"Nenek mau nginep di rumah Azka, sudah Azka tidur saja dulu, apa mau main ponsel Mamam?" tawarku."Nggak Mam, Aka mau tidul cama Mamam cama Papap.""Ya udah, Azka tidur di sini dulu, nanti Mamam bopong Azka kalau sudah nyenyak. Tidur dulu ya!" Azka mengangguk dan berbaring serta segera memejamkan matanya."Nginep ko bawa tas besar banget?" tanyaku tak percaya. Mungkin ibu akan tinggal di rumah ini, aku kenal betul sifat Mas Ilham. Dia pasti tak akan mau menampung ibu terlalu lama, setelah rumah itu di jual dan dia mendapatkan uangnya maka ibu ia jadikan korbannya."Sudah lah, Jok! Nggak usah berbelit-belit. Bilang saja pada istrimu itu, Ibu mau pindah ke sini. Istrimu ini pasti tak keberatan, iya kan Vit?"Kutatap tajam Mas Joko, ia sungguh sangat keterlaluan sudah mengambil keputusan tanpa menanyakannya padaku."Mas, kenapa nggak tanya pendapatku dulu? Ini rumahku, dan Mas harus izin dulu jika mau bawa ibu ke sini," ucapku jengkel."Kamu tidak izinkan Ibu tinggal di sini, Vit? Bena
"Mana Joko? Kamu pergi cari suamimu itu kan? Ko nggak sekalian ikut pulang?" cerocos ibu saat aku baru sampai dari rumah."Siapa yang habis cari Mas Joko? Aku itu habis beli mie ayam di warung mang Jejen," seloyorku di depan ibu."Mana? Ibu lihat," ucap ibu membuntutiku. Pasti dia ingin makan pula mie ini. Mengingat ibu yang sangat pelit buat membeli jajan semacam ini."Ibu Mau?" tawarku"Memang kamu beli berapa?""Mau nggak nih? Tapi ada syaratnya," ucapku. Kali ini aku biarkan ibu sedikit jengkel dulu agar ia mau aku beri syarat agar bisa makan mie ini."Kelamaan pake syarat, udah cepet bilang. Syarat apa?""Ibu mulai besok tidur di rumah Mas Ilham, gimana?" tawarku. Aku ingin lihat bagaimana respon anak-anaknya jika tahu aku melakukan ini semua. Siapa suruh, Mas Joko main-main sama aku. Dia main serong, aku main dorong!"Kamu usir Ibu?" sungut ibu tampak emosi."Nggak, tapi kalau Ibu merasa begitu, ya! Vita nggak keberatan. Lagian, siapa suruh anakmu itu main wanita. Udah enak nika
Aku mengeluarkan ponselku dan memutar video rekaman gombalan serta ajakan Mas Joko pada Ibu dan Mas Joko. Mereka berdua melongo melihat video yang kutunjukan ini."Ka_kamu bisa tahu dari mana, Dek?" ucapnya terbata. Mungkin dia grogi dan takut karena sudah ketahuan begini. "Vita tak perlu mengatakan, Vita tahu dari mana. Kalian sudah berapa lama menjalin hubungan?" tanyaku penuh selidik."Mana ada, kami hanya berteman," elaknya."Sudahlah, Mas. Jangan alasan! Cukup selama ini aku kenyang dengan sikap malasmu bekerja, baru beberapa minggu bekerja dan menghasilkan uang. Kamu sudah berulah! Ibu, ingat perjanjian kita? Silahkan kalian kemasi barang-barang kalian dan keluar dari rumah ini."Aku meninggalkan Mas Joko dan Ibu yang masih menatapku tak percaya, aku sudah terlanjur ilfeel dengan Mas Joko."Ibu ada perjanjian apa sama Vita?" kudengar Mas Joko penasaran dengan perkataanku tentang sebuah perjanjian."Alah, itu cuma akal-akalan Vita saja karena mau mengusir kita. Baik kita pulang
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuatku menepikan motorku, dari dalam sana kaca pintu mobilnya terbuka."Dek! Mau berangkat kerja?" Mas Joko dengan senyum bangganya menyapaku di pinggir jalan."Kamu kan lihat aku mau bekerja? Kenapa tanya? Aneh sekali," balasku malas."Nggak mau Mas anter naik mobil ini, Dek? Enak loh! Nggak kepanasan dan kehujanan.""Nggak!" tolakku spontan."Sombong sekali! Kamu akan menyesal sudah meminta berpisah dariku, Dek! Lihat, bahkan aku lebih keren sekarang dengan menaiki mobil ini. Sebentar lagi, aku akan memilikinya," ucap Mas Joko percaya diri.Kamu kira saya akan mengurungkan niatku meninggalkanmu, Mas? Naik Mobil bukan miliknya saja bangga, lebih baik aku langsung beranjak saja.Aku tak menanggapi ucapan Mas Joko dan kembali menstarter motorku menuju tempat kerja. Mas Joko mengikuti laju motorku dan ia dengan cepat menyusulku. Byur!Air kubangan lobang di jalan raya menciprat pada badanku akibat dilewati mobil yang ditumpangi Mas Joko. Pasti Mas Ilham
