Bab 5
Kulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak.Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan tergopoh-gopoh, handuknya dililitkan di tubuhnya bagian bawah, sedangkan badannya masih basah.Gawai kuserahkan kepada Mas Irfan, tanganku masih gemetar."Ya, Bu..." Mas Irfan merendahkan suaranya, dan menundukkan pandangan.Aku hanya bisa memperhatikan mimik wajah suamiku. Tidak tahu apa yang kira-kira dibicarakan antara Ibu dan anak bungsunya."Apa kang Nono gak bisa bantu, Bu? Wajah Mas Irfan tampak memelas. Aku melengos, sudah bisa ditebak.Kalau tidak Ibu, Mbak Nung sedang minta tolong."Ya udah, tunggu sebentar, kalau gitu." Mas Irfan menghela nafas panjang, kemudian dibuang kasar. Netranya melihatku sayu, aku tetap diam menunggu apa yang akan dibicarakan kepadaku. Kutelan salivaku walupun sulit."Yang," bisiknya lirih."Hmm.""Ibu nyuruh aku pulang sebentar, lampu rumah konslet." Sorot matanya menyatakan permintaan maaf yang besar.Aku diam membeku."Kasihan, Yang. Mereka semua wanita." Mas Irfan mengambil kedua tanganku, kemudian ditaruh di dadanya. Dia memohon supaya diizinkan pulang sebentar, dan berjanji kalau sudah selesai urusannya segera kembali lagi kesini.Aku mengangguk.Kuhalau emosiku. Disisi lain Mas Irfan adalah anak laki-laki yang bertanggung jawab atas Ibunya, disisi lain aku juga membutuhkannya sebagai suami.Di dalam agama Islam ibu lah yang diutamakan. Aku sadar dan maklum, tetapi tidak begini juga. Untungnya kami hanya menginap di kawasan wisata kaliurang yang jaraknya bisa ditempuh dengan motor sekitar satu jam. Seandainya kami menginap di luar kota, apakah Ibu akan melakukan hal yang sama ķalau terjadi seperti ini?Entahlah...Aku mengantarkan bayangan Mas Irfan naik vespa dari balik cendela. Setelah bayangannya menghilang, pandanganku beralih ke gunung Merapi yang menunjukkan semburat merah kena matahari di sore hari. Kelihatan cantik dan anggun.Hatiku sedikit terhibur dengan suasana yang syahdu ini. Kuredam emosiku dengan istighfar sambil menikmati indahnya karya Sang Pencipta, Gunung Merapi.Untuk membunuh kesepian, kuambil gawai. Kubuķa satu persatu chat yang masuk, ternyata banyak juga. Dari group SMP, SMA dan juga teman kuliah. Kulihat ada nama mbak Nung dideretan yang meng-chat aku.Iseng-iseng kubuka.[Dik, pinjem suamimu sebentar. Ini listrik konslet, tolong, ya. Kasihan Ibu, beliau kan takut kegelapan]Kulihat dikirim beberapa menit yang lalu, di jam yang sama ketika ibu mertua tadi telepon. Bukannya dirumah ada lampu emergency, ada lilin? Batinku. Ya, sudahlah.[Sudah Mbak, Mas Irfan otw] Akhirnya kubalas juga chat dari menantu kesayangan ibu mertua.Segera kuletakkan gawaiku, aku tidak tertarik membaca isi chat dari group teman alumni, isinya hanya menyapa dan saling mengshare berita-berita yang sama, sehingga tidak menghiburku bahkan membosankan.Kusandarkan tubuhku, kuhela nafas panjang, lalu kulepaskan pelan-pelan. Aku heran, kenapa Ibu Kartini--mertuaku tidak sayang padaku, ya? Lebih sayang dengan menantunya yang bernama mbak Nungky.Apa salahku? sepertinya Ibu mertuaku sangat membenciku, aku memang tidak secantik mbak Nung. Pegawai juga bukan, orang tuaku hanya petani di kampung. Momongan juga bekum ada.Tetapi apa itu yang membuat Ibu membenciku?Tiba-tiba aku ingat kedua orang tua yang ada di kampung. Mereka tidak mengenal handhpone, gadged, android, sehingga aku kesulitan kalau ingin menghubungi mereka. Lebih-lebih kalau rindu seperti ini, bingung kalau sekedar ingin tahu kabar mereka.Untungnya