Share

kecemplung empang

"Nih, Dek!" Mas Joko memberiku uang lima lembar berwarna merah padaku membuat aku mendongak tak percaya.

"Dapat dari mana, Mas?" tanyaku penasaran. Wajar dong aku penasaran dari mana asal uang itu, secara Mas Joko selama ini tak bekerja. Di kasih kerjaan di balai desa, di tolaknya. Katanya nggak mau kepanasan, nyatanya pekerjaan rendahan pun tak ia terima. Nasib punya suami malesnya nggak ketulungan.

"Jual ponselku! Aku tak begitu membutuhkannya, pakai dulu untuk kita makan sampai kamu gajian. Mas harap cukup!" Aku melongo mendengar jawabannya. Ponsel adalah salah satu media komunikasiku dengan dia saat aku meninggalkan Azka di rumah bersamanya saat bekerja. Bagaimana mungkin ia menjualnya? Bahkan ponsel itupun aku yang beli sebagai hadiah pernikahan satu tahunku waktu itu.

"Kamu nggak bilang, Mas? Seharusnya kamu tanya dulu sama aku. Itu ponsel sangat penting untuk kita berkomunikasi jika aku sedang di luar. Bagaimana nanti aku tahu kabar Azka jika aku bekerja?" sergahku.

"Beli lagi nanti lah, gampang! Kamu kan gajian tiap minggu. Itu masih bisa ditabung buat makan dan beli hape baru buatku,"  Jawabnya santai. 

Aku menatap suamiku tajam, dengan gampangnya ia bilang beli ponsel baru. Aku yang bekerja dia yang menghitung gajinya.

"Ma, Aka lapel," ucap Azka memegang perutnya. Aku tersenyum padanya dan beranjak dari tempatku duduk. Aku ambilkan sayur bayam yang aku sengaja petik di pekarangan rumah karena geratis dan juga banyak tumbuh subur tanpa harus membelinya.

Beruntung aku kemarin di kasih jatah beras sama Pak Presiden sebagai bantuan sosial covid katanya. Rejeki anak sholeh, batinku. 

"Ayo, Azka, kita makan di depan. Di sini empet liat Papap kami yang menyebalkan ini." Aku menggiring Azka untuk makan di halaman rumah sambil melihat lalu lalang orang yang lewat di depan rumahku. 

Celoteh Azka yang sedang menceritakan film kartun kesukaannya membuat aku semakin gemas dibuatnya. Mas Joko mendekatiku sambil mengelus perutnya yang agak membuncit karena terlalu lama menganggur.

"Dek, Mas juga lapar. Ambilkan makan sana!" Aku kembali naik darah mendengar perintah Mas Joko. 

"Makan tinggal ambil di belakang, nggak harus masak apalagi bayar. Masih mau di layani? Mas, aku ini sudah capek kerja harus juga melakukan hal-hal sepele yang kamu sendiri bisa melakukannya. Jika kamu yang bekerja, mungkin aku akan melayanimu dengan sepenuhnya!" Kukeluarkan emosiku langsung di depannya agar ia mendengar ucapanku dengan jelas.

Aku tak ingin memendam unek-unek yang merajalela selama ini. Aku tak ingin menjadikan penyakit kronis jika terlalu menahan emosi jiwa.

"Iya, ni Papap. Akan endili udah gede. Aka kan acih ecil, adi di uapin Mama, ya kan, Ma?" timpal Azka. Dia memang anak yang cerdas, tahu saja jika ibunya sedang marah sama papapnya karena tingkahnya seperti anak kecil itu.

Mas Joko hanya nyengir saat anaknya mengomentari sikapnya yang tak bisa makan sendiri. Maklum anak kecil, bicara masih jujur dan polos, tapi omongan Azka ada betulnya. Biar mikir tuh Mas Joko.

Azka menghabiskan satu piring sayur makanannya dengan lahap, ia memang bukan anak yang susah makan. Apa saja yang aku masak, pasti ia akan memakannya.

"Ma, anti bobo di lumah Bude, ya?" pinta Azka padaku.

"Kenapa? Ada janji ya sama Kak Dina?" tanyaku heran. Karena biasanya Azka akan meminta menginap jika ia sudah di janjikan sesuatu oleh Dina atau Mbak Nuri.

"Bude Mau ajak Aka ke Alun-alun. Mau naik owes-owes!" celotehnya memainkan tangannya seperti mengayuh sepeda.

"Oke, nanti Mam antar ke sana. Tapi janji, nggak boleh nakal dan nggak boleh ngerepotin Bude ya!" ucapku.