"Vit, Ren, aku mau ngomong!" ucap Anggi serius."Dari tadi juga kan kamu ngomong," ucapku."Serius ih!" balas Anggi. Rendi tampak sudah mengganti ekspresi bercandanya dengan wajah yang serius."Kenapa?" tanya Rendi."Maaf jika aku membuat kalian shock dan bersedih jika sudah mendengar berita ini," ucapnya bikin aku penasaran."Udah buru, nggak usah minta maaf!" desakku "Maaf, aku harus resign dari sini. Suamiku tak mengizinkan aku bekerja lagi," ucapnya sedih.Aku menatap Anggi sedih dan Rendi hanya memandangnya biasa. Ya, laki-laki memang begitu, mana bisa mereka baper dan sedih di muka umum."Kenapa?" ucapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Aku hamil! Dan aku dilarang bekerja karena sekarang suamiku sudah naik jabatan, jadi keuangan kami sudah lebih baik," jawabnya menatapku pilu.Aku memeluk Anggi dengan air mata yang tak bisa dibendung. Selama ini, dia bahkan aku anggap keluarga ketika di kantor. Setelah kepergiannya, aku pasti sangat kehilangan sosok sahabat yang menemaniku
Hari ini jadwalku servis motor. Walau usang, aku usahakan merawatnya agar tak rusak. Bukan hanya motor, suami pun jika ia tak rusak berat aku akan merawatnya. "Nggak ikut liburan, Mbak Vita?" tanya Mang Oding, tukang servis motor langgananku."Liburan kemana, Bang?" tanyaku sambil makan kuaci bersama Azka."Lho, nggak di ajak toh? Mertua kamu sama keluarga Yati pada pergi ke Monas loh. Yang saya dengar, di ajak sama janda kaya yang baru pulang dari luar negeri itu," ucap Mang Oding."Oh, saya nggak tahu! Biarin aja, Mang! Mereka kan belum pernah piknik, kalau saya mah, udah kenyang dari ABG!" dustaku. Sebenarnya perasaan ini juga penasaran, tapi aku malas menanyakannya. Nanti, jadi meluber kemana-mana."Tapi kan jahat banget, masa anak istri nggak di ajak. Kalau aku sih, pasti kalau kemana-mana pergi selalu ajak anak istri. Mereka itu kebahagiaan hidup saya, nggak lengkap rasanya pergi sendiri tanpa membawa keluarga.""Laik lubuk lain ikannya, lain orang lain pikirannya. Mang Oding m
Motor kulajukan menuju rumah Bang Radi, aku sengaja ke sana untuk sekalian menginap, karena mungkin butuh lama nanti kami bermusyawarah dan pasti akan kemalaman jika akan pulang ke rumah."Assalamualaikum," salamku ketika baru sampai di rumah Bang Radi. Kuputar gagang pintu dan menahan Dina dan Bang Radi yang sedang sibuk belajar. Ku ulangi salam yang tadi belum mereka dengar, dan mwreka menengokku serempak."Bude!" teriak Azka berlari ke arah Mbak Nuri yang sedang membawa cangkir berisi kopi."Eh, ponakan Bude yang comel datang! Kemana nih hari minggu ini, nggak ada yang inget Bude! Pasti jalan-jalan!" Mbak Nuri meletakkan kopi di depan Bang Radi dan menggendong Azka. "Lihat Nih, Bude! Aka punya lobot balu, Tante nggak oleh pinjem! Wee," ucap Azka menjulurkan lidahnya kepada Dina yang telah selesai belajar."Mana sini Tante pinjam." Dina menjahili Azka dengan mengambil robot yang tadi ia pamerkan, dan akhirnya tangis Azka mengisi rumah ini."Din!" ucap Mbak Nuri menghentikan kejahil
Kusiapkan langkah pagi ini, mengambil keputusan penting dalam hidupku. Berpisah dengan Mas Joko, sudah kumantapkan dalam hati. Bukan aku tak takut bergelar janda, aku lebih takut terkena dosa yang diakibatkan suamiku sendiri. Jika ia berusaha untuk meminta maaf dengan gigih, past hatiku akan luluh. Namun, ia bahkan tak menganggap aku dan Azka lagi."Sudah siap, Dek?" ucap Bang Radi mengagetkan lamunanku."E_eh, sudah! Ayo, Bang!" Aku melangkah keluar kamar, dan mencari keberadaan Azka. "Mam, Mamam mau kemana? Aka ikut ya?" rengeknya padaku."Azka kan biasa Mamam tinggal kalau lagi kerja. Kenapa sekarang minta ikut?" tanyaku yang tak tega melihat Azka menangisi kepergianku."Aka mau pelgi cama Mamam. Aka ikut ya!" Aku memandang Bang Radi, ia mengangguk dan aku menggendong Azka."Kalau Azka mau ikut Mamam, Azka jarus janji. Nggak boleh nakal kalau di sana!" ujarku."Janji, Mam!" sahut Azka memelukku erat. Sungguh hal yang berat, mengajak Azka ikut ke pengadilan dan harus membuat ia iku