Aku tidak tahu apa yang diucapkan Randy benar. Jika iya, satu keberuntungan bagiku bisa menjadi bagian dari mereka. Sekalipun mungkin bukan untuk selamanya tapi setidaknya sampai mereka menemukan ibu yang sebenarnya. Atau dengan katakan lain sampai Akhtar menemukan seseorang yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Seorang istri.Istri Akhtar.Meski itu berarti aku akan ditinggalkan. Sekalipun sama halnya aku akan dilupakan.Tapi ...Tidak!Memikirkan itu tiba-tiba hatiku terasa ngilu. Dingin merayapi permukaan kulit. Menghempaskan aku dalam perasaan sunyi dan mencekam.Kenapa?Semua baru dimulai. Kenapa berpikir sejauh itu?Aku tidak mau mereka tinggalkan. Apalagi mereka lupakan. Shaila, Shaili mereka sudah kuanggap bagian diriku.“Mama Maiii ...!!!” Satu teriakan panjang kembali menyeretku ke alam nyata. Kulihat Shaili melesat. Di susul Shaila yang muncul bersama Omanya. Aku dan Randy bangkit bersamaan refleks menghampiri dan memapah ibunya yang masih tampak lemah berjalan menuju k
"Nggak. Nggak sama sekali. Justru saya berterima kasih sudah dibangunkan. Saya harus pulang sekarang."“Euh, saya minta maaf. Tentu hari ini kamu sangat disibukkan oleh anak-anak. Dan saya malah pulang terlambat.”Dia menunduk sekejap. Mengusap tengkuknya kemudian kembali menatapku. “Saya nggak tahu kamu ada di rumah. Andai kamu memberi tahu pasti saya cepat pulang.”Dengan kelopak mata yang masih berat lantaran masih mengantuk kupaksakan tersenyum maksudku tenang saja dia tidak perlu merasa bersalah. Lagi pula memang aku yang ingin menemui anak-anak.“Nggak apa-apa. Saya senang seharian ini bersama mereka.”Lantas kami sama-sama tersenyum. Senyum canggung tepatnya.“Sebuah kejutan buat saya menemukan kamu disini, Mai. Saya senang."Aku mematung tak merespons. Tidak tersenyum atau apapun sampai tawa kecilnya terdengar."Andai saja ..."Ucapannya terhenti. Kupikir ada kata yang sulit dia selesaikan. Kemudian lengang. Telingaku berdenging seakan terperosok ke dalam lubang yang sangat d
Oktober cepat berlalu hari pernikahan Nisa tinggal hitungan jari. Meski begitu belum ada persiapan yang kulakukan bahkan sekedar menentukan gaun seperti apa yang akan kukenakan nanti. Sebenarnya itu tidak terlalu penting. Ada Dania yang akan membantu. Dia segalanya dalam urusan fashion. Aku tinggal pasang badan. Tapi ada hal lain yang lebih penting untuk kupikirkan.Ryu,Bagaimana nanti jika kami kembali bertatap muka seperti malam itu. Rasanya aku tak sanggup mengahadapi hari itu. Andai ada alasan yang tepat untukku bisa menghindar. Tapi aku tidak biasa terus menerus melarikan diri. Bukankah aku sudah belajar menguatkan hati. Apa yang perlu kucemaskan. Aku sudah retak dan patah. Seharusnya tak ada lagi tempat untuk merasakan sakit. Hanya saja sisa perasaan yang hingga kini masih kusimpan barangkali akan menguak lagi kenangan yang pernah ada. Dan itu berarti membiarkan hati yang terluka kembali terluka. Dan mungkin selamanya akan terluka.Dua hari kemudian Dania menelepon mengatakan
Gigiku gemeletuk dan saraf-saraf di sepanjang lenganku bergemetaran. Dania sigap menggenggam tanganku tapi aku tak merasakan apa-apa selain kebas yang perlahan merayap ke belakang leher. Dari sudut mata kulihat dia duduk di deretan yang hanya terpisah satu meja dari kami. Tentu saja dia sabahat dekat Arwan, dia akan ditempatkan di kursi prioritas sama halnya dengan kami. Tapi tunggu. Matanya belum menemukanku dia memandang lurus ke depan. Aku berharap keajaiban sepanjang waktu ini, berharap dia tak menyadari keberadaanku. “Mai, ingat kamu nggak mau kan kelihatan terpuruk di depan dia? Sekarang tegakkan leher kamu dan berusahalah bersikap biasa saja,” bisikkan Dania membuatku terperenyak. "Iya, Dan.""Senyum dikit." Lelaki kemayu di sampingku berdesis lagi. Dia mendelik protes. Mungkin aku masih terlihat kaku."Ini aku juga senyum ...""Kurang lebar." Dia mencubit pelan lenganku.Kutarik napas dalam-dalam. kemudian memasang senyum seperti yang Dania perintahkan."Nah, gitu dong. Ja
