Share

benar benar

"Mas, kemarin aku minta sama Bang Radi suruh carikan kerja buatmu, katanya ada noh, di sana! Berangkat bersama Mas Radi ya, pagi ini! Biar aku siapkan bekalnya untuk makan siang Mas." Aku sengaja tak memberi tahu Mas Joko tentang pekerjaan apa yang akan ia dapatkan di sana, karena pasti ia akan mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya.

"Pekerjaan apa, Dek? Kalau panas-panasan, Mas nggak mau! Suka pusing kalau kerja terkena cahaya matahari," ungkapnya.

"Mas udah khitan apa belum?" sindirku. Ada-ada aja Mas Joko ini,  lelaki kok kerja nya nggak mau panasan. Bagaimana mau dapat pekerjaan, di tawarkan saja masih pilih-pilih yang cocok dan pas sesuai dengan keinginanya. Sampai lebaran kucing pun kalau begini mana ada pekerjaan yang cocok buatnya. Mengingat dirinya hanya tamatan SMA seperti Abangku.

"Kok, Khitan? Apa hubungannya khitan sama pekerjaan Mas?"  keluhnya.

"Laki-laki itu di mana-mana kerjaannya ya gitu, kalau nggak kepanasan ya kehujanan. Kalau nggak mau kepanasan, berarti Mas ban**i," cibirku sambil membalikkan gorengan yang sedang aku masak.

"Ya, kan, ada pekerjaan yang nggak harus kepanasan," sanggahnya.

"Memang pekerjaan apa yang Mas maksudkan?"

"CEO!" jawabnya lantang.

Aku melongo mendengar jawaban Mas Joko. Jangankan CEO, bisa masuk ke dalam gedung bertingkat saja sepertinya belum pernah. Ada-ada saja suamiku ini, bermimpi kok jadi Ceo. Kalau jadi supir atau tukang tambal ban mungkin bisa terealisasikan, lah ini, Ceo! Aku terkikik geli menertawakan kekonyolan ucapan Mas Joko, dan yang ditertawakan hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Sudah sana, mandi! Bentar lagi jam kerja masuk, di tungguin loh sama Mas Radi. Nanti kamu gagal diangkat jadi CEO," ledekku.

Mas Joko meninggalkan diriku  yang masih berkutat dengan kesibukan memasak di dapur. Ia beranjak dari hadapanku dengan sedikit kesal karena aku ledek. Biarkan sajalah, siapa suruh mimpi ketinggian. Jatuh baru tahu rasa kan, seperti tadi malam. Ups!

Aku melihat Mas Joko yang sudah rapi dengan setelan hemnya. Aku ingin menertawakan penampilannya sebenarnya, tapi aku biarkan saja begitu. Mas Joko kan belum tahu dia mau kerja apa, jadi pengen lihat gimana ekspresi Mas Joko ketika disuruh kerja beres-beres di balai desa.

"Aduh … gantengnya suamiku! Sudah siap?" ucapku dengan nada yang ku buat-buat.

"Mana makanannya? Mas sudah kesiangan ini," decihnya.

"Sabar Mas, ini lagi diambilkan." Aku mengambilkan beberapa sayur genjer dan tempe goreng, dan ku hadapkan padanya.

"Nih, ichi Bos! Siap," selorohku menyodorkan sarapan ke hadapannya.

"Ini makanan apa? Lainnya saja! Masa calon pejabat makan sayur seperti ini, ganti!" perintahnya.

"Memang ini restoran? Makan saja apa yang sudah aku masak, kalau tidak mau ya sudah. Aku bawa ke belakang lagi saja. Biar nanti aku yang habiskan." Aku hendak mengambil kembali piring yang ada di meja, tapi Mas Joko mencegahku.

"Eits, sabar dulu! Gitu aja ngambek! Sini, biar Mas coba dulu. Siapa tahu genjer yang Mas makan berubah rasa menjadi spageti," imbuhnya. Aku memutar bola mataku sebal, mendengar penuturan suamiku yang tak tahu bersyukur ini. Sudah untung ada yang di masak hari ini. Masih protes saja!

Aku meletakkan kembali piring itu dan berlalu kebelakang untuk membawakan bekal ia bekerja. Setidaknya ia sudah mau berangkat dulu, itu sudah syukur. Aku tinggal membawa Azka ke rumah Kak Nuri untuk aku tinggal bekerja.

