"Mas, uang yang kemarin aku taruh di bawah tumpukan baju, dimana? Mas lihat atau mungkin Mas yang ambil?" Kulihat wajah mas joko yang tampak datar dan sudah kupastikan, pasti suamiku telah yang mengambilnya.
"Maaf, Dek. Mas ambil tadi buat di kasihkan ke ibu." Sudah kuduga, selalu saja mas Joko melakukan itu ketika aku sedang pergi bekerja."Ibu? Dia minta buat apa lagi? Kemarin saja habis minta buat bayarin listrik, sekarang uang jatah makan kita seminggu di ambil semua. Lalu, bagaimana kita bisa makan buat besok?" cerocosku. Aku geram dengan sikap mas Joko yang terlihat biasa saja dan merasa tak berdosa sama sekali setelah ketahuan mengambil uang simpananku."Biarlah, Dek. Besok Mas coba cari kerja di luar, siapa tahu ada yang butuh tenaga Mas," sanggahnya."Begini ini, selalu saja alasannya sama! Memang besok Mas cari kerja sudah pasti dapat uang? Kita itu butuh makan setiap hari, belum jajan Azka, belum kebutuhan lain. Coba kamu bilang sama kakak kamu yang sok kaya itu, suruh dia kasih uang ke ibu. Jangan malah nyuruh ibu buat jual rumahnya," sungutku."Jadi anak nggak boleh durhaka, Dek. Kamu mau masuk neraka gara-gara Mas pelit sama ibu?" imbuhnya tak mau kalah.Terus saja dia membela ibunya. Lama-lama aku bosan selalu saja mengalah mengenai kebutuhan ibu. Semua biaya hidup makan dan lain-lain aku yang tanggung. Pekerjaan mas Joko yang serabutan itu, tak tentu menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan kami bertiga. Walaupun aku sudah tinggal di rumah yang terpisah dari ibu mertua, tapi aku merasa masih seperti tinggal bersama. Bagaimana tidak, setiap hari ibu ke rumahku meminta jatah makan, dan juga uang untuk beli sesuatu yang dia inginkan.Aku Vita, wanita yang dinikahi Joko enam tahun yang lalu. Kehidupan yang sangat serba kekurangan membuatku harus berpikir keras menyambung hidup dengan ikut mencari nafkah untuk kami makan sehari-hari.Joko suamiku yang menyandang status tulang punggung, kini harus beralih padaku yang harus terbenani karenanya. Tak ada sedikitpun rasa kasihan Mas Joko melihatku yang lelah banting tulang siang dan malam, demi sesuap nasi untuk kita semua makan."Dek, ada uang buat beli rokok? Mulut Mas pahit kalau kelamaan nggak ngisap rokok, bisa pusing nanti kepala Mas!""Mau rokok? Tuh, ambil daun pisang kering terus di gulung. Bakar! Sama saja kan? Jadi asap?" bentakku."Sudahlah, belikan sana di warung. Nanti pasti Mas ganti kalau sudah kerja!" protesnya.Ya Tuhan, suamiku ini benar-benar tak tahu malu. Sudah ambil simpananku buat makan seminggu, kini ia minta untuk beli rokok! Uang dari mana coba? Aku benar-benar tak bisa bersabar kali ini. Ku ambil kunci motor dan bergegas membawa Azka keluar dari rumah.Aku sengaja menenangkan diriku yang sedang dibakar emosi, aku pacu laju motorku ke tempat kakakku tinggal. Tak jauh dari rumahku. Hanya berbeda RT saja. Aku sengaja keluar agar dikira pergi ke warung membelikannya rokok, aku akan pulang nanti saja jika sudah tenang jiwa dan raga. Malas melihat suami yang tak bisa bikin istri bahagia, dia selalu begitu setiap ibunya datang meminta uang.Jika yang diberikan itu uangnya, tidak masalah bagiku. Lah ini, sudah kerja saja tidak, sok sokan mau jadi anak berbakti. Sekali dua kali wajar, ini hampir setiap aku habis gajian selalu saja uang berhasil mertuaku kantongi. Sepertinya ibu sudah tahu saja jadwal tanggal aku menerima uang gajian.Sempat aku simpan di bank yang aku punya, tetapi tetap saja, ibu maupun mas Joko memaksaku untuk mengambilnya dengan dalih meminjam. Akhirnya, nasib uangku bak cerita cerbung di aplikasi biru. Di ghosting alias hilang tanpa kabar. Sepertinya aku harus memikirkan cara lain, agar mereka tak tahu