"Ok, Mamam!" Azka mencium pipiku gemas dan memelukku dengan badannya yang kecil. Tawa Azka adalah kebahagiaan terbesarku, kehadirannya dalam hidupku adalah penguat hubunganku dengan Mas Joko. Jika tak ada Azka, aku pasti sudah menceraikannya dari dulu.

Mas Joko dulu tidaklah semalas ini. Namun, sejak pandemi ini ia jadi malas dan enggan untuk bekerja. Alasan tak ada lowonganlah, tak cocoklah, dan masih banyak lagi alasan yang sering ia katakan jika aku suruh bekerja.

Aku membawa Azka masuk rumah untuk mandi dan bersiap ke rumah Kak Radi. Mas Joko yang melihatku memakaikan baju rapi pada Azka mendekat dan menggendong Azka. 

"Anak Papap mau kemana ini? Ganteng banget?" ucap Mas Joko menciumi pipi Azka.

"Mau pelgi jalan jalan sama Bude. Ayah itut?" 

"Memang boleh?" tanya Mas Joko.

"Nggak au, tapi kayaknya nda oleh ama Pade, Papap cuka habisin uang Pade!" cicit Azka.

Aku tertawa mendengar sindiran Azka, Mas Joko sampai tercengang mendengar penuturan Azka yang menjatuhkan harga dirinya.

"Abangmu itu, Dek! Pasti dia ngajari Azka bicara yang tidak-tidak," sungutnya.

"Mana ada! Justru dia baik, selama ini mau membantu setiap kesusahan kita. Biasanya, saudara itu kalau kita kaya baru mendekat kalau miskin pada menjauh," ucapku menyindir iparku yang nggak ada akhlak itu.

"Ya nggak begitu juga, nanti bakal Mas buktikan jika Mas itu bisa tanpa bantuan Abangmu," sergahnya tak terima.

"Buktikan saja! Aku malah senang jika kau sudah berpikir untuk menafkahi kami. Selama ini justru aku menunggumu bicara seperti itu, tapi nyatanya omonganmu hanya bualan saja. Dikasih kerjaan saja nolak dan pilih-pilih," sentakku.

Mas Joko meninggalkan aku dan Azka yang sudah bersiap akan ke rumah Mbak Nuri. Mungkin Mas Joko akan pergi ke rumah ibunya untuk mengadukan sikapku. Biar saja, memang aku takut! Mau ibu memarahi aku pun aku tak masalah. Toh, selama ini aku yang bekerja. Berani memarahiku, siap-siap tak dapat jatah uang dariku.

Aku melajukan motor ke rumah Bang Radi. Sepanjang perjalanan Azka menyanyi girang. Mungkin anakku ini terlalu senang karena akan diajak piknik. Aku memang jarang sekali mengajaknya pergi keluar untuk sekedar membuang bosan dan mengusir suntuk anakku. Aku tak punya waktu untuk berlibur, jika bukan  tanggal libur nasional atau hari raya. 

Waktu cutiku sebulan dua kali kadang ku gunakan untuk bermain ke rumah Bang Radi atau menanam tanaman sayur di kebun belakang. Lumayan kan, biss menghemat biaya makan kami jika sayur kupetik dari hasil menanam sendiri.

"Bude!!" teriak anakku berlari ke arah Mbak Nuri. Anakku benar-benar menganggap Bude sebagai ibunya sendiri. Lihat saja, jika sudah bertemu Mbak Nuri, ibu sendiri dilupakan. Maklum, nasib ibu karir. Pasti harus mengorbankan perhatian anak untuk orang lain. Tak apalah, setidaknya dengan Mbak Nuri aku merasa aman. Karena dia orang yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dia juga sudah menganggap Azka sebagai anaknya sendiri.

Terkadang Dina sampai cemburu jika Mbak Nuri lebih sayang pada Azka dari pada dirinya yang anaknya sendiri. Aku sangat bersyukur Abangku mendapatkan istri sebaik Mbak Nuri, tidak seperti diriku.

Ibarat beli buah kedondong, manis di luar tapi berduri di dalam. Kalau sudah begini ingin rasanya kembali ke masa lalu saat masih gadis, banyak yang datang ingin melamarku. Tapi aku tolak dan lebih memilih Mas Joko karena dia bersikap sangat manis dan juga perhatian. Dia juga loyal terhadapku dan juga ibuku.

