Share

baru tahu

Setelah puas mengungsi di rumah Bang Radi, aku memutuskan menyudahi masa ngambekku. Aku pulang dengan Azka dengan mengendarai motorku malam hari. Azka yang sudah mengantuk aku suruh duduk di depan agar tak oleng saat ia ingin memejamkan matanya. Kasihan Azka, ia sering jadi korban keegoisan orang tuanya ini.

Motor berhenti di depan rumahku yang sederhana ini, rumah yang aku dapatkan dari peninggalan jaman purba alias jaman nenek moyangku. Walaupun kusam seperti penghuninya, yang penting masih bisa untuk berteduh.

Ku lihat lampu rumah yang masih padam, pasti Mas Joko belum pulang kerumah setelah ku diamkan tadi di rumah Bang Radi. Ku gendong Azka dan kubuka pintu yang tak digembok ini. Berat badan Azka yang bertambah setiap bulannya membuat aku cepat lelah jika terlalu lama menggendongnya. Aku menidurkan Azka di ranjangnya dan menyelimutinya dengan bed cover yang aku dapatkan dari hadiah pernikahanku dulu.

Aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, suara pintu terbuka terdengar dari arah depan. Sepertinya itu Mas Joko, yang sudah tahu jika aku sudah pulang.

Aku segera merampungkan ritual mandiku dan bergegas keluar untuk memastikan siapa yang datang. Benar dugaanku, Mas Joko pulang dengan membawa kantong kresek hitam yang entah apa isinya.

Aku berlalu di depannya dan masuk ke kamar untuk memakai baju tanpa menyapanya.

"Dek, ini Mas bawa ikan gabus kesukaanmu. Tadi Mas dapat dari mancing," ucapnya. Sepertinya ia sudah melupakan masalah rokoknya tadi siang yang gagal aku belikan.

"Mas masak sendiri saja, aku sudah kenyang tadi makan di rumah Bang Radi," desisku.

"Simpan saja buat besok, Mas juga sudah makan di rumah ibu." Mas Joko berlalu meninggalkanku dan meletakkan kantong kresek yang ia bawa tadi di lantai. Tampak raut wajah kecewanya akan sikapku kali ini, membuatku sedikit tak tega melihatnya.

Kuambil kresek hitam itu dan ku lihat isi di dalamnya. Ada banyak ikan gabus beraneka ukuran dan aku membawanya ke belakang untuk aku cuci. Aku akan memasaknya saja karena aku tak ada kulkas untuk menyimpannya.

Saat sedang membersihkan ikan, kulihat Mas Joko yang sedang mengipasi badannya dengan topi kebanggannya. Topi berlogo tim pesepakbola dunia yang ia pakai dari jaman aku pacaran dengannya. Topi yang merupakan hadiah pemberianku waktu itu untuknya.

Suamiku tampak sedang berpikir, namun aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku berharap ia sedang memikirkan pekerjaan yang akan ia kerjakan besok untuk mendapatkan uang. Karena aku memang tak ada pegangan uang banyak. Hanya sisa selembar uang berwarna biru yang aku selipkan di ujung dompet kecilku buat jaga-jaga jika suatu saat aku atau Azka sakit.

Suara pintu terbuka dengan keras membuatku dan Mas Joko menoleh pada sumber suara. Ternyata Mas Ilham datang dengan wajah sangarnya.

"Mana, Jok? Ikannya sudah dimasak belum?" Mas Joko menoleh ke arahku dan aku meninggalkan ikan yang tadinya akan aku goreng. Niat hati kasihan karena suami sudah ada niatan baik mencari lauk buat makan kita sekeluarga, sekarang aku jadi malas mengolahnya. Kubiarkan ikan itu tergeletak di sana dan mendekati Mas Ilham.

