Pov AdamKuhentikan langkah kakiku tepat di dekat pintu. Melihat keluar, sebuah mobil yang sangat kukenal berhenti di halaman rumah. Tak lama seorang lelaki dan perempuan keluar dari mobil itu lalu berjalan mendekati tempatku berdiri.Aisyah dan Daniel semakin mendekat. Ada getaran yang muncul kala melihat wanita yang ku sia-siakan mengenakan gamis putih. Dia terlihat begitu menawan. Kenapa selama ini aku tak menyadari jika Aisyah begitu cantik luar dan dalam.Rasa itu berubah menjadi tak suka saat kulihat Daniel memakai koko berwarna senada dengan gamis Aisyah. Mereka seperti sepasang suami istri. Berjalan sambil bersenda gurau. Dada terasa panas melihat kedekatan mereka.Apa aku cemburu?Ah, tidak-tidak! Mana mungkin aku jatuh hati pada Aisyah. Jelas-jelas cintaku hanya untuk Jesica.Mungkin benar kata orang rumput tetangga lebih indah. Dulu saat Aisyah ku miliki, aku justru sama sekali tak tertarik. Dan kini setelah dia bukan lagi milikku Aisyah terlihat begitu cantik dan menawan.
Pov Adam"Ada apa,Bi?" tanyanya masih bisa ku dengar dari teras.Sabar Dan, tunggu kejutan dari Abi agar kamu berhenti mendekati Aisyah. Dia itu milikku. Dan selamanya akan menjadi milikku. ha ha ha"Tolong jaga Aisyah Dan, jangan pernah sakiti hati dan perasaannya.Abi percaya kamu pasti bisa membahagiakan Aisyah dan cucu-cucu Abi."ucap abi walau sama-sama terdengar.Ya Allah, hatiku ambyar mendengar ucapan Abi untuk Daniel. Kenapa Abi justru mendukung Daniel bukan aku yang anak kandung Abi sendiri.Kesal dan kecewa, itu yang tengah ku rasakan. Aisyah kembalilah padaku!Ku acak rambut, frustasi.Kurebahkan tubuh di atas ranjang tepat disebelah Jesica yang tidur membelakangiku. Jesica memang selalu seperti itu tiap merajuk. Padahal dia tahu, aku hanya salah menyebut nama. Karena pikiranku saat itu hanya terisi Umi dan Aisyah. Harusnya dia tahu, aku sedang berkabung. Menghiburku kek, bukan justru merajuk seperti anak kecil begini.Kucoba pejamkan mata, namun bayang-bayang Aisyah bersama
Aku berhenti tepat di depan bangunan bernuansa klasik modern. Lalu aku melangkahkan kaki memasuki bangunan dengan nuansa indah itu."Assalamu'alaikum...," ucapku dan Daniel serentak."Waalaikumsalam," jawab Mbak Bella sambil berjalan ke arah kami."Si kembar bagaimana Mbak? Apakah merepotkan Mbak Bella?" tanyaku tak enak hati.Rasanya canggung jika harus meminta tolong Mbak Bella menjaga kedua putraku. Bukan hanya karena dia kakak Daniel tapi juga mantan atasanku. Rasanya tak sopan jika mantan bawahan meminta tolong kepada atasannya.Meski aku tahu Mbak Bella tak akan pernah mempermasalahkan. Karena kakak kandung Daniel ini sangat merindukan hadirnya tangis bayi, namun Allah belum memberikannya amanah."Mereka aman terkendali,Ais."ucapnya sambil tersenyum."Kalau begitu Aisyah pulang sekarang saja ya Mbak, takut kemalaman."berjalan menuju kamar si kembar di tidurkan."Kata siapa kamu boleh pulang?"Kusatukan kedua alis, tak mengerti maksud perkataan Mbak Bella. Kenapa aku tak boleh pu
Aku berjalan masuk ke dalam kerumunan. Mataku membulat saat melihat lelaki bersimbah darah tergeletak tak berdaya di depanku. Jantungku berdetak tak menentu. Tubuhku luruh di aspal. Bulir bening mengalir dari sudut netra tanpa bisa ku bendung.Ya Allah bagaimana ini?"Tolong dibawa ke rumah sakit Pak, dia ayah saya."ucapku dengan kaki gemetaran.Sontak semua mata tertuju padaku, ada pandangan penuh tanya ada pula yang merasa iba dan kasihan.Dua orang lelaki membopong tubuh besar Om Bram mendekati mobil putih tak jauh dari tempat kecelakaan. Aku duduk di belakang sambil memangku kepala Om Bram."Kenapa di masukkan ke dalam mobil ini Pak?" tanyaku ragu."Tadi saya lihat ayah anda keluar dari mobil ini Mbak." terang salah satu lelaki.Mobil yang sedari tadi mengawasiku adalah mobil Om Bram. Atau jangan-jangan Om Bram yang memata-matai diriku? Untuk apa dia seperti itu? Apa karena dia mencari cela menjauhkanku dengan Daniel?AstagfirullahKenapa berburuk sangka sih Aisyah?"Masa anaknya