Ikut berbaur dengan mereka melempar bola-bola. Tertawa. Mengabaikan dress panjang yang kukenakan yang lumayan membatasi ruang gerak. Tapi aku peduli. Aku tidak ingin terlihat murung di tempat sesemarak ini. Aku ingin merasa senang seperti juga mereka, para tamu undangan. Seperti kedua pasangan pengantin yang kini tertawa lebar. Saling mengenggam mesra, saling bertukar senyum diiringan musik yang mengalun romantis. Seakan melengkapi dan menguatkan janji suci yang telah mereka ikrarkan. Dan aku nyaris meneteskan air mata setelah dua lagu itu berakhir.Jangan pernah menyerahMeski cinta tak mudahApapun yang akan terjadiBersama kita berjanjiMenuju satu cinta yang abadi (Armand Maulana “Hanya engkau yang bisa”)I'm never gonna look backWoah, never gonna give it upNo, just don't wake me nowThis is gonna be the best day of my life(American Author “ Best Day of My Life”)Aku melarikan diri sebelum sesi pernikahan Nisa berakhir. Usahaku untuk menghindarinya kalah keras dengan usahanya
"Jangan bertanya ; seringkali kita kehilangan makna saat mengingat hal yang sama. Ketika hati mendekati lupa."______Ketika aku berbalik dan mengangkat mata kudapati Akhtar yang berdiri di hadapanku. Ternyata dia. Tak kusangka dia benar-benar datang pada waktu aku sangat membutuhkan pertolongan. “Mai, apa kamu baik-baik saja?” Dia mengamati wajahku dengan sorot mata cemas dan dengan napas yang masih tersengal. Dari balik t-shirtnya kulihat dadanya kembang kempis. Wajahnya gelap karena amarah.Tetapi aku tak begitu menanggapi pertanyaannya. Rasa iba mendorongku untuk kembali mendekati Ryu. Takut terjadi apa-apa dengannya.“Ryu ...”“Mai ...” Suaranya terdengar lirih. Wajahnya meringis kesakitan. Dia menatapku tak berdaya. Membuat perasaanku meruak dan hampir menjatuhkan diri di dadanya. Namun urung, ketika satu teriakan pecah di udara. Dania menghambur ke arah kami. “Mai, ada apa?” Lelaki kemayu itu memandang kami secara bergantian dengan raut bingung. Nasib baik tak ada yang melihat
“Kamu nggak perlu sepanik itu.” Kumiringkan kepala mengembangkan senyum. Melega-legakan hati. Tak benar-benar menertawakannya. Tapi kupikir agak mengherankan aku bisa tertawa setelah apa yang terjadi hari ini.”Nggak apa-apa nanti juga kering sendiri, kok.”Dia tersenyum lega. Tatapannya masih berdiam di wajahku. Mendesirkan darah.“Kamu cantik saat tertawa, Mai,” ujarnya terdengar sungguh-sungguh.“Apa kamu bermaksud menggoda saya?!” Kutinggikan intonasi suaraku saat kudengar dia mengatakan itu. Aku tahu dari nada bicaranya dia sama sekali tidak bermaksud menggodaku. Hanya saja aku tak ingin terlihat malu dengan pujiannya. Padahal aku yakin wajahku semerah tomat.“”Euh, bu ...bukan. Saya nggak bermaksud begitu.”Dia menegakkan punggung. Berusaha meralat ucapannya. Dalam hati aku mengulum senyum.“Apa lelaki itu kekasih kamu, Mai?”Dia kembali mengajukan pertanyaan setelah mengambil posisi duduk di hadapanku. Membuatku merasa agak tertekan.“Dia mantan suami saya.” Aku menyahut dengan
Perkataan papa sewaktu kami duduk di meja makan refleks menghentikan gerakan tanganku yang baru akan memasukan nasi ke dalam mulut. Dua detik tatapanku terpaku di wajah teduh itu. Menelaah kalimat-kalimat yang muluncur dari bibir piasnya. Kemudian aku menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa membuat laki-laki kesayanganku itu kembali mengulang ucapannya.“Papa juga senang seandainya ada Si kembar yang menemani setiap hari. Papa sudah tua dan merasa kesepian. Papa ingin di keliling anak-anak seperti mereka.”Kuangkat kepala menatap papa sekali lagi. Wajahnya tampak begitu mendung. Seakan sebentar lagi akan melesakkan hujan yang sangat deras. Aku di banjiri perasaan gamang. Ingin aku mengatakan padanya masih ada yang mengganjal di hatiku untuk menerima Akhtar sebagai bagian dari diriku. Setidaknya untuk sementara waktu. Ada banyak kesemrawutan yang belum tuntas diselesaikan antara aku dan Ryu dan perasaan-perasaan yang masih tertinggal. Jika benar akhir pelarianku berujung pada Ak