Aku berjalan masuk ke dalam kerumunan. Mataku membulat saat melihat lelaki bersimbah darah tergeletak tak berdaya di depanku. Jantungku berdetak tak menentu. Tubuhku luruh di aspal. Bulir bening mengalir dari sudut netra tanpa bisa ku bendung.Ya Allah bagaimana ini?"Tolong dibawa ke rumah sakit Pak, dia ayah saya."ucapku dengan kaki gemetaran.Sontak semua mata tertuju padaku, ada pandangan penuh tanya ada pula yang merasa iba dan kasihan.Dua orang lelaki membopong tubuh besar Om Bram mendekati mobil putih tak jauh dari tempat kecelakaan. Aku duduk di belakang sambil memangku kepala Om Bram."Kenapa di masukkan ke dalam mobil ini Pak?" tanyaku ragu."Tadi saya lihat ayah anda keluar dari mobil ini Mbak." terang salah satu lelaki.Mobil yang sedari tadi mengawasiku adalah mobil Om Bram. Atau jangan-jangan Om Bram yang memata-matai diriku? Untuk apa dia seperti itu? Apa karena dia mencari cela menjauhkanku dengan Daniel?AstagfirullahKenapa berburuk sangka sih Aisyah?"Masa anaknya
Seorang suster datang menghampiriku. Pasti akan menanyakan pendonor darah. Atau aku saja yang menjadi pendonornya? Kebetulan golongan darah kami sama."Keluarga pasien atas nama Bram Dewantara?" tanya suster berhijab putih itu."Iya saya keluarganya.Bagaimana keadaan Om Bram ya sus?""Pasien membutuhkan segera transfusi darah. Apakah sudah mendapatkan darahnya Bu?"BismillahSemoga ini keputusan yang tepat. Dokter tidak melarang berarti aku masih bisa mendonorkan darahku untuk Om Bram."Saya yang akan mendonorkan darah,Sus." ucapku penuh keyakinan."Kalau begitu mari ikut saya Bu,agar bisa memeriksa kesehatan ibu. Semoga saja darah ibu cocok untuk pasien."Ku ikuti setiap langkah suster. Sebenarnya ada rasa khawatir karena aku masih memberi asi secara eksklusif. Semoga tidak ada efek samping untuk asiku.Kutidurkan tubuh di atas kasur khas rumah sakit. Dengan perlahan suster mengambil darah sesuai prosedur yang tepat. Ada rasa ngeri saat melihat peralatannya. Ku alihkan pandanganku ag
Aisyah duduk terdiam di kasur khas rumah sakit. Angannya berkelana memikirkan kedua buah hati yang kini jauh darinya. Apakah mereka rewel? Apakah mereka mau minum susu formula? Ya, karena asip telah habis. Itu yang selalu mengganggu pikiran wanita beranak dua ini. Apalagi si kembar tak pernah jauh dari ibunya.Aisyah tahu Mukhlas dan Mukhlis akan dijaga dengan baik oleh Bella. Tak bisa dipungkiri dalam lubuh hatinya sangat menghawatirkan kedua putranya.Seorang suster berseragam hijau berjalan mendekat. Mengeluarkan alat pengukur tekanan darah dan mulai mengukur tekanan darah Aisyah."Selamat siang Bu Aisyah. Saya ukur tekanan darahnya dulu ya." ucap suster itu ramah.Mengeluarkan sfigmomanometer atau lebih dikenal dengan istilah tensimeter. Segera mengukur tekanan darah Aisyah."Alhamdulillah tekanan darah ibu sudah normal."ucap suster dengan senyum tipis.Aisyah melengkungkan bibirnya hingga seperti bulan sabit. Ia yakin sebentar lagi bisa segera pulang. Karena kondisinya sudah memb
"Kapan kalian menikah?"Tiga kata yang tak pernah kusangka akan secepat ini keluar dari mulut Om Bram. Ini seperti mimpi. Ya Allah,terima kasih.Akan ada pelangi setelah hujan. Kata-kata bijak itu memang benar, setelah ujian bertubi-tubi akhirnya Allah memberikan kebahagian padaku. Menghapuskan setiap lara menggantinya dengan tawa bahagia."Aisyah..." panggilan Om Bram menyentakku dari lamunan."I-iya Om." jawabku tergagap."Jangan panggil Om, biasakan panggil papa, karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian keluarga Dewantara." ucapannya bagai angin surga untukku."Iya Om, eh Pa."Mereka tertawa melihat lidahku yang kaku saat memanggil kata papa."Nah gitu dong sayang, sekarang panggil mama ya bukan tante lagi." mama Daniel datang membawaku dalam pelukannya.Begitu hangat pelukan tante Maria, mengingatkanku kepada bunda dan Umi. Dua wanita yang telah berpulang. Semoga Allah menempatkan tempat terindah untuk mereka. Tanpa terasa bulir bening mengalir membasahi pipiku."Kenapa menan
