Bab 71"Assalamualaikum, Bu Dela.""Walaikumssalam, Pak Syamsul,""Maaf Bu Dela, boleh mengganggu sebentar waktu Ibu? Saya dan team menuju Jogja, kira-kira tiga jam kedepan sampai sana. Mohon di sharelock, terima kasih,""Alhamdulillah. Baik, Pak."Setelah sambungan terputus segera kukirim lokasi kantor ke ponsel Pak Syamsul. Aku bernafas lega, bersyukur tidak terhingga. Tidak percaya kalau prosesnya secepat ini, semua ini atas kinerja beliau dan team.Berita dari Pak Syamsul bisa mengobati hatiku yang sedang tidak baik, setidaknya aku segera membeli rumah. Kalau terjadi apa-apa aku bisa langsung angkat kaki.Pagi ini tugas kantor segera kukerjakan, supaya kalau rombongan dari Sragen datang tidak mengganggu pekerjaanku.Kulihat laporan bagian distribusi pengiriman barang ke seluruh Indonesia lancar tidak ada hambatan yang berarti. Kuteliti satu persaru untuk membuat laporan jurnal, setelah itu kubuat grafik, ternyata penjualannya meningkat tajam.Aku tersenyum puas, kerjasama antara ma
Bab 72"Andre?" bisikku ketika kulihat laki-laki yang duduk dibelakang kemudi itu orang yang selama ini dicemburui Mas Irfan. Dadaku bergetar kencang, keringat dinginku mengucur deras memenuhi wajah dan seluruh tubuh, lututku terasa tidak bertulang."Dede!" Suaranya berat.Aku seakan mendadak mati rasa, ini akan terjadi perang dunia kedua jika Mas Irfan tahu kalau aku diantar Andre. Tapi aku bisa apa, semua terjadi begitu saja.Ya Robb, aku tidak berdaya. Aku tidak kuasa menolak, karena saat ini aku sedang membutuhkan tumpangan untuk Zaqi. Lindungilah hambamu ini."Aku tidak tega melihat kamu dan bayimu kedinginan di luaran sana. Kalian baik-baik saja 'kan?" Suara khas yang dulu pernah kurindukan.Aku tidak menyanggah, kenyataannya aku kesulitan mencari tumpangan, sementara anakku semakin panas badannya. Andre melihatku dari kaca spion, kemudian menoleh kebelakang lalu pandangannya ke bawah, melihat ujung bajuku yang basah."Bajumu basah, kita mampir ke toko baju dulu. Aku khawatir k
Bab 73"Dela!" Suara khas ibu mertua, wajahnya merah menahan marah. Dadaku bergetar kuat, lututku lemas terasa tulang lepas dari tempatnya, aku seperti kehilangan tenaga.Mas Irfan bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala. Netranya tajam bagaikan pedang yang menghunus tepat di jantungku."Wanita macam apa kamu! Pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suami! Mentang-mentang kamu sudah bekerja, seenaknya kamu jalan bersama orang yang bukan dengan mukrimnya." Omel wanita yang sejak dulu membenciku.Ya Alloh Ya Kareem, dalam hati aku menjerit. Kejam sekali tuduhan ibu mertuaku, aku berusaha menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit hatiku. Netraku mulai mengembun."Maaf, Bu ...""Tidak usah berkelit!" potong wanita yang selalu kuhormati dengan suara kasar. Aku terhenyak, hatiku terasa sakit sekali."Halah, maling tidak mungkin ngaku!" semprotnya lagi. Aku tidak diberi kesempatan untuk membela diri.Mata ibu mertua melotot, tangan kirinya berkecak pinggang, tangan kanan jari telunjukny
Bab 74 POV IRFAN"Fan, mumpung keluarga Nungky datang dari Surabaya, ayuk kita menemuinya," ajak ibu ketika aku akan ke bengkel memeriksa mobil-mobil yang sedang dikerjakan oleh karyawan dan mitra kerjaku."Untuk apa, Bu?" Aku mengerutkan dahi. Bukankah keluarga mereka sering kesini juga, aku sedikit memberi pengertian."Gimana sih Fan! Kamu gak ngerti-ngerti juga maksud Ibumu ini, kamu lelet kaya istrimu!" bentak Ibu.Sebenarnya aku paham maksud wanita yang menjadi pintu surgaku, tapi sengaja aku mengulur waktu.Jujur aku masih ragu dan tidak tega menyakiti Dela dengan cara menduakan dia.Walaupun ada laki-laki yang mengusik istriku, tapi aku masih ingin memastikan. Aku niat memberi kesempatan, siapa tahu hubunganku hangat kembali seperti saat kami masih belum punya anak."Ibu sudah beli oleh-oleh. Nanti setelah ngantar istrimu, kamu cepat pulang, bantu ibu ngemas oleh-oleh ini," titahnya penuh semangat, sambil tangannya menunjuk beberapa bungkusan di dalam tas kresek warna putih.