Mengingat ibu, aku jadi merindukannya. Sayangnya, ibu dipanggil Yang Maha Kuasa saat kami baru menikah satu bulan. Kondisi yang harusnya bahagia karena masih berstatus pengantin baru, harus di ganti dengan suasana berkabung yang teramat dalam. Ibu orang yang menguatkan aku selama ini dan mengajarkan aku agar tidak takut jika aku benar, dia selalu mendukung setiap langkahku asal aku tidak keluar jalur.

Kini hanya Kak Radi satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku dua bersaudara yang dibesarkan oleh ibu tanpa ayah. Ayah kami meninggalkan kami saat usiaku menginjak satu tahun. Itulah yang membuat Kak Radi begitu sangat dewasa dan juga bertanggung jawab. Ia sudah terbiasa menanggung kerasnya kehidupan sedari kecil.

"Vit, kamu nggak mau ikut kita jalan-jalan?" tanya Mbak Nuri mengagetkanku.

"Nggak, Mbak. Hari ini aku mau ikut lembur di pabrik, lumayan kan dapat tambahan uang belanja," ucapku.

"Jangan kerja terus, sekali-kali manjakan dirimu sendiri. Biar Joko mikir buat nafkahin kamu kalau tahu nggak ada uang. Mbak kasihan sama kamu, badan sudah tinggal tulang begitu, kalau Mbak jadi kamu sudah aku tinggal suami model amplas begitu," selorohnya.

Aku tertawa mendengar ucapan Mbak Nuri tentangku dan Mas Joko. Dia hanya berani mengatai suamiku jika di depanku. Jika ada Mas Joko dia hanya diam dan tak ingin ikut campur urusanku.

"Aku titip Azka ya, Mbak. Maaf kalau selalu merepotkanmu," ucapku.

"Tidak merepotkan, kok. Mba malah seneng kalau ada Azka, rumah jadi ramai dan nggak ngebosenin." 

Aku benar-benar bersyukur, Mbak Nuri dan Bang Radi tak membenciku karena sering menitipkan Azka di sini. Aku berdoa semoga aku bisa membalas kebaikan mereka suatu hari nanti.

Setelah aku mengantar Azka, aku kembali ke rumah untuk berganti pakaian. Aku sengaja ikut lembur hari ini agar aku bisa membeli kebutuhan rumah yang sudah mulai habis. Uang dari Mas Joko aku simpan di dalam dompet dan akan aku bawa bekerja. Aku tidak mau kecolongan lagi, jika nanti ibu ke sini dan meminta uang itu.

"Vit! Vita!" suara Ibu menggema dari luar rumah. Kenapa sore-sore begini ibu datang ke rumah? Aku memilih keluar dan menemui beliau.

"Kenapa, Bu?" tanyaku santai.

"Kamu ini keterlaluan, kamu sudah membuat Joko harus bekerja di empang Pak Ridwan. Lihat, sekarang dia kecebur masuk ke empang dan untungnya tadi ditolong warga. Sekarang dia sedang di klinik, cepat kamu ke sana!" teriak Ibu padaku. 

Aku terkejut mendengar ucapan mertuaku, berarti tadi Mas Joko benar-benar pergi untuk bekerja. Aku jadi merasa bersalah sudah memarahinya dan membandingkannya dengan kakakku. 

Tanpa basa basi, aku langsung mengunci rumahku dan bergegas pergi ke klinik. Aku tahu di tempatku hanya ada satu klinik. Sudah dipastikan, suamiku pasti di bawa ke klinik itu. Ku starter motorku dan hendak pergi ke sana.

"Heh, Vita! Kok Ibu di tinggal? Ibu ikut ke klinik!" makinya.

Aku sampai lupa jika ibu mertua masih di belakangku. Tadi dia nggak bilang mau ikut, jadi ya aku tinggal. Aku sudah terlanjur panik.

Ku tengok ke belakang dan ibu berjalan mendekatiku.

"Menantu, gen**ng! Mertua di tinggal sendiri di belakang, mau kualat kamu!" sentaknya.

"Kirain Ibu nggak mau ikut, ayo cepat! Takut Mas Joko sekarat!" ucapku.

"Hus! Mulutmu itu, nggak pernah di sekolahkan apa? Suami sendiri disumpahin mati!" Ibu memukul pundakku kesal dan aku melajukan motorku dengan cepat.

"Pelan-pelan, Vit! Ibu masih pengen hidup." Sepanjang perjalanan ibu mengomel padaku, ku biarkan saja tak ditanggapi. Aku sudah kepalang panik mengkhawatirkan kondisi Mas Joko. Bagaimanapun, dia masih menjadi suamiku. Walau kadang menyebalkan tapi jika terjadi sesuatu padanya, aku sangat tak tenang dan kepikiran kondisinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status