" Oh, itu ikan mas Ilham ternyata? Kalau begitu, suruh istrimu yang masak! Aku sedang nggak ada minyak, tuh ikan sudah aku bersihkan, Mas Ilham bawa saja! Kami sudah makan tadi." Mas Joko menatapku pilu, aku berpikir mungkin ia berbohong jika sudah makan tadi. Tapi aku tak ingin, ikan itu jadi alasan Mas ilham dan ibu untuk makan gratis di sini.

Aku tahu akal bulusnya, ia sengaja memberikan ikan ini untukku masak, dan pasti nanti kakak ipar dan istrinya serta ibu mertua akan datang dan menghabiskan persediaan nasi dan juga lauk yang aku masak dengan susah payah. Mereka akan menghabiskan jatah makanku untuk sehari dalam sekejap, sehingga berakhir aku yang harus menahan lapar sampai pagi tiba.

Mas Ilham menatapku sinis dan berlalu ke belakang menyambar ikan gabus yang tadi aku bersihkan. Untung belum aku masak, jika sudah aku bisa rugi bandar karenanya.

"Bilang saja kalau kamu nggak mau kita ikut makan di sini, pake alasan nggak ada minyak segala. Kamu memang adik ipar nggak tahu diri, sudah di beri saja, tinggal masak masih ogah. Pantas hidupmu begini saja, pelitmu kebangetan!" 

Hatiku bagai berkecamuk ingin mengobrak abrik mulutnya yang pedas itu. Ku majukan badanku dan ku tantang dia di depan Mas Joko. Mas Joko hanya ikut berdiri dan ingin menghalangiku agar tak memancing keributan dengan Mas Ilham, kakak kandungnya.

"Kamu bilang saya pelit?! Kamu dengar Mas ilham yang terhormat, saya itu tinggal di sini tidak geratis! Tiap hari, Ibu dan Istrimu merongrong uang belanjaku dan baru tadi pagi, baru banget! Ibu meminta semua jatah belanjaku selama seminggu. 

Mas masih bilang aku ini pelit? Memangnya selama ini Mas kasih apa buat ibu? Gaya sok kaya, tapi uang saja tidak ada. Pake acara nyuruh ibu jual rumahnya, kaca di pake! Jangan hanya ngomong tapi tak lihat bagaimana dirimu sebenarnya!" 

Aku benar-benar marah, baru kali ini aku merasa di injak-injak harga dirinya oleh orang di depanku yang berstatus iparku ini. 

"Sudah, Dek, Malu didengar tetangga!" tutur suamiku berusaha menenangkan keadaan yang kian memanas ini. Ku lihat Mas Ilham mengepalkan tangannya, aku tahu di sangat marah dan ingin memukulku jika aku ini bukan seorang wanita.

"Kamu ajari istrimu sopan santun pada yang lebih tua, Jok! Agar mulutnya ini tak asal bicara." Mas Ilham keluar rumah dengan membanting pintu rumahku ini dengan keras sampai Azka yang tertidur pun kaget dibuatnya. Beruntung pintu rumah ini terbuat dari jati asli, jadi tak langsung rusak karena bantingan keras Mas Ilham.

"Mami … hiks..hiks!" Azka anakku terlalu kaget hingga ia menangis begitu keras. Mas Joko menghampiri Azka dan menggendong dan mencoba untuk menenangkannya.

Aku yang masih mencoba meredamkan amarahku memilih duduk di kursi tua peninggalan Nenek yang telah usang di ruang tamu.

Aku pegangi kepalaku yang mendadak migrain dan juga dadaku yang terasa kehilangan oksigennya.

Mas Joko membawa Azka duduk di pangkuannya dan menghadapkan dirinya padaku. Menatapku dengan tatapan ibanya. Sayang, tatapan itu tak berlaku untukku sekarang.

"Mami, ndong!" Rengek anakku memintaku untuk menggendongnya. Aku mengulurkan tanganku dan membawa Azka ke dalam pelukanku.