POV IRFANMobil kuparkirkan di halaman rumah Pugeran, berjajar dengan mobil lain dengan nomor polisi luar kota. Ada tiga mobil yang parkir disitu."Banyak juga tamunya," aku membatin.Ibu turun terlebih dahulu membawa dua jinjing tas, sedangkan aku membawa beberapa dos isi oleh-oleh, harus bolak-balik karena tidak bisa kubawa sekaligus.Fara dan Ilham yang melihatku dan neneknya datang langsung berteriak sambil melonjak kegirangan, mereka berlari kearah kami."Nenek! Papa! Asyik mereka datang!" sambutnya sambil berlari memeluknya sang nenek."Ma, Nenek dan Papa datang!" si kecil ikut membeo juga lari mengikuti kakanya memelukku.Duh, mereka dengan tegas memanggilku Papa, itu memang ibu yang menyuruh. Dan suka cita dua bocil itu dengan bangga berteriak dengan lantang.Aku tidak enak, apalagi di depan keluarga Mbak Nung. Nanti dikira aku sudah menjadi Papa mereka, mana tatapan keluarga Mbak Nung sebegitunya. Aku risih dan salah tingkah. Mbak Nung, dan keluarga besar dari Surabaya berdi
Bab 76"Irfan!" Suara ibu dengan nada tinggi, naik beberapa oktaf, langkahnya terburu-buru. Sepertinya ada berita penting yang akan disampaikan kepada anak kesayangan.Aku berhenti dibalik pintu mengintip dua anak manusia yang sedang berbincang di ruang tamu, membuatku penasaran.Telinga kupasang dengan baik pembicaraan mereka, bisik-bisik hampir aku tidak mendengar. Kira-kira apa yang mereka bicarakan?Wajah Ibu kelihatan bungah, setelah berbisik senyumnya mengembang. Sebaliknya Mas Irfan mengerutkan dahinya, tangannya menggaruk kepalanya sampai diulang berkali-kali.Pertanda dia bingung, sebagai istrinya aku paham kebiasaannya. Aku hanya bisa mengintip melihat gerak-gerik mereka.Ibu menarik tangan Mas Irfan, kemudian mereka duduk berdua, jangkauanku agak dekat sehingga aku bisa mendengar percakapannya."Ya udah, jangan lupa, besok kamu harus menemui Pak Herman sebelum rombongan mereka pulang ke Surabaya.""Ada apa ya, Bu." balas Mas Irfan."Sudahlah datang saja, Ibu juga tidak tah
Bab 77. "Assalamualakum" Dengan suara berat, khas Pak Syamsul."Apa kabar, Pak," jawabku setelah menjawab salamnya."Maaf Bu Dela, saya baru bisa mengabari berhubung kesibukan saya yang padat. Selain itu, pembayaran pembebasan tanah ini sedikit molor karena harus bertahap, banyak sekali yang harus diselesaikan, Bu." Panjang sekali penjelasan Pak Syamsu Notaris dari Sragen."Alhamdulillah, terima kasih Pak Syamsul. Saya maklum dengan kesibukan Bapak, semoga Pak Syamsul diberi kesehatan, Aamiin.""Terima kasih Bu Dela, saya tidak bisa datang untuk menyerahkan ini, terpaksa saya kirim. Uang ibu sudah saya transfer dengan jumlah sesuai yang disepakati, nanti mohon di cek.""Alhamdulillah, sekali lagi terima kasih Pak Syamsul." Ucapku dengan rasa haru dan bahagia.Setelah mengakhiri percakapan dengan Pak Syamsul, aku langsung melorot ke lantai. Sementara tangan kiriku menahan bayi, kemudian kuajak sujud syukur mengucapkan terima kasih kepada sang khalik.Sedetik aku bingung, apa yang
Bab 78POV IRFANAku ingin memperbaiki hubunganku dengan istri tercinta, setelah cemburuku tidak beralasan kepada Andre, aku berani menyebut nama laki-laki itu karena memang aku saja yang terlalu berlebihan.Setelah kejadian di Rumah Sakit, ketika anakku badannya panas tinggi, aku baru terbuka kalau Andre niatnya tulus ingin menolong Dela. Satpam kantor Dela juga mengatakan hal sama, dia sebagai saksi kalau Andre niatnya baik.Apalagi pesan Andre yang terakhir membuatku tersadar, kalau aku sudah tidak sanggup mencintai Dela, dia akan mengambil paksa. Aku tersenyum sinis waktu itu.Setelah kucerna, memang betul kata Andre, buat apa aku menyiksa Dela? Kalau memang sudah tidak sanggup untuk mencintainya, Andre yang bakal mengambil alih.Akhirnya aku tersadar.Sebenarnya awal masalahnya ketika aku disuruh ibu untuk menikahi Mbak Nung. Sehingga membuat aku uring-uringan dan melempar kesalahan itu kepada Dela dan Andre.Hati nuraniku menciptakan opini yang salah, Andre kubuat sebagi kambin