setiap tiga bulan sekali Mas Irfan mengantarkan pulang ke orang tuaku, yang rumahnya tidak jauh, hanya ditempuh sekitar tiga jam kalau naik kendaraan roda empat.Aku menghela nafas panjang.Kulihat gawai, siapa tahu mas Irfan mengabarkan sesuatu, ternyata tidak. Sudah menjadi kebiasaannya, dia tidak pernah berkabar, kalau pergi. Kadang terpaksa aku yang memulai chat kepadanya, menanyakan ini, itu. Tetapi jangan berharap segera dibalas, ya, harus bersabar.Ingin sekali menelepon mas Irfan. Namun, aku masih trauma, takut kalau yang menerima Ibu mertua. Disangka aku tidak membolehkan mas Irfan menolong Ibunya.Padahal aku hanya ingin tahu keadaannya. Seperti kejadian kemaren ketika pemilik mobil marah-marah, aku berusaha menghubungi mas Irfan, tapi akhirnya salah paham dengan Ibu.Aku yang kena marah, mungkin aku harus lebih bersabar menghadapi Ibu mertua seperti itu. Kuharap disaat tertentu mas Irfan membelaku, bukan malah sebaliknya.Kalau tahu ditinggal seperti ini lebih baik aku dirumah saja, buat apa aku tidur sendirian disini? Bukankah tujuan kita akan menikmati bersama malam yang indah di kaliurang.Entahlah, sedih sekali. Aku tidak mau rasa sepi ini menggelayuti perasaanku. Akhirnya aku tertidur setelah selesai salat isya'.Aku tidak tahu jam berapa mas Irfan datang, yang aku tahu dia sudah tidur disampingku. Ketika aku bangun jam sudah menunjukkan pukul 4, menjelang subuh.Dia tidur pulas, terdengar dengkuran halus, aku iba melihatnya. Kubelai rambutnya, kutatap wajah tampan suamiku. Hidungnya mancung, rahang yang kuat, dan dihiasi kumis tipis.Pasti kamu capek sekali ya, Mas. Bisikku. Aku melenguh kesal, acara yang seharusnya kita nikmati berdua semua menjadi berantakan.Aku berusaha bangkit akan ke kamar mandi. Tiba-tiba tanganku dicengkeram kuat, lalu ditarik kepelukan Mas Irfan, aku terjatuh di dadanya yang tipis. Akupun pasrah.***Selepas salat subuh, aku mebuatkan susu jahe kesukaannya, sekaligus membuat mie instan. Terlalu pagi kalau kita pesan di kantin sebelah penginapan.Ya sudah seadanya saja, sementara untuk mengganjal isi perut yang kosong."Semalam datang jam berapa, Mas?" tanyaku sambil melepas handuk pembungkus rambutku yang basah."Setengah satu. Gak tega mbangunin kamu, tidurmu pulas, pakai dengkur segala.""Bohong ah," cubitku. Aku tidak terima dituduh mendengkur."Iya, serius," godanya sambil menoel hidungku.Aku senyumin saja, dia kadang suka cuek, polos, genit, kadang juga romantis. Begitulah, yang pasti Aku bahagia, apalagi Mas Irfan sudah menjalankan sebagai suami yang luar biasa, bisa membahagiakan aku sebagai istrinya.Semoga laki-laki yang baru saja membuat aku melambung tinggi ini bisa menjadi imamku sampai jannah, Aamiin. Selalu itu doaku.Mas Irfan memelukku dari belakang."Jadilah ìstri yang setia, walaupun Alloh belum memberikan izin titipan bayi mungil yang kita harapkan, ya, Yang." bisiknya lembut di telingakuTidak terasa pandanganku kabur, aku terharu mendengar ucapannya Memang aku harus banyak bersabar karena yang kuhadapi nantinya, kakak ipar dan Ibu mertuaku sendiri.Aku tidak pernah berani mengungkapkan isi hatiku yang paling dalam, berkaitan dengan Ibu mertua kepada Mas Irfan. Biar dia tahu sendiri sifat wanita yang melahirkannya itu.Selama ini aku memang tidak pernah melawan Ibu mertua, apapun ucapannya aku selalu menahan emosiku. Bagiku seorang Ibu ataupun Ibu mertua itu wali Alloh, orang yang harus selalu dihormati."Yang ...BersambungKulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak. Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan tergop