di mana uangku di simpan.Tok! Tok! Tok!Aku ketuk pintu rumah Bang Radi, berharap ia sedang berada di rumah.Srrtt!Pintu terbuka, seorang lelaki menguap keluar dari persembunyiannya menatapku dengan malas."Vita, Azka? Bertengkar lagi sama Joko?" Aku hanya merenges kecil pada kakakku ini. Ia seperti sudah tahu kebiasaanku yang suka tiba-tiba datang jika sedang dalam kondisi bertengkar dengan suamiku, Joko."Boleh masuk, Bang?" decitku."Masuklah, tapi Mbakmu sedang tak di rumah. Dia lagi ke kampung sebelah," jawabnya sambil kembali merebahkan badannya di sofa kamar tamu."Dina ikut?" tanyaku yang tak melihat keponakan cantikku di rumah ini."Ikutlah, di sana lagi ada lomba kecantikan. Kenapa? Kamu mau menyusul?" tanyanya melihat aku yang tampak tak nyaman tanpa adanya kakak ipar dan keponakanku itu. Aku lebih suka curhat dengan kakak iparku karena dia bisa memberikan solusi, bukan hanya mengejekku seperti Kak Raditya. Aku merasa Kak Nuri seperti sahabat bagiku, karena ia yang lebih tahu seluk beluk kehidupan rumah tanggaku sampai detik ini.Mbak Nuri adalah istri dari kakakku, Raditya. Dan Dina adalah keponakanku satu-satunya, anak dari Mbak Nuri dan Bang Radi yang sekarang sudah beranjak dewasa."Hadiahnya apa, Bang?" pungkasku."Seperangkat alat sholat, dibayar, TUNAI!!" jawab Bang Radi asal. Aku melempar sendok di depanku ke arah badannya. Kak Radi hanya tertawa karena melihatku yang tampak kesal dibuatnya.Drt! Drt!Ponselku berdering, pasti ini dari Mas Joko. Kubiarkan saja dia menungguku pulang, siapa suruh membuat aku marah hari ini. Bukan hanya perkara uang yang hilang, tapi sikapnya yang kurang menghargaiku, yang membuatku tak suka. Benar kata emak-emak pecinta cerbung, suami model begitu lebih baik di tukar tambah saja dengan yang baru. Bekas pun kalau bagus, juga nggak papa.Eits … ngomong apa aku ini, maafkan Baim ya, Allah … heheheSerasa kualat juga jika terlalu membenci suami dan mengumbarnya di mana-mana.Aku melangkah ke dapur rumah Abangku ini, aku ingin membuat es lemon yang sering aku buat saat masih gadis. Setelah menikah, jangankan es lemon, yang sering aku dapatkan adalah es mosi. Es mosi tingkat dewa jika sedang dirundung sial begini. Ibarat aku yang mencari, aku juga yang menafkahi.Aku buka kulkas yang bertingkat dua ini. Alamak! Ini kulkas atau supermarket, isinya penuh sekali, aku jadi ngiler di buatnya. Andai saja suamiku seperti Abangku, yang sangat pandai mengelola keuangan, juga pandai memanjakan istri. Pasti aku tak perlu susah payah bekerja keras untuk kami makan.Aku sruput es lemon yang aku buat, dan dengan nikmat ku teguk sampai kandas tak bersisa. Azka yang melihatku menghabiskan es lemon sampai merengut karena ku habiskan."Azka, to nda di beli Mi. Abisin emua," ucapnya dengan cedal. Maklum saja, anakku masih balita jadi bicaranya belum terlalu jelas. Sudah ku ajarkan betul-betul cara bicara yang benar, tapi ya gitu, huruf R jadi l. Aku tersenyum dan kembali membuatkannya untuk Azka."Dek, ada Joko itu di luar!" tegur Mas Radi padaku. Ku biarkan saja tak beranjak dari tempatku membuat kakakku menggelengkan kepalanya."Kalau ada apa-apa selesaikan dengan kepala dingin, jangan malah cari minuman dingin. Gih! Temui dulu, nggak baik membuat suami menunggu, nggak enak juga di lihat tetangga," ujar Kak Radi padaku. Dengan malas aku berdiri dari tempatku meninggalkan Azka yang sedang meminum es lemon di depan tv ditemani Kak Radi."Kenapa, Mas?" sungutku sambil melipat kedua tangan di depan suamiku. Biar saja dia tahu, aku ini sedang marah padanya."Dek, kamu Mas tunggu di rumah dikira lagi beli rokok, malah lagi main kesini. Ayo, pulang!" ajaknya."Mas pikir saya mau membelikan Mas rokok? Beli