Dengan semangat yang membara kuikuti langkah suster menuju kamar ICU, menggendong bayi tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh istri.
“Assalamualaikum, Mama. Lihat ni, Ma. Dede udah sehat dan nungguin Mama. Dede sama Papa kangen sama Mama,” mengarahkan tangan Kanaya untuk menyentuh bayi yang ada di sebelahnya, seraya terus berdoa semoga kali ini usahaku berhasil.Bukankah tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah sudah berkehendak? Walaupun dokter sudah angkat tangan dan mengatakan bahwa kemungkinan hidup istri hanya tinggal kurang dari sepuluh persen, tapi jika Tuhan sudah berkehendak maka bisa saja tiba-tiba dia terbangun dari komanya dan sehat seperti sedia kala. Hidup dan mati manusia ada di tangan Allah. Kita sebagai dokter hanya bisa mendiagnosa serta mengira-ngira saja.Hampir tiga puluh menit si bayi berbaring di sebelah Kanaya, dia malah terlelap seakan merasa nyaman berada di sebelah ibu barunya.Ya Allah ... jika Engkau memb"Semalam saya disuruh menghubungi Bapak oleh dokter, tapi Bapak tidak menjawab panggilan dari saya. Padahal saya ingin memberitahu ke Bapak bahwa Ibu sudah siuman dan mau dipindahkan ke kamar pemulihan," terangnya panjang lebar, membuatku terkesiap tidak percaya."Istri saya siuman, Sus?" Mengangkat bokong dari kursi seraya mengusap air mata, bersujud di lantai mengucap beribu syukur kehadirat Allah karena sudah mendengarkan doa-doa hamba-Nya ini."Dia dipindah ke kamar nomor berapa, Sus?" tanyaku lagi setelah bangun dari sujud."Mari, Pak. Ikut saya."Aku mengangguk dan segera mengekor di belakang petugas medis tersebut, membuka pintu kamar rawat inap istri dan menatap dia yang sedang berbaring sembari bermuroja'ah, melantunkan ayat suci Alquran membuat air mata kembali mengalir deras."Assalamualaikum, Sayang!" Kuucapkan salam seraya berjalan mendekat."Waalaikum," perlahan dia membuka mata, menerbitkan sedikit seny
"Aku pengen liat, Sayang.""Nanti kalau keadaan kamu sudah membaik.""Aku sudah sehat, aku mau menyusui dia, Dil.""Dokter belum mengizinkan dedek untuk dibawa ke ruangan ini. Dedek masih berada di dalam inkubator, soalnya dia lahir prematur.""Kamu bisa mengantarku ke ruangan dedek?"Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Dasar anak ini. Selalu saja keras kepala. Sifatnya tidak pernah berubah, membuat aku semakin jatuh cinta."Keadaan kamu juga belum sepenuhnya pulih. Kamu masih harus banyak istirahat dan belum boleh banyak bergerak," nasihatku sekaligus mencari alasan supaya dia tidak memaksa untuk bertemu sang anak.Aku tidak mungkin membawa bayi yang aku adopsi sekarang, karena jika dipikir-pikir bayi itu terlalu besar dan takut Kanaya malah mencurigai kalau anak itu bukan putranya."Tapi, Sayang. Aku ....""Nurut, no debat!" mengacungkan jari telunjuk lalu meng
Duduk di tepi ranjang, mengusap perlahan rambut istri yang diikat asal kemudian merangkul pundaknya."Ini anak kamu dan aku, Nay. Walaupun bukan darah daging kita," ucapku dengan hati-hati.Kanaya mendongak menatap wajahku dengan mata terkesiap juga berkaca-kaca."Apa maksud kamu, Dil. Dia bukan darah daging aku? Lantas di mana anak aku, Dil. Di mana?" wajah istri mulai terlihat frustrasi.Aku mengambil bayi yang ada di pangkuannya, meletakkannya ke dalam boks bayi lalu kembali duduk di depan Kanaya."Dilan, mana anakku?" "Sayang, dengarkan aku. Tolong kamu jangan seperti ini. Kamu harus ikhlaskan dedek bayi. Di--dia sudah pergi meninggalkan kita semua!!"Kanaya menggeleng sambil menangis. "Jadi benar yang aku lihat dalam mimpi? Anakku udah nggak ada, Dilan. Dan, kenapa kamu malah membawa anak ini ke aku? Apa maksud kamu, Dilan?" "Sayang, sekali lagi dengarkan aku. Dia itu seorang malaikat kecil yang juga membutuhkan sosok seorang ibu. Dia membutuhkan kasih sayang serta perhatian."