Bab 7Aku terbelalak, ketika barang yang aku susun di motor sudah setinggi gunung. Mbok Rah mengambil tali rafia untuk diikat ulang, takut kalau ditengah jalan jatuh berantakan."Pegangi dulu ya, Mbok. Aku ambil ponsel dulu, takut kenapa-napa di jalan," titahku. Kulihat Ibu mertua mengawasi dari jauh. Kuikat ulang seperti yang dianjurkan Mbok Rah, setelah rapi kugoyangkan, ternyata aman. Aku melangkah siap mengendarai. Betapa kagetnya masih ada barang yang belum terangkut. Satu tas kresek yang hampir ketinggalan, akhirnya nongkrong didepan, diatas tabung gas yang terletak di tempat bagian kaki."Hati-hati, ya, Neng Dela," bisik Mbok Rah memberi semangat."Ya, Mbok. terima kasih," Aku duduk agak maju karena terdesak barang yang tersusun meninggi. Sedang yang didepan, ada tabung gas, setumpuk tas kresek , sehingga aku harus mendongak kalau melihat jalan.Bissmillah...Sesampai di perempatan sebelum belok ke Masjid, motor tiba-tiba macet, untung lalu lintas tidak ramai, mesin mendadak
Bab 8Aku terbangun dari tidur siang, netraku masih sedikit kabur. Aku berusaha mengumpulkan ingatan, sambil mengerjapkan kedua netraku. Bayangan laki-laki yang sangat kukenal, duduk disampingku."Mas Irfan, sudah pulang?" tanyaku setelah ingatan dan pandanganku pulih.Laki-laki yang selama ini kukagumi itu mengangguk, duduknya beringsut lebih dekat, lalu memelukku. Kaki dan tanganku dipijat bergantian, sambil berkata dengan mimik yang lucu."Aduh kacian, pasti capek ya, cini dipijitin cama Papa, yuuuk," celotehnya dengan mimik yang lucu.Aku termenung, dalam hati kesal. Namun, setelah melihat wajahnya yang polos, dan bercandanya yang garing, aku berusaha memberikan senyum ala kadarnya supaya hatinya senang."Udah makan, Mas?" tanyaku, sambil mengingat kira-kira makan pagi apa siang, ya?Aku suka bingung, kalau bangun tidur mendadak seperti ini.Mas Irfan menggeleng."Pingin makan ditemani, Cayang," jawabnya."Oh, ayuk. Eh, ini makan siang, ya," cetusku, masih ragu-ragu."Sana! Basuh m
Bab 9 Aku menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan setelah menerima telepon dari belahan jiwaku. Mengabarkan kalau dia sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan pagi ini. Setelah itu dia mengirim foto keadaan motor yang mengangkut barang dagangan yang dibeli pelanggan, minta diantar kerumahnya.Selintas terbersit wajah ayu, pendamping hidupku, Dela Padma. Aku sering merasa bersalah kepadanya. Disaat Dela membutuhkan bantuan, aku tidak ada disampingnya. Ada saja alasanku. Sedih melihat perjuangan yang tidak ada hentinya.Tidak lama kemudian, Dela mengirim foto kondisi motor yanģ mengalami ban kempes. Hari ini dia sedang banyak ujian, aku sedih melihatnya, dan tidak bisa hadir membantu kesulitannya. Hanya bisa mengarahkannya, aku yakin Dela wanita mandiri, sehingga ujian itu bisa dilewati.Dela sudah banyak berkorban untukku, kadang aku prihatin kalau mendengar cerita dari Mbok Rah. Ibu selelu memusuhinya, apa yang dilakukan selalu salah dimata Ibu. Aku mengenal sifat Ibu k