Seorang suster datang menghampiriku. Pasti akan menanyakan pendonor darah. Atau aku saja yang menjadi pendonornya? Kebetulan golongan darah kami sama."Keluarga pasien atas nama Bram Dewantara?" tanya suster berhijab putih itu."Iya saya keluarganya.Bagaimana keadaan Om Bram ya sus?""Pasien membutuhkan segera transfusi darah. Apakah sudah mendapatkan darahnya Bu?"BismillahSemoga ini keputusan yang tepat. Dokter tidak melarang berarti aku masih bisa mendonorkan darahku untuk Om Bram."Saya yang akan mendonorkan darah,Sus." ucapku penuh keyakinan."Kalau begitu mari ikut saya Bu,agar bisa memeriksa kesehatan ibu. Semoga saja darah ibu cocok untuk pasien."Ku ikuti setiap langkah suster. Sebenarnya ada rasa khawatir karena aku masih memberi asi secara eksklusif. Semoga tidak ada efek samping untuk asiku.Kutidurkan tubuh di atas kasur khas rumah sakit. Dengan perlahan suster mengambil darah sesuai prosedur yang tepat. Ada rasa ngeri saat melihat peralatannya. Ku alihkan pandanganku ag
Aisyah duduk terdiam di kasur khas rumah sakit. Angannya berkelana memikirkan kedua buah hati yang kini jauh darinya. Apakah mereka rewel? Apakah mereka mau minum susu formula? Ya, karena asip telah habis. Itu yang selalu mengganggu pikiran wanita beranak dua ini. Apalagi si kembar tak pernah jauh dari ibunya.Aisyah tahu Mukhlas dan Mukhlis akan dijaga dengan baik oleh Bella. Tak bisa dipungkiri dalam lubuh hatinya sangat menghawatirkan kedua putranya.Seorang suster berseragam hijau berjalan mendekat. Mengeluarkan alat pengukur tekanan darah dan mulai mengukur tekanan darah Aisyah."Selamat siang Bu Aisyah. Saya ukur tekanan darahnya dulu ya." ucap suster itu ramah.Mengeluarkan sfigmomanometer atau lebih dikenal dengan istilah tensimeter. Segera mengukur tekanan darah Aisyah."Alhamdulillah tekanan darah ibu sudah normal."ucap suster dengan senyum tipis.Aisyah melengkungkan bibirnya hingga seperti bulan sabit. Ia yakin sebentar lagi bisa segera pulang. Karena kondisinya sudah memb
"Kapan kalian menikah?"Tiga kata yang tak pernah kusangka akan secepat ini keluar dari mulut Om Bram. Ini seperti mimpi. Ya Allah,terima kasih.Akan ada pelangi setelah hujan. Kata-kata bijak itu memang benar, setelah ujian bertubi-tubi akhirnya Allah memberikan kebahagian padaku. Menghapuskan setiap lara menggantinya dengan tawa bahagia."Aisyah..." panggilan Om Bram menyentakku dari lamunan."I-iya Om." jawabku tergagap."Jangan panggil Om, biasakan panggil papa, karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian keluarga Dewantara." ucapannya bagai angin surga untukku."Iya Om, eh Pa."Mereka tertawa melihat lidahku yang kaku saat memanggil kata papa."Nah gitu dong sayang, sekarang panggil mama ya bukan tante lagi." mama Daniel datang membawaku dalam pelukannya.Begitu hangat pelukan tante Maria, mengingatkanku kepada bunda dan Umi. Dua wanita yang telah berpulang. Semoga Allah menempatkan tempat terindah untuk mereka. Tanpa terasa bulir bening mengalir membasahi pipiku."Kenapa menan
Pov AdamDuduk di meja kerja dengan beberapa dokumen yang harus kuperiksa. Setelah kepergian Umi, banyak pekerjaan menumpuk dan harus segera aku kerjakan.Melelahkan, tapi tak semelelahkan menghadapai sikap Jesica yang kekanak-kanakan. Setiap bertengkar selalu besembunyi di ketiak papinya.Setelah kepergiannya dari rumah Abi tiga minggu yang lalu. Tak pernah ada lagi kabar darinya. Jesica seperti hilang di telan lautan. Sikapnya yang seperti ini membuatku semakin kesal padanya. Aku bahkan tak pernah memberi kabar atau bahkan mencarinya. Dia yang pergi, tak perlu lagi aku mencarinya. Karena bila aku melakukannya, Jesica akan semakin besar kepala.Tok ... Tok ... Tok.... Suara pintu diketuk dari luar."Masuk...!"Luna, sekertarisku berjalan perlahan masuk ke dalam. Ku perhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala penampilannya membuatku geleng-geleng kepala.Astagfirullah pakaian dengan bahan kurang kenapa dipakai di kantor."Selamat pagi Pak, saya hanya ingin mengingatkan bapak jika