Rudi menghela napas lega, tetapi tetap berkata dengan nada dingin, "Ini kutukar dengan jasaku. Kalau Yang Mulia benar-benar menarik kembali dekretnya, itu pasti akan membuat para tentara kecewa. Hari ini, Yang Mulia panggil aku ke Istana, tapi tidak menemuiku. Mungkin karena kamu mengeluh pada Yang Mulia. Intan, aku tidak akan perhitungan denganmu, tapi aku sudah cukup baik padamu.""Kuharap kamu bisa sadar diri dan jangan membuat masalah lagi. Setelah aku dan Linda menikah, aku akan memberimu anak agar kamu punya sokongan di hari tua."Intan menunduk ke bawah dan memberi perintah dengan cuek, "Mutiara, antar tamu keluar!"Mutiara maju seraya berkata, "Jenderal, silakan!"Rudi mengibaskan tangan dan langsung pergi.Sebelum Intan bisa berbicara, Mutiara sudah meneteskan air mata tanpa henti.Intan menghampirinya, lalu bertanya, "Kamu kenapa lagi?""Aku merasa sedih untuk Nona. Nona tidak sedih?" tanya Mutiara dengan suara bindeng.Intan tersenyum saat menjawab, "Sedih, tapi apa gunanya?
Setelah mengantar Riel pergi, Intan kembali ke Kediaman Wanar. Sejam kemudian, Rudi datang bersama Linda.Intan sedang membenahi laporan keuangan bulanan Keluarga Wijaya di ruang kerjanya. Melihat mereka datang, tatapannya tertuju pada tangan mereka yang bertautan.Intan menghirup wangi gaharu yang dibakar dalam pot emas bermotif binatang. Baiklah, langsung bicarakan saja.Setelah menyuruh Mutiara keluar, Intan berkata, "Silakan duduk!"Linda memakai gaun merah yang disulam dengan kupu-kupu emas. Begitu duduk, gaunnya menjuntai sehingga kupu-kupu itu tampak diam.Linda tidak termasuk cantik, tetapi sangat gagah."Intan!" seru Linda sambil menatap lurus padanya. Dia telah membunuh banyak musuh di medan perang sehingga yakin Intan tidak akan berani menatap matanya karena wibawanya. Namun, di luar dugaannya, mata Intan jernih dan tidak ada rasa takut."Jenderal, langsung katakan saja!" ucap Intan."Dengar-dengar, kamu ingin ketemu aku? Aku sudah datang sekarang. Aku hanya mau tanya, apa k
Walau sedih, Linda menjawab, "Aku bukan orang yang suka iri atau cemburu. Selain itu, demi kebaikanmu sendiri, kamu juga bisa punya sokongan di hari tua kalau punya anak sendiri. Setelah kamu hamil, dia pergi ke tempatmu atau tidak bukan urusanku."Linda jelas marah saat mengatakan kalimat terakhir.Rudi bergegas berjanji, "Jangan khawatir, aku tidak akan menyentuhnya lagi kalau dia sudah hamil.""Kamu tidak perlu berjanji, aku bukan orang kikir." Linda memalingkan tatapan, matanya penuh dengan kekesalan.Intan merasa dua orang di depannya sungguh konyol. Dia beranjak dari kursinya, lalu menatap Linda dan berseru dengan tegas, "Kehidupan perempuan sudah cukup sulit, kenapa kamu masih menghina kaum perempuan? Kamu sendiri juga perempuan, jangan merendahkan perempuan hanya karena kamu bisa maju ke medan perang. Memangnya di mata kalian, aku hanya bisa hidup mengandalkan keturunan Keluarga Wijaya? Memangnya aku tidak punya kesibukan sendiri atau kehidupan yang kuinginkan? Memangnya aku ha
Mutiara merasa sakit hati melihat Intan dianiaya. Ada perkataan yang tidak enak hati diucapkan oleh Intan yang terdidik, tetapi Mutiara yang hanyalah pelayan tidak takut. Matanya merah saat dia berkata, "Aku yang jadi pelayan pun tahu malu. Sebagai jenderal, kamu malah menggoda suami orang di medan perang. Sekarang, kamu bahkan menggunakan jasamu untuk menindas Nona kami ....""Plak!"Mutiara ditampar dengan keras.Rudi menampar Mutiara dengan gusar, lalu melemparkan tatapan dingin pada Intan. "Ini pelayan yang kamu ajarkan? Tidak tahu aturan!"Intan bergegas berlari ke depan untuk membantu Mutiara bangun. Wajahnya bengkak parah, dapat dilihat seberapa kuat tamparan Rudi.Intan menoleh ke belakang dengan ekspresi galak dan menampar Rudi. "Kamu tidak berhak sembarangan menampar pelayanku!"Rudi tidak menyangka Intan akan menamparnya demi seorang pelayan. Bagaimana bisa dia ditampar oleh seorang wanita, apalagi di depan Linda?Namun, Rudi tidak bisa membalasnya. Dia memelototi Intan, lal