Bab 10 "Bawa ini," kata ibu kepada Mbok Rah, sambil menyerahkan mangkok penuh isi sayur brongkos. Diambil juga telur asin dua butir, dan beberapa potong tempe goreng.Aku hanya bisa menelan salivaku, bingung mau bicara apa, ketika Ibu begitu kalap mengambil macam-macam tapi katanya masakanku tidak enak.Kulihat Mas Irfan membulatkan kedua matanya, mungkin takut kalau sayur itu akan dibuang. Aku menahan senyum. Tadi Ibu mengambil telur asin dan tempe goreng, aku yakin itu tidak akan dibuang. Semoga untuk pelengkap makan siangnya.Kutarik lengan Mas irfan ketika akan mengejar Ibu yang pulang tanpa pamit. Aku memberi sinyal menggelengkan kepala, dengan maksud supaya membiarkan saja."Kalau dibuang gimana, Yang." ada rasa kekawatiran di nada suamiku."Gak mungkin," aku menyela."Ibu orangnya nekad," bisiknya."Tadi membawa lauk lengkap, gak mungkin dibuang," jelasku.Mas Irfan mengernyitkan alis, seakan memikirkan sesuatu, lama sekali dia terdiam, setelahnya baru manggut-manggut."Oh iy
Bab 11[Kapan hari liburmu, Del?] chat dari Diana teman kuliahku. Hanya dia temanku yang tinggal di Yogja, yang lain diboyong suaminya, menyebar diseluruh Indonesia, walaupun saling berjahuan komunikasi tetap berjalan kewat group aplikasi hijau.Aku langsung mengetik...[Emangnya kenapa? Sewaktu-waktu aku bisa kok ambil libur, kok][Oh, ya? Gitu ya, kalau diambil menantu oleh sultan?] diiringi stiker mengejek[Sultan Hamengkubuwono kw] balasku, diiringi stiker gambar tertawa. [Ayuk kita ketemauan di Es Murni, tempat kita nongkrong dulu, sambil nostalgia] ajakku.[Ayuk, siapa takut?.Jam berapa?"][Besok sore, habis ashar. Selepas toko mertuaku tutup] Ajakku, walaupun belum minta izin Mas Irfan, aku sudah memutuskan sendiri.[Deal ya]Kuletakkan kembali ponsel diatas nakas, kutunda dulu rasa rindu kepada Bapak dan Ibu yang ada di kampung. Semoga pertemuan dengan Diana bisa mengobati rasa kangenku kepada mereka."Kenapa senyum-senyum," Mas Irfan keluar dari kamar mandi, hanya dibalut
Bab 12Sampai di perempatan aku bingung harus menuju kearah mana, kalau pulang aku tidak mau diomelin ibu mertua. Kalau kembali ke sekolahan tidak mungkin, karena sudah sepi, tidak ada satu guru maupun murid disana. Lalu aku haru mencari kemana?Secara tidak sadar, motor kubelokkan kekanan. Aku belum mau pulang. Akan aku cari sekali lagi, siapa tahu bisa menemukan balita cantik keponakanku itu. Setidaknya ada petunjuk, supaya ada jawaban kalau bertemu dengan Ibu mertua."Faraa, kamu ada dimana, Sayang?" bisikku berkali-kali. Terbayang wajah nya imut dengan lesung pipit dan rambut kriwil.Motorku masih menelusuri jalan kecil menuju selokan, aku tidak sadar sudah sangat jauh dari jangkauan. Gak pa-pa, siapa tahu aku menemukan petunjuk keberadaan Fara, begitu tekadku.Duijung selokan mataram, aku mengurangi kecepatan motor matic warna merah, lalu kutepikan. Kulihat banyak motor yang parkir disitu. Ada apa ini? Ada polisi yang berjaga, kulihat ada team SAR, ada beberapa wartawan.Aku men
Bab 13Aku masih menunduk, menunggu saat yang tepat untuk beringsut membantu Mbok Rah melayani pembeli. Lewat ekor mata, aku melihat Kang Nono dan Mbok Rah sibuk memindahkan barang ke motor, lalu mengikatnya.Aku ingin lari menjauh dari Ibu mertua lalu membantu mereka, aku rela capai asal tidak mati gaya seperti ini. Badanku kaku, gigiku kering karena mulut sedikit kubuka, apalagi perasaanku hampa."Sudah, Bu?" akhirnya kuberanilan dirii untuk mengucapkan kalimat itu, ketika Ibu mertua menuju meja kasir karena mbok Rah menyodorkan uang minta kembalian."Ya!" jawabnya ketus. Aku menghela nafas panjang, rasanya lega walaupun nadanya tidak mengenakkan hati. Kuikuti langkah wanita yang dipanggil Ibu oleh suamiku, dengan sorot mata iba. Baru kusadari Ibu berjalan terseok menuju meja kasir. Aku tersikap dengan cara berjalannya."Apa gula Ibu sedang naik?" batinku prihatin.Aku balik badan membantu mbok Rah sebentar, karena pembeli banyak yang antri. Setelahnya aku pura-pura memberesi pir