Aku bekerja di salah satu pabrik tekstil yang memproduksi berbagai macam pakaian khas kota Cilacap. Gaji yang dibilang cukup tidak cukup menurutku. Cukup jika hanya digunakan untuk kamu sekeluarga. Namun, tak akan cukup jika digunakan untuk menopang hidup ibu dan iparku.

"Dek, ada pegangan uang? Masa Mas kerja nggak bawa uang sama sekali. Malu lah!" lirihnya.

"Ngapain malu? Emang kita miskin nggak punya uang, santai saja. Siapa suruh uang di ambil semua, seharusnya kamu mikir jika sedang begini posisinya."

"Ya sudah! Mas nggak jadi pergi saja kalau tak ada uang saku," ucapnya merajuk macam anak SD yang meminta uang saku sekolahnya.

Gini nih! Selalu saja memaksa jika meminta, membuat aku tak mempunyai pilihan lain. Kurogoh uang di dalam dasterku. Beruntung sisa belanja tadi aku sudah simpan di dompet kecilku menyisakan uang lima ribu dan dua ribu. Tadinya buat jaga-jaga, jika ada pedagang keliling lewat dan Azka meminta untuk membelinya.

"Nih! Adanya goceng, yang dua ribu aku mau buat uang saku Azka nanti. Mas, nanti sepulang kerja, Azka tolonh di jemput di rumah Mba Nuri!" perintahku.

"Kenapa nggak di titip di rumah ibu si? Kan nggak harus jalan jauh ke sana?" decitnya. Sepertinya ia keberatan jika mendekatkan Azka pada nenek dan Uwa nya. Aku memang sengaja tak meninggalkannya di sana, di samping pengaruh buruk yang akan diajarkan pada Azka aku juga tak ingin ibu dan iparku meminta imbalan atas pekerjaannya mengasuh Azka.

"Kan sekalian nanti pulang sama Bang Radi dari balai desa." 

"Ya sudah, ayo kamu antar Mas ke rumah Bang Radi. Masa Mas jalan, capek dong!" ujarnya.

"Jalan dari sini ke depan kok capek, kemarin saja nyusul ke sana Mas nggak capek! Sudah sana nanti terlambat! Jalan saja, itung-itung olahraga biar sehat! kelitku. 

Akhirnya, dia menyudahi pembicaraannya denganku dan melangkah keluar setelah aku cium tangannya takzim.

Banyak harapan tersirat saat kepergian suamiku, aku ingin ia bisa betah dan menerima apapun pekerjaannya nanti.

Ku masuk kamar melihat Azka yang masih tertidur lalu aku bangunkan perlahan. Aku tak ingin terlambat bekerja karena ini sudah sangat terlambat akibat mengurus suamiku yang hendak bekerja tadi.

Azka mengucek matanya dan sesekali menguap panjang pertanda ia masih sangat mengantuk.

"Mi, Aka acih atuk! Tidul lagi, ya?" ucapnya.

"Eits, nggak boleh! Ini sudah siang, Mami mau pergi bekerja. Azka nanti di tempat Bude sama tante Dina, mau?" Aku bujuk Azka yang tampak malas bangun dan akhirnya mendengar kata Bude ia langsung semangat dan beranjak turun dari ranjang.

" Ayo, Mi! Anti ke kebulu Bude pelgi kaya kemalin," ajak Azka menarik bajuku agar segera pergi.

"Mandi dulu, sarapan dulu, baru deh! Anak Mami yang ganteng sudah siap otewe!" bujukku.

"Otewe apa Mam?" tanya nya.

"On the way alias pergi! Ayo, kita mandi! Kelamaan nanti kalau kita ngobrol!" imbuhku.

"Oke, Mi!" ucapnya sambil mengalungkan tangannya di leherku.

 Aku melangkah menuju kamar mandi bersama Azka dan memandikannya dengan riang dan menyanyi untuk membuat anakku riang di pagi harinya. Dia mahkota hatiku, aku sangat mencintainya. Umur yang masih balita namun sangat dewasa dan mengerti keadaan kedua orang tuanya jika sedang susah. Bersyukur Allah titipkan malaikat kecil seperti Azka, yang jarang menuntut hal-hal aneh seperti Papapnya.