saja sendiri, pakai uang sendiri!" ucapku lantang dan berlalu meninggalkannya masuk ke dalam.Mas Joko mengikutiku masuk ke rumah kakakku, dan melihat Azka yang sedang minum es lemon sambil memakan cemilan di meja. Seperti tak habis ada hal yang terjadi, ia masuk dan duduk di depan Azka. Benar-benar suami bebal, gumamku."Azka, makan apa itu? Papap nggak di kasih?"Ec emon, Apap au?" tawar Azka menyodorkan sedotan yang ada di dalam gelasnya."Mau dong! Masa nggak? Buat Papap semua, yah?" Dasar Mas Joko ini, sama anak kecil masih saja rakus."Angan dong! Anti Aka ke abisan kaya Mami tadi abicin unya Aka!" Mas Joko nyengir kuda di depan anaknya."Pulang, yuk, Ka! Papap lapar!" ajak suamiku. Aku hanya melirik sekilas dan pura-pura sibuk menonton tv.Azka menggelengkan kepalanya pertanda ia betah tinggal di sini. Anakku yang satu ini, tahu saja jika Maminya sedang merajuk. Biarlah, sekali-kali suamiku ini ku biarkan menahan lapar, gumamku dalam hati."Dek, Ayo, pulang! Mas lapar ini!" rengeknya padaku. Aku tetap melengos dan tak menatap dirinya. Bisa ambyar nanti mode ngambekku."Dek!"Mas joko yang merasa kecewa karena tak ku tanggapi akhirnya memilih pergi pulang. Pulang atau ke rumah Ibu, entahlah. Masa bodo dengan suami model begitu, makan hati kalau keseringan diladeni.Mas Radi yang melihat mode on ku pada Mas Joko hanya diam tak ikut campur, ia tak mau memancing keributan tanpa tahu penyebabnya. Bang Radi akan bertindak jika aku sudah meminta bantuannya atau Mas Joko sudah terlampau batas."Nggak kamu susul suamimu, Dek?" cibirnya."Ogah! Dia suka gitu kelakuannya, seenaknya sendiri! Enak di dia nggak enak di Vita dong, kalau selalu mengalah," timpalku.Mas Radi manggut-manggut pertanda paham, atau mungkin pura-pura paham. Emang dasarnya dia lemot, harus di maklumi saja. Tapi dalam hal mencari nafkah, dia sangat bertanggung jawab. Buktinya, sekarang ia menjabat sebagai TU di balai desa. Tamatan hanya SMA, tapi semangatnya luar biasa.Seharusnya Mas Joko meniru semangatnya, agar hidup kami tak jalan di tempat begini. Aku juga lelah begini terus, aku ingin Mas Joko punya pekerjaan tetap agar aku tak bingung jika kebutuhan mendadak datang."Bang, carikan pekerjaan buat Mas Joko dong! Biar dia ada kegiatan," pintaku pada kakakku. Dia membalikkan badannya menatapku tak percaya."Kerja? Jadi tukang bersih-bersih di balai desa mau? Kebetulan di sana lagi butuh tukang beberes. Sekarang lagi musim BanSos, jadi sering banyak orang datang ke balai desa. Kalau mau, besok datang saja ke sini. Biar berangkat bareng Abang ke sana," pungkasnya."Harus mau, biar nanti Vita desak Mas Joko agar mau bekerja. Di musim pandemi begini, susah cari pekerjaan. Pilih-pilih kayak yang bisa aja kerja bagus, Vika apa saja pekerjaannya yang penting halal dan menghasilkan uang," selorohku."Iya lah, laki-laki yang dipegang tanggung jawabnya, bukan rayuan gombalnya." Aku tersenyum mendengar kata-kata Abangku, kami memang bukan orang kaya tapi kami harus punya semangat yang lebih tinggi agar tidak dipandang sebelah mata.Setelah puas mengungsi di rumah Bang Radi, aku memutuskan menyudahi masa ngambekku. Aku pulang dengan Azka dengan mengendarai motorku malam hari. Azka yang sudah mengantuk aku suruh duduk di depan agar tak oleng saat ia ingin memejamkan matanya. Kasihan Azka, ia sering jadi korban keegoisan orang tuanya ini.Motor berhenti di depan rumahku yang sederhana ini, rumah yang aku dapatkan dari peninggalan jaman purba alias jaman nenek moyangku. Walaupun kusam seperti penghuninya, yang penting masih bisa untuk berteduh.Ku lihat lampu rumah yang masih padam, pasti Mas Joko belum pulang kerumah setelah ku diamkan tadi di rumah Bang Radi. Ku gendong Azka dan kubuka pintu yang tak digembok ini. Berat badan Azka yang bertambah setiap bulannya membuat aku cepat lelah jika terlalu lama menggendongnya. Aku menidurkan Azka di ranjangnya dan menyelimutinya dengan bed cover yang aku dapatkan dari hadiah pernikahanku dulu.Aku berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, suara pintu terbuka terd
