"Dari mana saja, Dek! Jam segini baru nyampe?" tanya Mas Joko dengan tatapan menyelidik."Kerja lah, dari mana lagi?" jawabku jujur. Aku langsung masuk dan melewati begitu saja Mas Joko yang berdiri di ambang pintu."Kerja kamu berduaan sama lelaki di luar sana?" bentak Mas Joko. Aku melihat muka marahnya yang seakan menuduhku yang tidak-tidak. Sepertinya, Mbak Yati sudah mengadu pada Mas Joko, gercep juga dia. Aku berusaha santai dan tak ikut emosi."Kamu kenapa, Mas? Marah? Cemburu? Aku ini kerja loh, cari uang halal! Nggak jual diri apalagi jual muka. Kaya yang ngadu sama Mas ini," sindirku."Kamu berani menjelek-jelekan kakakmu sendiri, Dek?" sungutnya."Oh, kakakmu toh yang sudah ngadu. Nggak heran si kalau dia ngomong gitu sama Mas, dia mungkin kalah saing sama aku karena dapet traktiran beli roti gratis tadi. Nih! Lumayan kan? Lagian, orang lain dipercaya, gimana sih jadi suami? Seharusnya bicara baik-baik, ngomong baik-baik. Nggak asal tuduh gitu," ucapku pada Mas Joko sambil
Hari ini hari minggu, aku memutuskan untuk tetap berangkat bekerja. Bagi kebanyakan buruh di sana, hari minggu mereka gunakan untuk me time bersama keluarga tercinta. Namun, aku harus mengabaikan hari liburku demi sesuap nasi. "Mas, hari ini kamu libur kan? Jagain Azka di rumah, ya? Soalnya aku mau berangkat kerja," pamitku."Nggak libur, Dek?" tanyanya."Memang kamu udah gajian buat kita makan?" ucapku. Mas Joko menatap ke depan sambil menarik sudut bibirnya."Kemarin aja, Mas nggak jadi kerja di koperasi. Males, harus keliling nagih uang," ucap Mas Joko santai. Sudah aku duga, palingan Mas Joko gitu, sok pilih-pilih pekerjaan. Akhirnya, jadi pengangguran lagi."Dah khatam aku sama kamu yang suka gitu, mana ada kerjaan gampang. Ngabisin duit aja yang kerjaan paling gampang, kayak yang di depanku ini," ucapku sebal. Mas Joko nyengir tanpa dosa di depanku, dan aku segera pamit berangkat."Baiklah, hati-hati, Sayang!" ucapnya aneh. Aku curiga dengan sikap Mas Joko yang tiba-tiba senang
Uhuk! Uhuk!Suara Rendi yang seakan tak terima dengan ucapan mamanya."Ibu bisa saja, Ibu juga cantik. Cantik banget malah, Ayu ting tong kalah cantiknya sama Ibu," pujiku. Tampak wajah senang dari Bu Ningrum saat aku berbalik memujinya."Kalau begitu, saya pamit!" Bu Ningrum menganggukan kepalanya dan aku meninggalkan mereka yang masih menatap kepergianku.***Aku memasuki pelataran rumahku, dan tampak Azka yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Namun, ponsel siapa yang sedang Azka mainkan? Bukankah Mas Joko tak punya ponsel karena sudah di jual?Aku menghentikan motorku dan memarkirkan di halaman rumah. "Aduh, anak Mamam sibuk banget sampai nggak tahu Mamam sudah pulang!" ucapku pada Azka."Assalamualaikum, Mam," salam Azka yang masih menatap ponselnya tanpa melirikku."Waalaikumsalam, Azka Ramadhan. Coba tengok sini?" ucapku mencoba mengalihkan ponselnya padaku."Apa, Mam? Aka lagi sibuk ini, gamnya selu," ujarnya."Sudah sore, Ka! Sudah mandi?" Azka menggeleng."Sudah maka
"Mas, hari ini ada kesibukan apa?" tanyaku sambil menata bekal makanku."Mau nemenin Mas Ilham beli mobil, kenapa, Dek? Tumben tanya Mas kayak gitu!" jawabnya heran."Mas Ilham mau beli mobil?" tanyaku terkejut."Iya," jawab Mas Joko singkat. Mas Ilham hanyalah seorang kuli, bukan berarti aku meremehkan pekerjaannya. Sangat aneh sekali, mengingat Mas Ilham yang sangat boros dan malas itu bisa beli mobil dalam jangka waktu yang cepat.Kemarin malam saja dia masih ribut denganku gara-gara ikan gabus. Masa iya, secepat itu? Jangan-jangan dugaanku benar, ibu lagi bagi-bagi warisan. Dan aku, sengaja tak ibu beritahu agar aku tak meminta bagian."Mas, ibu bagi-bagi warisan ya?" tanyaku. Belum sempat menjawab, ponsel Mas Joko berbunyi. Ia memilih mengangkatnya dan berdiri menjauh dariku. Aneh sekali kamu Mas, aku akan mencoba menguping dari balik kamar saja."Iya, Bu! Ini Joko mau langsung otewe, lima menit lagi!" Mas Joko bergegas mencium tanganku untuk pamitan dan pergi keluar dengan bur