Pov AdamDuduk di meja kerja dengan beberapa dokumen yang harus kuperiksa. Setelah kepergian Umi, banyak pekerjaan menumpuk dan harus segera aku kerjakan.Melelahkan, tapi tak semelelahkan menghadapai sikap Jesica yang kekanak-kanakan. Setiap bertengkar selalu besembunyi di ketiak papinya.Setelah kepergiannya dari rumah Abi tiga minggu yang lalu. Tak pernah ada lagi kabar darinya. Jesica seperti hilang di telan lautan. Sikapnya yang seperti ini membuatku semakin kesal padanya. Aku bahkan tak pernah memberi kabar atau bahkan mencarinya. Dia yang pergi, tak perlu lagi aku mencarinya. Karena bila aku melakukannya, Jesica akan semakin besar kepala.Tok ... Tok ... Tok.... Suara pintu diketuk dari luar."Masuk...!"Luna, sekertarisku berjalan perlahan masuk ke dalam. Ku perhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala penampilannya membuatku geleng-geleng kepala.Astagfirullah pakaian dengan bahan kurang kenapa dipakai di kantor."Selamat pagi Pak, saya hanya ingin mengingatkan bapak jika
"Sah..." ucap serempak saksi di dalam Masjid. Bulir bening mengalir dari sudut netra. Bahagia bercampur haru menjadi satu."Baarakallahu laka wabarakoa 'alaika wajma'a bainakumaa fii khoir." ucap Pak Penghulu.Tanganku menengadah, mengaminkan doa yang dipanjatkan penghulu kepada kami.Aku berjalan perlahan digandeng Mbak Bella masuk ke dalam masjid. Setiap satu langkah semakin jelas terdengar debaran jantung ini. Menikah dengan orang yang dicintai memang berbeda dibanding menikah karena terpaksa. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku.Duduk di samping Daniel, kucium punggung tangannya dengan khidmat. Daniel mencium keningku. Ada desiran hangat saat bibirnya menempel di dahiku. Membuat jantung seperti ingin lepas dari tempatnya.Daniel memegang pucuk kepala, membacakan doa dengan terbata.Aku tahu, dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Karena belajar ilmu agama tak semudah yang kita bayangkan. Banyak godaan yang akan mengiringi.Selesai menandatangani berkas-berkas dan buku nikah. Ka
Aku duduk di atas ranjang memikirkan Mukhlas dan Mukhlis yang ada di rumah Mbak Bella. Ya, karena kakak suamiku melarang kami membawa si kembar saat berbulan madu.Aku tak berkeberatan,toh Mukhlas dan Mukhlis tak lagi meminum asiku.Ya,setelah masuk rumah sakit tempo hari,kedua jagoanku kompak tak mau meminum asiku.Mungkin karena asiku mulai berkurang. Dengan terpaksa aku memberinya susu formula.Sambil menunggu Daniel kubuka kado dari Mbak Bella."Di buka waktu di hotel ya Aisyah, dan harus dipakai." ucapnya tadi saat memberikannya padaku.Perlahan ku lbuka kotak berwarna merah. Ku ambil isi di dalamnya. Aku geleng-geleng kepala saat melihatnya. Baru pertama kali aku melihat dan memegangnya. Karena saat menjadi istri Mas Adam tak sekalipun aku berniat memilikinya. Tiga buah lingerie berwarna merah, pink,dan putih.KreeekSuara pintu kamar mandi di buka. Daniel keluar hanya menggunakan celana pendek di atas lutut. Ada desiran tak menentu kalau melihat suamiku bertelanjang dada."Sayang.
Apa kalian tahu rasanya bila mendengar orang yang kita cintai telah memiliki istri? Sakit dan hancur. Dan itu yang kurasakan. Beberapa tahun aku mengenalnya, menjadikan dia kekasih meski aku tahu kita berbeda keyakinan. Hingga suatu saat dia berkata jika telah menikah dengan Aisyah. Wanita yang diakui sebagai sepupu. Tapi dialah perebut Adam dariku. Sakit, rasanya seperti di tusuk sembilu. Lalu untuk apa kedekatannya selama ini? Untuk apa bertahan dengan perbedaan. Jika pada akhirnya dia pergi meninggalkanku dengan luka yang ia torehkan dalam sanubari. Aku hancur, mengurung diri dalam kamar. Meratapi kepergiannya dengan tangisan. Aku tahu Adam mencintaiku dan dia terpaksa menikah dengan Aisyah. Harusnya aku yang menjadi istrinya. Bukan Aisyah. Berhari-hari tak makan, hingga akhirnya aku tumbang dan di bawa ke rumah sakit. Mami dan papi sedih melihat keadaanku. Orang tua mana yang tak sedih melihat putri satu-satunya tersiksa seperti ini. Berhari-hari dengan keadaan seperti ini me