Ada apa dengan suamiku ini? Masih sakit saja dia masih memikirkan ibunya."Mas niat nggak sih mau kasih uang itu sama aku? Jika Mas ikhlas, semuanya nggak akan seperti ini. Uang yang Mas kasih sama aku tadi pagi, habis sudah!Kalau Mas mau membayarnya sendiri silahkan, tapi kalau tidak baik kita pulang hari ini. Terlalu lama tinggal di klinik, bisa-bisa motorku lenyap untuk membayar semua biaya pengobatanmu," ucapku. Bukan aku pelit pada Mas Joko, tapi dia teramat keenakan jika aku biarkan seperti ini. Aku juga sudah menemui dokter tadi jika keadaan Mas Joko baik-baik saja dan boleh pulang hari ini."Bu, Mau pulang diantar Vita atau mau pulang naik angkot?" tanyaku pada Ibu."Siapa yang mau pulang? Ibu masih mau menemani Joko di sini!" ucap Ibu. Sebenarnya tak baik jika aku mengerjai ibu, akhirnya aku memutuskan berterus terang saja."Bu, Mas Joko akan pulang nanti sore. Kalau Ibu ngeyel di sini, ya silahkan! Tapi kalau Ibu mau pulang, Vita berbaik hati mengantarkan Ibu!" ucapku."Mem
"Ibu dari mana saja? Di cari dari tadi!" ucap Ilham saat melihat ibunya baru datang dari arah pintu."Dari klinik, kamu nggak tahu ya? Adikmu tadi habis nyemplung empang," jawab ibu."Oh." Hanya kalimat pendek yang keluar dari bibir Ilham karena ia masih jengkel pada Joko dan Vita akibat masalah ikan gabus kemarin."Kamu kenapa cari Ibu?""Ini, Bu! Rumah ini ada yang nawar dua ratus juta. Mahal kan, Bu? Jual saja ya, Bu! Ilham butuh modal ini buat membuka toko cabang baru di Pasar Biru. Nanti, kalau toko Ilham rame, Ibu juga akan dapet enaknya." Ilham kembali membujuk Ibu Joko untuk segera menjual aset peninggalan ayah yang hanya tersisa rumah ini."Kalau di jual, Ibu mau tinggal di mana?" ucap Ibu."Kan Ibu bisa tinggal sama aku atau Joko. Ibu nggak usah lagi pusing-pusing mikir biaya makan dan lain-lain. Pokoknya, tinggal enaknya saja lah," bujuk Ilham."Coba nanti kita bicarakan lagi sama Joko. Ibu nggak mau jika Ibu nanti sengsara gara-gara jual rumah ini. Rumah ini tinggal satu-s
"Ealah, bagus-bagus kok ambekan. Ya sudah! Ibu ke rumah Joko. Kamu tunggu di sini!" Bu Joko berjalan ke luar rumahnya untuk meminta makan ke rumah Joko. Walau Vita sering mengomel padanya, namun jarang sekali mereka menolak jika Ibunya meminta sesuatu darinya."Assalamualaikum," sapa Ibu dari luar rumah Joko. Vita yang sedang memasak makan malam terus melanjutkan acara maaknya tanpa menyambut ibu di depan."Waalaikumsalam," sahut Vita dari dapur.Bu Joko masuk ke rumah Vita dengan perasaan senang karena tahu Vita sedang memasak. Tercium dari aromanya saja ia sudah tahu, jika masakan Vita memanglah enak."Ngapain balik lagi, Bu?" tanya Vita ketus."Kamu ini, kayak nggak senang saja jika Ibu datang ke rumahmu," sungut ibu tak terima dengan nada bicara Vita."Mau makan?" tanya Vita sengana mengalihkan pembicaraan."Sudah! Nggak usah tanya, berikan saja makan buat ibu di rumah. Dari tadi di klinik, Ibu kelaparan. Kamu nggak mau belikan Ibu makan. Sekarang kamu harus tanggung jawab karena
Hari ini aku sangat lelah sekali. Pekerjaan mencari nafkah bagi wanita sungguh sangat berat, ditambah kedatangan tamu bulanan yang membuatku sedikit merasakan nyeri di perut. Aku keluar dari pabrik menuju parkiran motor dengan langkah pelan, dan beberapa orang yang melihat langkahku tak biasa menanyakan keadaanku."Kenapa, Vit?" tanya Anggi padaku."Nggak papa, cuma nyeri saja di perut. Biasa PMS melanda!" jawabku nyengir."Oh, baik banyak istirahat sama minum air putih," saran Anggi diiringi anggukan kecil dariku."Makasih," ujarku. "Aku duluan ya!" Anggi berlalu meninggalkanku. Aku memilih duduk dulu di pinggir parkiran untuk membuang rasa penat dan nyeri seperti ini. Aku juga sebel, kenapa harus seperti ini jika datang bulan. Sangat-sangat mengganggu aktivitasku. Yah, walaupun hanya paling dua atau tiga hari datangnya nyeri ini, tapi tetap saja aku risih. Biasanya aku memilih libur dan tidak berangkat jika sedang PMS begini, tapi jika aku memilih libur aku tidak bisa mendapatkan g