Rendi menjongkokkan badannya mensejajari Azka dan menatapnya lembut."Adik, namanya siapa?" sapa Rendi sambil tersenyum. Azka menatap Rendi dan juga ikut tersenyum."Aka, Om ganteng," jawab Azka"Main sama Om, di sana aja yuk! Mamamu lagi kerja, takut ganggu! Aka mau, Mama sedih karena tidak bisa bekerja lagi?" Azka melirikku dan aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju.Rendi menggendong Azka dan berkata lirih di depanku."Aku bawa Aka ke ruanganku. Di sini membuatmu tak fokus, bekerjalah dengan betul! Jika kamu tidak ingin aku pecat!" ucapnya.Aku mengiyakan permintaan Rendi dan berterimakasih karena sudah mengizinkan Azka ikut bekerja.****Jam istirahat makan siang sudah masuk, aku menyudahi pekerjaanku dan bergegas ke ruangan Rendi untuk mengambilnya.Aku membuka gagang pintu ruangan Rendi dan melihat Azka yang tengah tertidur di sofa."Ren, Azka rewel ya?" tanyaku khawatir."Dia anak pintar, sangat penurut. Dia sama sekali tidak merepotkanku, setelah puas bermain dia tertidur,
"Sudah dapat mobilnya?" tanyaku setibanya Mas Joko dari perginya seharian."Sudah dong, nih! Mas juga dibelikan motor sama Mas Ilham. Baik kan dia?" ucap Mas Joko memperlihatkan kuncinya."Lalu, mana motornya?" tanyaku heran karena ia tadi pulang jalan kaki bukannya naik motor."Aku tinggal lah, di rumah Mas Ilham," jawabnya santai sambil duduk mengangkat kakinya."Itu motor buat Mas, atau mas kasih pinjam sama Mas Ilham?" tanyaku aneh, mengingat bukannya motor itu dibawa pulang malah di taruh di rumah Mas Ilham."Buat Mas lah, cuma aku titipkan di sana. Di sini penuh, mana muat buat narih dua motor!" jawabnya. "Ada yang Mas sembunyikan pasti dari Vita, ya? Ayo, ngaku!" ucapku pada Mas Joko. Dari pada aku menduga-duga, baik aku langsung saja bertanya pada orangnya."Apaan sih, Dek? Mana ada, sembunyi-sembunyi?" ucapnya kikuk."Udah, Deh! Nggak usah bohong sama aku. Aku ini faham karakter Mas dan Mas Ilham, kalian ada kongsi apa? Sampai aku tak tahu?" desakku."Nggak ada, Mas Ilham l
"Nenek mau nginep di rumah Azka, sudah Azka tidur saja dulu, apa mau main ponsel Mamam?" tawarku."Nggak Mam, Aka mau tidul cama Mamam cama Papap.""Ya udah, Azka tidur di sini dulu, nanti Mamam bopong Azka kalau sudah nyenyak. Tidur dulu ya!" Azka mengangguk dan berbaring serta segera memejamkan matanya."Nginep ko bawa tas besar banget?" tanyaku tak percaya. Mungkin ibu akan tinggal di rumah ini, aku kenal betul sifat Mas Ilham. Dia pasti tak akan mau menampung ibu terlalu lama, setelah rumah itu di jual dan dia mendapatkan uangnya maka ibu ia jadikan korbannya."Sudah lah, Jok! Nggak usah berbelit-belit. Bilang saja pada istrimu itu, Ibu mau pindah ke sini. Istrimu ini pasti tak keberatan, iya kan Vit?"Kutatap tajam Mas Joko, ia sungguh sangat keterlaluan sudah mengambil keputusan tanpa menanyakannya padaku."Mas, kenapa nggak tanya pendapatku dulu? Ini rumahku, dan Mas harus izin dulu jika mau bawa ibu ke sini," ucapku jengkel."Kamu tidak izinkan Ibu tinggal di sini, Vit? Bena
"Mana Joko? Kamu pergi cari suamimu itu kan? Ko nggak sekalian ikut pulang?" cerocos ibu saat aku baru sampai dari rumah."Siapa yang habis cari Mas Joko? Aku itu habis beli mie ayam di warung mang Jejen," seloyorku di depan ibu."Mana? Ibu lihat," ucap ibu membuntutiku. Pasti dia ingin makan pula mie ini. Mengingat ibu yang sangat pelit buat membeli jajan semacam ini."Ibu Mau?" tawarku"Memang kamu beli berapa?""Mau nggak nih? Tapi ada syaratnya," ucapku. Kali ini aku biarkan ibu sedikit jengkel dulu agar ia mau aku beri syarat agar bisa makan mie ini."Kelamaan pake syarat, udah cepet bilang. Syarat apa?""Ibu mulai besok tidur di rumah Mas Ilham, gimana?" tawarku. Aku ingin lihat bagaimana respon anak-anaknya jika tahu aku melakukan ini semua. Siapa suruh, Mas Joko main-main sama aku. Dia main serong, aku main dorong!"Kamu usir Ibu?" sungut ibu tampak emosi."Nggak, tapi kalau Ibu merasa begitu, ya! Vita nggak keberatan. Lagian, siapa suruh anakmu itu main wanita. Udah enak nika