"Dek, maafin Mas, ya! Sudah membuat kamu harus dalam posisi begini! Tadinya Mas kira Mas Ilham memberikan ikan gabus itu cuma-cuma untuk kita makan. Ternyata ia datang ke sini untuk memintanya kembali," tukas Mas Joko sendu.

Aku menarik nafas dalam, membuang emosiku untuk menjawab ucapan suamiku. Aku tak ingin memperkeruh suasana dan menambah masalahku dengan Mas Joko.

"Sekarang Mas tahu, bagaimana watak kakakmu itu. Dia hanya mau baik jika ada maunya, begitu pula dengan ibu. Aku tak keberatan jika harus membantumu mencari uang untuk kita makan, tapi coba Mas, hargai aku sedikit saja. Aku ini sudah lelah fisik ditambah lelah pikiran. Rasanya aku ingin menyudahi saja semua ini," ucapku lemas.

"Astaghfirullah, Dek! Nyebut! Nggak baik ngomong begitu, kamu lihat Azka. Dia akan menderita jika kamu benar-benar menyerah terhadap ujian yang Allah berikan pada rumah tangga kita. Mas minta maaf padamu sekali lagi, tolong jangan marah sama keluarga Mas. Mereka pasti hanya bercanda," sanggahnya.

Bercanda? Bercanda macam apa seperti itu? Pergi dengan menutup pintu sangat keras dan meminta kembali apa yang sudah diberikan. Suamiku masih bilang bercanda? Terbiasa diperlakukan begitu jika marah, membuat ia menganggap hal semacam itu sebagai lelucon. Aku beranjak ke kamar membawa Azka yang kembali terlelap di pangkuanku tadi.

Ku tidurkan di tengah agar aku bisa tidur tanpa berdekatan dengan Mas Joko. Mas Joko mengikutiku ke kamar dan membaringkan tubuhnya di sampingku.

"Mas, sempit! Kamu tidur di sebelah Azka, sana!" Mas Joko tak menggubris omonganku dan malah memelukku dari belakang. Alhasil, 

Gubrakk!!

Badannya terpental ke bawah ranjang dan Mas Joko meringis menahan sakit karena pantatnya yang mengenai lantai.

Aku melihatnya memegangi pinggangnya, hanya terkikik geli. Siapa suruh ngeyel tidur di dekatku. Sudah tahu ranjang sempit, masih memaksakan  mendekatiku. Karma, Mas, karma! Aku mengumpat kecil dalam hatiku, biarkan saja aku tak menolongnya berdiri! Sekali-kali biarkan suamiku tahu diri!

"Sakit, Bang? Rasain! Makannya jadi orang itu, dengerin apa kata istri! Sudah tahu ranjang sempit, masih paksain buat tidur di sini. Sekarang, enak, pinggangnya setelah merasakan kerasnya lantai? Sakit mana sama bercandaan kakakmu tadi?" sindirku.

Mas Joko berdiri dan berjalan berjongkok-jongkok sambil memegangi pinggangnya. 

"Kamu ini, Dek! Suami jatuh bukannya ditolongin malah di ketawain," umpatnya.

Mas Joko membaringkan badannya di sisi Kiri Azka dan mengurut pinggang dengan tangannya.

Aku merasa tak tega, dan beranjak ke lemari mengambilkan balsam untuknya.

"Buka!" ucapku menarik baju Mas Joko.

"Pinggangku lagi sakit, Dek! Masa suruh buka-bukaan sekarang!" decitnya.

"Kalau mikir itu jangan mesum terus, mau aku tambahkan sakitnya?" Aku pukul pantatnya dengan telapak tanganku lirih agar ia tak menggodaku lagi.

Inilah suamiku, terkadang ia sangat menyebalkan karena terlalu mementingkan keluarganya. Terkadang ia sangat romantis dan mampu membuat hatiku yang meradang karena masalah yang terjadi kembali seperti sedia kala.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status