Melihat semua orang dilema, Rudi mengambil daftar itu dan membacanya. Lalu, dia bertanya pada Brina, "Apa masalahnya? Mahar sepuluh ribu tahil, dua set gelang emas, dua set gelang giok, dua set konde emas, lima puluh gulung brokat. Hanya ini saja, printilannya tidak banyak.""Tidak banyak?" Brina menyeringai sinis. "Sayangnya, sekarang kas kita bahkan tidak ada seribu tahil."Rudi terkejut. "Kok bisa? Siapa yang mengurus keuangan? Apa ada kerugian?""Aku yang urus!" sahut Intan."Kamu yang urus? Mana uangnya?" tanya Rudi."Ya, mana uangnya?" Brina mencibir. "Kamu pikir Keluarga Wijaya adalah keluarga bangsawan? Kediaman Jenderal ini dianugerahkan oleh Mantan Kaisar kepada kakekmu yang menjadi jenderal. Honorarium dan beras subsidi yang ayah dan pamanmu peroleh setiap tahun bahkan tidak lebih dari dua ribu tahil. Kamu adalah jenderal bintang 4, tidak mungkin lebih banyak dari ayahmu.""Kalau begitu, aset peninggalan Kakek setidaknya masih bisa menghasilkan profit, 'kan?" tanya Rudi lagi
Diana terperanjat. Pinjam?Tadi Diana juga mengatakan pinjam dan akan dikembalikan pada Intan setelah sudah ada uang. Jadi, dia tidak membantah ucapan Intan.Akan tetapi, dalam hati, Diana menyalahkan Intan yang begitu perhitungan dengan suaminya sendiri. Keluarga Intan sudah meninggal semua, buat apa uangnya jika tidak diberikan pada Keluarga Wijaya?Rudi menggelengkan kepala. "Aku akan cari cara sendiri, tidak perlu pinjam uangmu."Setelah itu, Rudi berbalik badan dan berjalan ke luar.Semua orang di ruangan menatap Intan. Intan pun memberi salam. "Kalau tidak ada urusan lain, aku kembali ke kediamanku dulu.""Intan, berhenti!" Wajah Diana menjadi masam. Di bawah pengaruh marah, dia tidak lagi batuk atau lemas. Bagaimanapun, dia telah mengonsumsi sebutir pil dari Tabib Riel.Intan menatap lurus pada Diana. "Ada apa, Ibu?"Diana menasihatinya, "Aku tahu kamu sudah masuk ke istana dan mohon Yang Mulia, tapi kamu bodoh. Kalau Linda menikah dengan keluarga kita dan memiliki jasa lagi ke
Diana tidak percaya Riel tidak mau datang karena Riel baru saja memberinya obat dan imbauan kemarin. Seketika, Diana mengutus pelayan ke Toko Obat Pinsi untuk mengundang Riel. Alhasil, Riel sama sekali tidak keluar, hanya menyampaikan pesan melalui tabib jaga.Pengurus menyampaikan pesan itu secara lengkap kepada Diana yang kemudian membuatnya marah besar.Tabib jaga itu menyampaikan pesan dari Riel, "Ke depannya, kalian tidak perlu datang lagi untuk mengundangku. Perbuatan Keluarga Wijaya sangat tidak bermoral. Mengobati orang tidak bermoral akan membuat umur hidupku jadi pendek. Aku tidak mau mati lebih awal."Diana membentak dengan marah, "Pasti Intan yang suruh Tabib Riel berhenti mengobatiku. Tak disangka, kejam sekali dia! Saat dia baru dinikahi waktu itu, aku pikir dia lembut dan soleh. Sepanjang tahun ini, juga tidak kelihatan dia ternyata begitu kejam. Dia ingin aku mati! Aku akan mati tanpa obat dari Tabib Riel!"Javier berdiri di samping tanpa berkomentar, tetapi dalam hatin
Rudi sibuk di luar sana untuk meminjam uang dengan teman dekat.Akan tetapi, Rudi baru mengumpulkan seribu tahil, masih jauh dari belasan ribu tahil yang dibutuhkan untuk membiayai maskawin, mahar dan resepsi.Tentu saja, jika Rudi bersedia merendahkan diri dan meminjam uang dengan keluarga bangsawan, meminjam dua atau puluh ribu tahil pun tidak jadi masalah. Rudi yang pulang membawa jasa sedang menjadi orang populer di pemerintahan sehingga banyak orang yang ingin menjilatnya.Namun, Rudi merasa malu.Meminjam uang adalah hal yang sensitif dan memalukan. Bagaimana mungkin Rudi mau kehilangan muka?Setelah dipikir-pikir, Rudi lebih memilih untuk meminjam uang Intan. Kehilangan muka di depan Intan jauh lebih baik daripada kehilangan muka di depan orang lain.Dalam perjalanan pulang, Rudi berpapasan dengan adiknya yang menunggang kuda. Sebelum dia sempat bertanya, Beni langsung berseru, "Kak Rudi, cepat pulang. Ibu nyaris mati karena Kak Intan."Mendengar karena Intan lagi, Rudi bertanya