Share

Bab 7 # Ujian yang bertubi-tubi

Bab 7

Aku terbelalak, ketika barang yang aku susun di motor sudah setinggi gunung. Mbok Rah mengambil tali rafia untuk diikat ulang, takut kalau ditengah jalan jatuh berantakan.

"Pegangi dulu ya, Mbok. Aku ambil ponsel dulu, takut kenapa-napa di jalan," titahku. Kulihat Ibu mertua mengawasi dari jauh.

Kuikat ulang seperti yang dianjurkan Mbok Rah, setelah rapi kugoyangkan, ternyata aman. Aku melangkah siap mengendarai. Betapa kagetnya masih ada barang yang belum terangkut.

Satu tas kresek yang hampir ketinggalan, akhirnya nongkrong didepan, diatas tabung gas yang terletak di tempat bagian kaki.

"Hati-hati, ya, Neng Dela," bisik Mbok Rah memberi semangat.

"Ya, Mbok. terima kasih,"

Aku duduk agak maju karena terdesak barang yang tersusun meninggi. Sedang yang didepan, ada tabung gas, setumpuk tas kresek , sehingga aku harus mendongak kalau melihat jalan.

Bissmillah...

Sesampai di perempatan sebelum belok ke Masjid, motor tiba-tiba macet, untung lalu lintas tidak ramai, mesin mendadak berhenti. Aku segera menepikan moror, kukayuh dengan kedua kakiku.

Ada apa ini? Hatiku was-was, walaupun suamiku punya bengkel, aku tidak tahu tentang mesin. Seharusnya tidak rusak, karena Mas Irfan rajin merawat motor-motornya

"Astaghfirullah aladzin, kehabisan bensin," ucapku lirih, namun bisa didengar orang yang sedang parkir tak jauh dariku.

"Ya ampun, Mbak. Trus giman itu, harus diturunkan saru persatu barangnya, supaya bisa isi bensin," ujar salah satu yang nongkrong didekat situ.

Duh, betul juga kata bapak itu, gimana cara ngisi bensinya? Melepaskan ikatan rafia, menurunkan satu persatu, lalu dinaikkan lagi? Rasanya pegel membayangkannya.

Kenapa tadi tidak kuperiksa dulu bensinya? Disinilah kadang aku tidak teliti, grusa-grusu dan suka mengeluh. Dimana beli bensinnya? Aku tidak hafal daerah sini.

Setelah kuparkir, kuambil gawai, menghubungi mas Irfan. Seharusnya jam segini dia sudah pulang dari mengantar mbak Nung dan Fara sekolah, siapa tahu bisa menyusulku.

Oh, ya. mas Irfan biasanya punya simpanan bensin dirumah, bisa minta tolong disusulkan kesini. Atau minta tolong suruh belikan, atau menyusulku kesini. Atau apalah solusinya.

"Halo, Mas..." Telepon sudah tersambung.

"Apa, Yang?" suara laki-laki manis diseberang sana.

"Posisi dimana, Mas?" tanyaku.

"Disekolah Fara, dia ngambeg gak mau ditinggal. Minta ditungguin, kemaren dinakalin temannya," jelasnya enteng.

"Apa?" teriakku tanpa kusadari membuat orang yang ada disekitarku menoleh. Sorot mata mereka nampak iba. Hufg!.

"Emang kenapa, Yang?" suara mas Irfan masih kalem, padahal teriakanku melebihi gemuruhnya gunung berapi.

"Kang Nono gak masuk, aku antar barang ke katering Bu Santi, sampai di perempatan Masjid motornya macet!" seruku dengan hati yang dongkol.

Kutekan kamera, kuambil beberapa foto, lalu kukirimkan, supaya tahu kondisi istrinya. Sedetik kemudian sudah dilihat.

"Astaghfirullah aladzin, kamu bawa barang sebanyak itu, Yang?" suaranya cemas.

Aku berusaha menelan salivaku.

Fara rewel? Kamu juga yang harus mengurusi, Mas? bisikku dalam hati. Lengkap sudah penderitaan ini, lalu aku kebagian apa darimu, Mas. Please, tolong!