Setelah semuanya selesai, aku meletakkan Azka di jok depan motorku. Ku starter motor menuju rumah Bang Radi, ku lihat wajah anakku yang ceria ketika tahu akan ke rumah budenya.

Motor telah sampai di rumah Bang Radi, aku melihat Dina yang sedang menyapu halaman. Ia menarik sudut bibirnya ketika tahu kedatangan aku dan Azka.

"Mba! Aka main ama ate yuk! Aya emalin!" ajak anakku pada Dina. Dina memeluk Azka dan menghujani dengan ciuman bertubi-tubi karena gemas dengan sepupu kecilnya ini.

"Anak gadis Papa radi rajin bener! Mamamu  di mana, Din?" sanjungku pada Dina saat turun dari motor hendak mencar Mbak Nuri.

"Di dalam, Tan! Lagi nyuci kayaknya tadi! Tante masuk saja," ajaknya.

"Nggak deh, Tante udah telat banget. Tante nitip Azka ya, nanti kalau pamanmu pulang biar Azka ikut pulang papapnya saja." Aku berpamitan pada Dina dan Azka menuju ke tempat aku bekerja. Azka menyalamiku dan melambaikan tangannya melihatku pergi bekerja. Benar-benar anak yang manis, batinku.

****

Setelah sore menjelang, akhirnya pekerjaanku di pabrik selesai. Aku memutuskan langsung pulang karena aku ingin cepat-cepat menanyakan bagaimana kerja suamiku hari ini. Aku harap aku mendengar kabar baik dari mulutnya kali ini.

Aku pacu matikku dan melaju dengan kecepatan sedang membelah ramainya kota Cilacap.

Tak terasa setengah jam perjalanan, aku telah sampai di depan rumah. Aku melihat Mas Joko yang sedang menyesap rokoknya di temani segelas kopi yang tampak masih hangat.

"Assalamualaikum," salamku.

"Waalaikumsalam." Aku mencium tangan suamiku dan duduk di sampingnya.

"Azka mana, Mas?"

"Masih di rumah Abangmu!" Aku kaget mendengarnya.

"Loh, kok bisa? Memang tadi nggak pulang bareng?" tanyaku penasaran.

"Nggak! Tadi Mas pulang duluan. Masa Mas di kasih pekerjaan buat bersih-bersih, Mas malu pekerjaan begitu. Rendahan!" decitnya.

 Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Mas Joko benar-benar keterlaluan, bukannya memikirkan nasib kami kedepannya dia hanya memikirkan gengsinya karena bekerja beberes di balai desa.

"Mas! Seharusnya Mas bersyukur masih ada pekerjaan buat Mas sekarang. Di masa pandemi gini, cari kerja susah. Masih mau-maunya jadi pengangguran! Betah di marahi istri tiap hari? 

Apapun pekerjaannya, syukuri saja. Yang penting halal. Kamu nggak kasihan lihat aku kerja sendiri untuk mencukupi kebutuhan kita sehari-hari? Ini sudah ada yang kasih pekerjaan, malah di tolak. Kamu tidak tahu arti bersyukur, makannya hidup kita begini-begini saja," sungutku. 

Aku beranjak dan berdiri meninggalkan Mas Joko dengan dada yang bergemuruh menahan kesal yang teramat sangat. Bukankah pekerjaan beberes adalah pekerjaan mulia? Mas Joko benar-benar keterlaluan. 

Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan membanjiri tubuhku dengan air dingin yang meresap masuk kedalam pori-pori kulitku. Hawa sejuk air mengalir membuat amarah yang tdi memuncak menjadi sedikit lebih baik.

Setelah mandi aku berlalu meninggalkan suamiku yang masih sibuk dengan cerutunya di depan rumah. Aku hendak menjemput Azka di rumah bang Radi. Namun, aku sengaja tak menegur atau berpamitan pada suamiku yang berada di depan halaman rumah. Ia pun tak membuka suaranya saat tahu aku akan pergi.

Benar-benar sangat menjengkelkan suamiku ini. Di samping tidak peka, ia juga sangat minim perhatian. Membuatku kadang merasa sedikit dongkol dan bosan jika bertatapan dengannya terlalu lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status