Bab 96 Tamat.Di dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku mengingat kejadian kemaren, dimana aku dituduh selingkuh setelah Mas Irfan mendapat kiriman foto dari temannya.Foto-foto itu diambil dari status Andre, kemudian dikirim ke Mas Irfan, kemaren kudengar seperti itu, ketika ibunya bertanya.Aku membuang nafas kasar.Emang ada yang salah kalau kita foto-foto? Sesaat keningku berkerut, lalu menyalahkan Andre kenapa juga dia pasang status seperti itu.Aku tidak tahu kenapa Mas irfan tidak cerdas, hanya selembar foto akan dijadikan barang bukti perselingkuhan? Dimana selingkuhnya? Aku mengambil gawai lalu kulihat foto yang dikirim Mas Irfan. Kuamati satu-satu, sampai ku zoom. Di dalam foto posisiku duduk dipinggir, Diana di tengah, sedangkan Andre duduk disebelahnya Diana.Aku tersenyum tipis.Kamu lucu dan aneh, Mas. Dengan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal kamu akan segera menceraikanku. Jangan khawatir Mas, sebelum kau cerai aku akan pergi dari kehidupanmu dan ibu, itu ka
Bab 1"Dek, pinjem sebentar suamimu, ya." Suara mbak Nung lewat ponsel. Aku berusaha menelan salivaku. Sejenak aku diam untuk menetralisir emosi yang bergejolak dihati. Pelan-pelan kuambil nafas panjang, lalu kubuang dengan kasar."Dek." Suaranya lagi.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sambil membayangkan kondisi Mbak Nung yang sedang hamil tua, sebenarnya kasihan melihat perutnya yang sudah berat dibawa kemana-mana."Hallo, Dek." Suara manis istri almarhum Mas Fadli kakak iparku."Ya, Mbak Nung." Suaraku kubuat ceria, supaya enak didengar wanita cantik yang sedang menunggu kelahiran anak ke duanya itu."Mas Irfan suruh jemput aku di terminal, ya. Aku sudah tiba sepuluh menit yang lalu," kata Mbak Nung dengan lancar dan jelas. Dia sama sekali tidak mengerti bagaimana perasanku sebagai istrinya Mas Irfan yang selalu dimintai tolong ini dan itu. Juga tidak pernah peduli suamiku sedang sibuk atau santai, pokoknya langsung hajar kalau minta tolong."Ya, Mbak Nung," jawabku, walaupu
Bab 2Bersamaan dengan itu, Mbak Nung muncul dari pintu belakang yang menghubungkan antara rumahku, dan rumah ibu mertua. Sengaja dibuat pintu seperti itu, katanya supaya enak aksesnya."Ayam popnya enak enggak, Dik?" tanya Mbak Nung, dengan senyum yang tulus. Seragam ASN sudah diganti dengan daster longgar. Ditangan kanannya menggelendot Fara, balita cantik yang menggemaskan itu."Enak banget, Mbak. Terima kasih, ya," ucapku. Saking enaknya, sampai aku lupa dengan kekesalanku terhadapnya."Syukurlah kalau enak, Dik. Bisa jadi langganan kalau gitu," katanya sambil duduk di sebelahku.Tidak diipungkiri, Mbak Nung itu orangnya baik, ramah, cantik, dengan rambut hitam lurus sebahu."Iya, enak banget. Terasa bumbunya, beda dengan yang lain," balasku sambil menggerogoti sisa-sisa daging yang menempel di tulang."Ayuk Mbak, sekalian makan," ajak Mas Irfan."Tadi di kantor sudah makan, masih kenyang," balasnya."Fara sudah makan?" tanyaku selanjutnya setelah mencuci tangan. Balita cantik it
Bab 3"Siapa dia?" desaknya."Ibu ..." Suaraku seakan tercekat. Maaf Mas, terpaksa aku mengatakan dengan jujur, bisikku dalam hati. Setelah menyebut seseorang wanita yang melahirkannya, aku merasa bersalah. Seketika wajah Mas Irfan luruh, dia menunduk sedih. Pasti tidak menyangka kalau Ibunya sendiri yang ikut memojokkanku."Mungkin Ibu tidak bermaksud seperti itu, Yang. Kamu yang sabar, ya," rajuknya setelah sekian menit berlalu, sambil memeluk hangat.Tidak terasa air mataku menganak sungai. Aku membiarkan tubuhku dipeluk Mas Irfan sampai tangisku reda. Lalu kususuti air mata dengan jari."Maafkan Ibu ya, Yang." Mas Irfan melepaskan pelukannya, dipandangi wajahku dengan seksama.Akhirnya aku mengangguk. Mas Irfan tersenyum, senyumanya membuat hatiku tenang.***Selepas subuh aku sibuk di dapur akan membuat nasi goreng, pesanan mas Irfan. Kebetulan masih ada nasi sisa semalam. Sayang sekali kalau dikasihkan ayam, karena masih bisa dimanfaatkan, apalagi dibuat nasi goreng untuk sarap
Bab 4Menjelang mahgrib, kudengar mobil masuk halaman rumah. Aku gegas ke depan, mengintip dari balik cendela. Walaupun hati panas dingin, aku tetap ingin melihat mereka.Mas Irfan menggendong Fara yang sedang tidur pulas, Mbak Nung mengikuti dari belakang, tangannya membawa tas kresek warna putih. Kemudian disusul ibu mertua, mereka seperti keluarga yang bahagia, membuatku kian nelangsa.Sungguh, aku sangat cemburu. Aku seperti tidak ada artinya dihadapan mereka, merasa tersisihkan.Mertua yang julid, dan suka mencela. Suami yang selalu dipinjam tanpa memikirkan perasaan istrinya.Aku membuang nafas kasar. Aku sadar kalau aku mempunyai kekurangan, sebagai wanita aku belum sempurna. Kuelus perut yang masih rata, aku juga ingin seperti mbak Nung, mempunyai buah hati.Memang aku bisa apa? Semua ini karena kehendak Nya. Kami belum diizinkan, elum dipercaya mempunyai momongan. Dokter kandungan bilang, aku dan Mas Irfan sehat, tidak ada masalah. Itu yang membuat kami tenang.Rupanya ibu me
Bab 5Kulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak. Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan
Kulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak. Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan tergop
Bab 7Aku terbelalak, ketika barang yang aku susun di motor sudah setinggi gunung. Mbok Rah mengambil tali rafia untuk diikat ulang, takut kalau ditengah jalan jatuh berantakan."Pegangi dulu ya, Mbok. Aku ambil ponsel dulu, takut kenapa-napa di jalan," titahku. Kulihat Ibu mertua mengawasi dari jauh. Kuikat ulang seperti yang dianjurkan Mbok Rah, setelah rapi kugoyangkan, ternyata aman. Aku melangkah siap mengendarai. Betapa kagetnya masih ada barang yang belum terangkut. Satu tas kresek yang hampir ketinggalan, akhirnya nongkrong didepan, diatas tabung gas yang terletak di tempat bagian kaki."Hati-hati, ya, Neng Dela," bisik Mbok Rah memberi semangat."Ya, Mbok. terima kasih," Aku duduk agak maju karena terdesak barang yang tersusun meninggi. Sedang yang didepan, ada tabung gas, setumpuk tas kresek , sehingga aku harus mendongak kalau melihat jalan.Bissmillah...Sesampai di perempatan sebelum belok ke Masjid, motor tiba-tiba macet, untung lalu lintas tidak ramai, mesin mendadak