"Kenapa?" Wajah istri terlihat bingung melihatku terus saja menatapnya."Aku bahagia banget mendengar kamu tertawa, Sayang." Kembali melanjutkan langkah, mendudukkan Kanaya di kursi taman kemudian meluruskan kakinya lalu memijat-mijatnya pelan, melemaskan otot-otot kaki agar dia lekas bisa berjalan kembali."Dil, nanti kalau ternyata aku nggak bisa jalan lagi bagaimana?" Aku mendongak menatap wajah istri."Insya Allah bisa, Nay. Kamu harus yakin dan jangan mudah putus asa.""Aamiin ....""Kamu juga tidak perlu khawatir. Aku akan selalu menjaga kamu, semampu dan sebisa aku. Kamu doakan saja semoga aku sehat terus.""Itu sudah pasti, Sayang." Kanaya menyandarkan kepala ketika aku sudah duduk di sebelahnya.***Hari ini, dokter sudah membolehkan Kanaya pulang. Bahagia rasanya karena akhirnya bisa memboyong istri ke rumah, seperti impianku sejak dulu. Membantu istri masuk ke
Kanaya menarik ujung bibir kaku. “Ini, saya mau nganterin obat buat kamu, karena kamu juga masih harus mengonsumsi obat. Ini aman kok untuk ibu menyusui, karena saya sudah konsultasi dulu dengan dokter Fatihah. Kamu jangan lupa sering-sering baca Alquran dan lawan rasa takut kamu sendiri ya, Nay. Karena itu obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan trauma yang kamu derita.”“Iya, Dokter. Terima kasih.”“Ya sudah. Saya permisi dulu. Maaf kalau saya sudah mengganggu waktu kalian. Assalamualaikum!”Dia segera memutar badan sebelum kami menjawab salam. Aku langsung menutup pintu, dan dari balik kaca aku lihat lelaki berwibawa itu sedang mengusap air mata.Tuhan, apakah itu termasuk dosa karena diri ini sudah membuat pak dokter menitikkan air mata juga sakit hati?Maafkan aku karena tidak bisa melepas Kanaya begitu saja, sebab cintaku kepadanya begitu besar dan tidak bisa digoyahkan apa pun yang terjadi. “Sa
“Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak bersalah!” menyusut air mata istri menggunakan ujung jemari, merasa bersalah karena tidak bisa mengontrol diri.“Kalau kamu mau, lakukan saja. Aku istri kamu. Aku tidak mau dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami dan menahan haknya,” lirih Kanaya berujar, seperti angin yang sedang berdesir di padang pasir.“Malaikat tidak akan melaknat kamu, Sayang.” Mendaratkan ciuman singkat di kening istri, membenarkan posisi tidur sedikit menjauh darinya, sebab jika bersentuhan dengan istri rasanya bagai tersengat listrik bertegangan tinggi.Kanaya kembali memutar tubuh membelakangi diriku, meringkuk memeluk lutut dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mendiamkannya.Ternyata menikahi perempuan yang mengalami trauma psikis itu tidak semudah bayangan. Semoga saja kami berdua bisa menjalani masa sulit ini dan Kanaya bisa sembuh dari trauma yang diderita.Semenjak kejadian malam itu, Kan
Merogoh ponsel dalam saku kemeja, menekan sebelas digit angka menghubungi nomer Kanaya. Tersambung dan terdengar suara nada deringnya di teras belakang.Aku mengembus napas lega saat melihat sang bidadari hati sedang berjibaku dengan cucian di halaman, sedang Umar putra kami dibaringkan di atas meja teras beralaskan kasur bayi.Pelan-pelan berjalan mendekat, memeluk tubuh istri dari belakang kemudian mencium puncak kepalanya dengan mesra."Sayangnya Koko Dilan lagi ngapain?" Kanaya mendongak menatapku sambil menerbitkan senyum termanis yang pernah aku lihat."Jemur baju, Yang. Biar kamu nggak terlalu repot," ucapnya kemudian."Harusnya tidak usah dulu, Sayang. Kamu belum sepenuhnya sehat. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Biar pekerjaan rumah aku yang mengerjakan. Toh, memang sebenarnya itu tugas aku 'kan? Bukan tugas istri.""Aku sehat kok! Siapa bilang aku sakit?" Riak wajah istri tiba-tiba berubah. Dia lalu beranj
“Oh, sarapan ya?” Seketika wajahku menghangat, dan mungkin sudah bersemu merah macam tomat. Beranjak dari kursi, mengayunkan kaki masuk membawa Umar dan meletakkannya di atas ranjang. Saat hendak menghampiri istri, ternyata perempuan berambut hitam legam tersebut sudah berada di dekat meja makan, berjalan merembet walaupun terlihat kepayahan. Aku merasa ngilu sekaligus takut melihat ekspresinya yang kesakitan, tetapi tidak bisa melarang dia untuk terus berusaha belajar berjalan. Sebab itu akan menyinggung perasaan Kanaya. Dokter Ibrahim pernah berkata kalau kesehatan mental serta emosional istriku masih belum stabil, jadi akan mudah tersinggung juga emosi. Apalagi ditambah harus kehilangan sang buah hati juga mengalami cidera di kaki. “Sayangku butuh bantuan?” Berkata dengan hati-hati seraya menghampiri. “Tidak, Sayang.” Dia menggeleng dan tersenyum. Pasokan energi terbesarku adalah melihat senyuman Kanaya. Karena lengkung bibir