"Mamam akit?" tanya Azka padaku."Iya, Sayang! Kamu mandi sama Papap dulu ya, habis itu makan," perintahku pada Azka."Ciap, Mam!" Azka memang anak yang pengertian, dia bahkan tak pernah membuat aku bersedih. Dia jarang menuntut hal-hal yang aneh, paling sebatas minta jajan dan juga jalan-jalan. Bagiku, asal aku bisa aku pasti akan melakukan apapun demi dia.Sore telah berganti dengan malam, kini aku hendak mengisi perutku yang masih kosong karena belum makan sejak tadi siang. Biasanya aku makan sehabis pulang kerja, tapi tadi aku langsung merebahkan diri dan sekarang aku merasa sangat lapar.Ku buka tudung saji hendak makan makanan yang aku sisakan tadi pagi untuk aku makan sore hari. Tapi aku terkejut kala tak ada makanan sedikitpun tersisa di sana. Aku memanggil Mas Joko yang sedang asik nonton tv di ruang depan."Mas, makanan di dapur kemana? Habis kamu makan semua?" tanyaku."Memang ada makanan? Tadi Azka aja makan sama telor ceplok yang aku bikin." Aku kaget dengan jawaban Mas
"Vit, kamu mau berangkat kerja?" tanya ibu dengan senyum yang aneh. Napasnya ngos-ngosan, sepertinya ia terburu-buru dari rumah ke sini."Iya, Bu. Ini mau nganter Azka dulu ke rumah mbak Nuri," jawabku."Sini! Biar Azka Ibu yang ngemong! Kamu kerja saja. Joko tadi juga bilang, Azka suruh sama aku. Nggak enak katanya merepotkan kakakmu terus," imbuhnya.Aku menatap heran sosok mertuaku ini, tak biasanya dia berbicara lembut dan juga baik menawarkan dengan sukarela mengasuh Azka."Ibu kesambet setan dari mana? Aneh bener, tumben mau ajak Azka di rumah Ibu. Biasanya, banyak banget alasannya kalau mau dititipi Azka!" selorohku."Kamu ini, Azka kan cucuku. Masa ngajak Azka di rumah Ibu saja kamu keberatan," ucap Ibu tak suka dengan jawabanku."Nggak sih! Tapi coba tanyakan sendiri pada Azka, mau apa nggak!" saranku."Azka sama nenek, yok! Nanti nenek belikan permen," bujuk ibu. Azka menggelengkan kepalanya membuat ibu menatapku sinis."Kamu pasti yang ajarin Azka biar nggak mau sama nenekn
"Aduh kalian bikin aku iri! Pulang nanti aku mau juga lah di isengin gitu sama suami. Eh, Ren, lo mau nggak tukar tambah sama suami Vita?" Aku melototkan mataku ketika mendengar ucapan Anggi yang asal."Tukar tambah dengan yang model kaya dia mana bisa kuat. Pasti banyak modalnya!" ucap Rendy."Justru dia wanita yang minim modal. Lihat, makan saja sama sayur singkong tiap hari, kalau nggak bayam. Tapi anehnya, dia nggak kurus malah semok," ucap Anggi menimpali ucapan Rendi. Aku diam saja tak menaggapi ucapan mereka. Makan siangku sangat sayang untuk di lewatkan. Mengingat belum tentu nanti malam aku bisa makan di rumah."Nggak pernah perawatan aja cantik begitu, apalagi kalau ke salon. Mungkin bisa mirip artis Nikita wala." Ucapan Rendi membuat aku air yang sedang aku minum tersembur hingga membasahi baju Rendi."Maaf, maaf! Kamu sih ngomongnya ngawur, bikin aku kaget! Sini aku bersihkan, kamu bawa baju ganti? Nanti aku cuci dilondry!" ucapku asal. Aku hanya ingin bertanggung jawab ka
"Dari mana saja, Dek! Jam segini baru nyampe?" tanya Mas Joko dengan tatapan menyelidik."Kerja lah, dari mana lagi?" jawabku jujur. Aku langsung masuk dan melewati begitu saja Mas Joko yang berdiri di ambang pintu."Kerja kamu berduaan sama lelaki di luar sana?" bentak Mas Joko. Aku melihat muka marahnya yang seakan menuduhku yang tidak-tidak. Sepertinya, Mbak Yati sudah mengadu pada Mas Joko, gercep juga dia. Aku berusaha santai dan tak ikut emosi."Kamu kenapa, Mas? Marah? Cemburu? Aku ini kerja loh, cari uang halal! Nggak jual diri apalagi jual muka. Kaya yang ngadu sama Mas ini," sindirku."Kamu berani menjelek-jelekan kakakmu sendiri, Dek?" sungutnya."Oh, kakakmu toh yang sudah ngadu. Nggak heran si kalau dia ngomong gitu sama Mas, dia mungkin kalah saing sama aku karena dapet traktiran beli roti gratis tadi. Nih! Lumayan kan? Lagian, orang lain dipercaya, gimana sih jadi suami? Seharusnya bicara baik-baik, ngomong baik-baik. Nggak asal tuduh gitu," ucapku pada Mas Joko sambil