibu." Sudah kuduga, selalu saja mas Joko melakukan itu ketika aku sedang pergi bekerja."Ibu? Dia minta buat apa lagi? Kemarin saja habis minta buat bayarin listrik, sekarang uang jatah makan kita seminggu di ambil semua. Lalu, bagaimana kita bisa makan buat besok?" cerocosku. Aku geram dengan sikap mas Joko yang terlihat biasa saja dan merasa tak berdosa sama sekali setelah ketahuan mengambil uang simpananku."Biarlah, Dek. Besok Mas coba cari kerja di luar, siapa tahu ada yang butuh tenaga Mas," sanggahnya."Begini ini, selalu saja alasannya sama! Memang besok Mas cari kerja sudah pasti dapat uang? Kita itu butuh makan setiap hari, belum jajan Azka, belum kebutuhan lain. Coba kamu bilang sama kakak kamu yang sok kaya itu, suruh dia
Setelah puas mengungsi di rumah Bang Radi, aku memutuskan menyudahi masa ngambekku. Aku pulang dengan Azka dengan mengendarai motorku malam hari. Azka yang sudah mengantuk aku suruh duduk di depan agar tak oleng saat ia ingin memejamkan matanya. Kasihan Azka, ia sering jadi korban keegoisan orang tuanya ini.Motor berhenti di depan rumahku yang sederhana ini, rumah yang aku dapatkan dari peninggalan jaman purba alias jaman nenek moyangku. Walaupun kusam seperti penghuninya, yang penting masih bisa untuk berteduh.Ku lihat lampu rumah yang masih padam, pasti Mas Joko belum pulang kerumah setelah ku diamkan tadi di rumah Bang Radi. Ku gendong Azka dan kubuka pintu yang tak digembok ini. Berat badan Azka yang bertambah setiap bulannya membuat aku cepat lelah jika terlalu lama menggendongnya. Aku menidurkan Azka di ranjangnya dan menyelimutinya dengan bed cover yang aku dapatkan dari hadiah pernikahanku dulu.Aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, suara pintu terbuka terd
"Mas, kemarin aku minta sama Bang Radi suruh carikan kerja buatmu, katanya ada noh, di sana! Berangkat bersama Mas Radi ya, pagi ini! Biar aku siapkan bekalnya untuk makan siang Mas." Aku sengaja tak memberi tahu Mas Joko tentang pekerjaan apa yang akan ia dapatkan di sana, karena pasti ia akan mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya."Pekerjaan apa, Dek? Kalau panas-panasan, Mas nggak mau! Suka pusing kalau kerja terkena cahaya matahari," ungkapnya."Mas udah khitan apa belum?" sindirku. Ada-ada aja Mas Joko ini, lelaki kok kerja nya nggak mau panasan. Bagaimana mau dapat pekerjaan, di tawarkan saja masih pilih-pilih yang cocok dan pas sesuai dengan keinginanya. Sampai lebaran kucing pun kalau begini mana ada pekerjaan yang cocok buatnya. Mengingat dirinya hanya tamatan SMA seperti Abangku."Kok, Khitan? Apa hubungannya khitan sama pekerjaan Mas?" keluhnya."Laki-laki itu di mana-mana kerjaannya ya gitu, kalau nggak kepanasan ya kehujanan. Kalau nggak mau kepanasan, berarti Mas ba
"Nih, Dek!" Mas Joko memberiku uang lima lembar berwarna merah padaku membuat aku mendongak tak percaya."Dapat dari mana, Mas?" tanyaku penasaran. Wajar dong aku penasaran dari mana asal uang itu, secara Mas Joko selama ini tak bekerja. Di kasih kerjaan di balai desa, di tolaknya. Katanya nggak mau kepanasan, nyatanya pekerjaan rendahan pun tak ia terima. Nasib punya suami malesnya nggak ketulungan."Jual ponselku! Aku tak begitu membutuhkannya, pakai dulu untuk kita makan sampai kamu gajian. Mas harap cukup!" Aku melongo mendengar jawabannya. Ponsel adalah salah satu media komunikasiku dengan dia saat aku meninggalkan Azka di rumah bersamanya saat bekerja. Bagaimana mungkin ia menjualnya? Bahkan ponsel itupun aku yang beli sebagai hadiah pernikahan satu tahunku waktu itu."Kamu nggak bilang, Mas? Seharusnya kamu tanya dulu sama aku. Itu ponsel sangat penting untuk kita berkomunikasi jika aku sedang di luar. Bagaimana nanti aku tahu kabar Azka jika aku bekerja?" sergahku."Beli lagi
"Joko!" teriak ibu histeris melihat anaknya yang terbaring di klinik. Biasa aja bu, nggak usah lebay gitu. Aku aja yang istrinya biasa saja, walau sedikit panik tapi tak langsung lari seperti drama-drama di tv. Ku lihat mas Joko tersenyum melihat kedatanganku."Kamu nggak papa, Ko? Ibu kan sudah bilang, kamu itu nggak cocok kerja rendahan?" papar ibu.Aduh, pantas saja anaknya malas bekerja. Ibunya aja begitu modelnya. Aku hanya melirik pada Mas Joko yang menatapku sedih. Maaf Mas, nggak berlaku bagiku tatapan memelas mu itu. Aku jadi nggak bisa ikut lembur kalau begini kan. Apes bener dah."Vit, Joko sepertinya lapar. Kamu beli makanan sana! Kasihan dia pasti butuh asupan biar cepet sembuh," ucap ibu."Baiklah, sini uangnya!" jawabku menyodorkan tanganku pada ibu."Kamu kok begitu, Vit! Sama suami sendiri perhitungan, jangan pelit-pelit jadi istri. Kamu mau kuburannya sempit?" sentak ibu."Sudah khatam, Bu, dengan kuburan yang sempit. Lain lagi napa? Misal doain ya, gini! Jangan peli
Ada apa dengan suamiku ini? Masih sakit saja dia masih memikirkan ibunya."Mas niat nggak sih mau kasih uang itu sama aku? Jika Mas ikhlas, semuanya nggak akan seperti ini. Uang yang Mas kasih sama aku tadi pagi, habis sudah!Kalau Mas mau membayarnya sendiri silahkan, tapi kalau tidak baik kita pulang hari ini. Terlalu lama tinggal di klinik, bisa-bisa motorku lenyap untuk membayar semua biaya pengobatanmu," ucapku. Bukan aku pelit pada Mas Joko, tapi dia teramat keenakan jika aku biarkan seperti ini. Aku juga sudah menemui dokter tadi jika keadaan Mas Joko baik-baik saja dan boleh pulang hari ini."Bu, Mau pulang diantar Vita atau mau pulang naik angkot?" tanyaku pada Ibu."Siapa yang mau pulang? Ibu masih mau menemani Joko di sini!" ucap Ibu. Sebenarnya tak baik jika aku mengerjai ibu, akhirnya aku memutuskan berterus terang saja."Bu, Mas Joko akan pulang nanti sore. Kalau Ibu ngeyel di sini, ya silahkan! Tapi kalau Ibu mau pulang, Vita berbaik hati mengantarkan Ibu!" ucapku."Mem