"Mas, kemarin aku minta sama Bang Radi suruh carikan kerja buatmu, katanya ada noh, di sana! Berangkat bersama Mas Radi ya, pagi ini! Biar aku siapkan bekalnya untuk makan siang Mas." Aku sengaja tak memberi tahu Mas Joko tentang pekerjaan apa yang akan ia dapatkan di sana, karena pasti ia akan mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya."Pekerjaan apa, Dek? Kalau panas-panasan, Mas nggak mau! Suka pusing kalau kerja terkena cahaya matahari," ungkapnya."Mas udah khitan apa belum?" sindirku. Ada-ada aja Mas Joko ini, lelaki kok kerja nya nggak mau panasan. Bagaimana mau dapat pekerjaan, di tawarkan saja masih pilih-pilih yang cocok dan pas sesuai dengan keinginanya. Sampai lebaran kucing pun kalau begini mana ada pekerjaan yang cocok buatnya. Mengingat dirinya hanya tamatan SMA seperti Abangku."Kok, Khitan? Apa hubungannya khitan sama pekerjaan Mas?" keluhnya."Laki-laki itu di mana-mana kerjaannya ya gitu, kalau nggak kepanasan ya kehujanan. Kalau nggak mau kepanasan, berarti Mas ba
"Nih, Dek!" Mas Joko memberiku uang lima lembar berwarna merah padaku membuat aku mendongak tak percaya."Dapat dari mana, Mas?" tanyaku penasaran. Wajar dong aku penasaran dari mana asal uang itu, secara Mas Joko selama ini tak bekerja. Di kasih kerjaan di balai desa, di tolaknya. Katanya nggak mau kepanasan, nyatanya pekerjaan rendahan pun tak ia terima. Nasib punya suami malesnya nggak ketulungan."Jual ponselku! Aku tak begitu membutuhkannya, pakai dulu untuk kita makan sampai kamu gajian. Mas harap cukup!" Aku melongo mendengar jawabannya. Ponsel adalah salah satu media komunikasiku dengan dia saat aku meninggalkan Azka di rumah bersamanya saat bekerja. Bagaimana mungkin ia menjualnya? Bahkan ponsel itupun aku yang beli sebagai hadiah pernikahan satu tahunku waktu itu."Kamu nggak bilang, Mas? Seharusnya kamu tanya dulu sama aku. Itu ponsel sangat penting untuk kita berkomunikasi jika aku sedang di luar. Bagaimana nanti aku tahu kabar Azka jika aku bekerja?" sergahku."Beli lagi
"Joko!" teriak ibu histeris melihat anaknya yang terbaring di klinik. Biasa aja bu, nggak usah lebay gitu. Aku aja yang istrinya biasa saja, walau sedikit panik tapi tak langsung lari seperti drama-drama di tv. Ku lihat mas Joko tersenyum melihat kedatanganku."Kamu nggak papa, Ko? Ibu kan sudah bilang, kamu itu nggak cocok kerja rendahan?" papar ibu.Aduh, pantas saja anaknya malas bekerja. Ibunya aja begitu modelnya. Aku hanya melirik pada Mas Joko yang menatapku sedih. Maaf Mas, nggak berlaku bagiku tatapan memelas mu itu. Aku jadi nggak bisa ikut lembur kalau begini kan. Apes bener dah."Vit, Joko sepertinya lapar. Kamu beli makanan sana! Kasihan dia pasti butuh asupan biar cepet sembuh," ucap ibu."Baiklah, sini uangnya!" jawabku menyodorkan tanganku pada ibu."Kamu kok begitu, Vit! Sama suami sendiri perhitungan, jangan pelit-pelit jadi istri. Kamu mau kuburannya sempit?" sentak ibu."Sudah khatam, Bu, dengan kuburan yang sempit. Lain lagi napa? Misal doain ya, gini! Jangan peli
Ada apa dengan suamiku ini? Masih sakit saja dia masih memikirkan ibunya."Mas niat nggak sih mau kasih uang itu sama aku? Jika Mas ikhlas, semuanya nggak akan seperti ini. Uang yang Mas kasih sama aku tadi pagi, habis sudah!Kalau Mas mau membayarnya sendiri silahkan, tapi kalau tidak baik kita pulang hari ini. Terlalu lama tinggal di klinik, bisa-bisa motorku lenyap untuk membayar semua biaya pengobatanmu," ucapku. Bukan aku pelit pada Mas Joko, tapi dia teramat keenakan jika aku biarkan seperti ini. Aku juga sudah menemui dokter tadi jika keadaan Mas Joko baik-baik saja dan boleh pulang hari ini."Bu, Mau pulang diantar Vita atau mau pulang naik angkot?" tanyaku pada Ibu."Siapa yang mau pulang? Ibu masih mau menemani Joko di sini!" ucap Ibu. Sebenarnya tak baik jika aku mengerjai ibu, akhirnya aku memutuskan berterus terang saja."Bu, Mas Joko akan pulang nanti sore. Kalau Ibu ngeyel di sini, ya silahkan! Tapi kalau Ibu mau pulang, Vita berbaik hati mengantarkan Ibu!" ucapku."Mem
"Ibu dari mana saja? Di cari dari tadi!" ucap Ilham saat melihat ibunya baru datang dari arah pintu."Dari klinik, kamu nggak tahu ya? Adikmu tadi habis nyemplung empang," jawab ibu."Oh." Hanya kalimat pendek yang keluar dari bibir Ilham karena ia masih jengkel pada Joko dan Vita akibat masalah ikan gabus kemarin."Kamu kenapa cari Ibu?""Ini, Bu! Rumah ini ada yang nawar dua ratus juta. Mahal kan, Bu? Jual saja ya, Bu! Ilham butuh modal ini buat membuka toko cabang baru di Pasar Biru. Nanti, kalau toko Ilham rame, Ibu juga akan dapet enaknya." Ilham kembali membujuk Ibu Joko untuk segera menjual aset peninggalan ayah yang hanya tersisa rumah ini."Kalau di jual, Ibu mau tinggal di mana?" ucap Ibu."Kan Ibu bisa tinggal sama aku atau Joko. Ibu nggak usah lagi pusing-pusing mikir biaya makan dan lain-lain. Pokoknya, tinggal enaknya saja lah," bujuk Ilham."Coba nanti kita bicarakan lagi sama Joko. Ibu nggak mau jika Ibu nanti sengsara gara-gara jual rumah ini. Rumah ini tinggal satu-s
"Ealah, bagus-bagus kok ambekan. Ya sudah! Ibu ke rumah Joko. Kamu tunggu di sini!" Bu Joko berjalan ke luar rumahnya untuk meminta makan ke rumah Joko. Walau Vita sering mengomel padanya, namun jarang sekali mereka menolak jika Ibunya meminta sesuatu darinya."Assalamualaikum," sapa Ibu dari luar rumah Joko. Vita yang sedang memasak makan malam terus melanjutkan acara maaknya tanpa menyambut ibu di depan."Waalaikumsalam," sahut Vita dari dapur.Bu Joko masuk ke rumah Vita dengan perasaan senang karena tahu Vita sedang memasak. Tercium dari aromanya saja ia sudah tahu, jika masakan Vita memanglah enak."Ngapain balik lagi, Bu?" tanya Vita ketus."Kamu ini, kayak nggak senang saja jika Ibu datang ke rumahmu," sungut ibu tak terima dengan nada bicara Vita."Mau makan?" tanya Vita sengana mengalihkan pembicaraan."Sudah! Nggak usah tanya, berikan saja makan buat ibu di rumah. Dari tadi di klinik, Ibu kelaparan. Kamu nggak mau belikan Ibu makan. Sekarang kamu harus tanggung jawab karena
Hari ini aku sangat lelah sekali. Pekerjaan mencari nafkah bagi wanita sungguh sangat berat, ditambah kedatangan tamu bulanan yang membuatku sedikit merasakan nyeri di perut. Aku keluar dari pabrik menuju parkiran motor dengan langkah pelan, dan beberapa orang yang melihat langkahku tak biasa menanyakan keadaanku."Kenapa, Vit?" tanya Anggi padaku."Nggak papa, cuma nyeri saja di perut. Biasa PMS melanda!" jawabku nyengir."Oh, baik banyak istirahat sama minum air putih," saran Anggi diiringi anggukan kecil dariku."Makasih," ujarku. "Aku duluan ya!" Anggi berlalu meninggalkanku. Aku memilih duduk dulu di pinggir parkiran untuk membuang rasa penat dan nyeri seperti ini. Aku juga sebel, kenapa harus seperti ini jika datang bulan. Sangat-sangat mengganggu aktivitasku. Yah, walaupun hanya paling dua atau tiga hari datangnya nyeri ini, tapi tetap saja aku risih. Biasanya aku memilih libur dan tidak berangkat jika sedang PMS begini, tapi jika aku memilih libur aku tidak bisa mendapatkan g