Aku tidak memjawab, mataku berkaca-kaca. Kugigit bibirku untuk mengurangi rasa sedihku. Beruntung aku memakai masker, helm, kaca mata hitam, sehingga tidak ada yang tahu wajahku.

"Yang, hallo...Yang, denger gak?" teriaknya.

Aku masih diam terpaku.

"Yang, denger...! Dua rumah lagi itu sudah sampai di katering Bu Santi. Disitu ada papan nama katering dan nomor yang bisa dihubungi, kelihatan gak?" serunya.

Aku celingukan mencari papan nama yang dimaksud mas Irfan. Benar juga, tidak jauh aku berdiri ada papan nama katering Bu Santi, ada nomornya yang bisa dihubungi.

"Ya, kelihatan, terima kasih," jawabku akhirnya dengan perasaan dongkol.

Ponsel kutekan kembali. Segera kuketik angka yang tertera dipapan itu, walaupun agak jauh, aku masih bisa menangkap dengan jelas.

Tidak lama kemudian, dua karyawan laki-laki mendatangiku. Mengambil barang dengan sekali angkut. Rasanya lega sekali, sekalian aku bertanya kepada mereka penjual bensin yang terdekat.

Katanya sekitar seratus meter ada warung madura yang menjual bensin, buka 24 jam. Oh, ternyata tidak jauh juga, baiklah. Setelah barang yang bertengger di motorku habis, aku berjalan menuntun motor ke warung madura.

Masih untung aku membawa dompet, untuk membayar bensin, sehingga aku bisa pulang. Namun, perjalananku tidak cukup disitu, motor terasa oleng, kelihatannya ban belakang kempes.

Apalagi ini? aku segera menghentikan motorku dan menepi. Betul sekali, ban belakang kempes, mungkin tadi aku melindas paku, sehingga langsung kempes. Hari ini cukup lelah rasanya.

Gara-gara mbak Nung, Fara, kang Nono. Hugf! Aku kesal sekali.

"Bocor Mbak?" tanya pengendara lain yang kebetulan berhenti didekatku.

Aku mengangguk. Dia menunjukkan tempat tambal ban diselatan pasar Sleman unit 2. Agak jauh, sekitar 500 meter, kearah selatan.

Gawaiku bergetar, kulihat dari Mas Irfan. Kebetulan sekali aku juga akan menghubungi dia, mau tanya tempat tambal ban, karena dia orang sini pasti tahu semuanya.

"Sudah aman, Yang?"

"Aman, sekarang ban belakang kempes," jawabku kesal. Tak lupa segera kukirim beberapa foto tentang ban belakang yang kempes.

Tidak lama kemudian Mas Irfan share foto ban yang sudah di zoom, kelihatan kalau ada paku besar yang menancap.

[Kena paku ni, Yang. Bawa ke tambal ban gih. Coba jalan ke arah selatan, dekat pasar unit 2]

[Iya, barusan dikasih tau orang] balasku lewat chat juga.

***

Sampai di warung kelontong, wajah ibu sudah tidak berbentuk. Aku sampai ketakutan melihatnya, hari ini aku menjadi orang yang kurang beruntung.

"Kok lama sekali, rumah katering Bu Santi mana yang kau antar, ha?" sambutnya ketika aku laporan kalau aku sudah pulang.

"Tadi kehabisan bensin, Bu," jawabku.

"Seharusnya kamu periksa dulu sebelum dipakai, sehingga tidak begini caranya. Tuh, banyak yang antri," ketusnya. Duh, salah lagi.

"Ada yang jual bensin didaerah situ, kok kamu gak kepikiran!" Masih dengan nada yang ketus.

Rasanya percuma kalau aku mengadu, apalagi memberikan kronologisnya. Gak bakalan diterima!

"Ban belakang juga kempes, kena paku, Bu," kataku pelan, maunya membela diri supaya tidak di salahkan terus menerus.

Kali ini tidak menjawab, namun kalau dilihat wajahnya sangat kesal. Seharusnya aku yang kesal, harus mengalami ini dan itu, kenapa tetap saja tidak ada pujian, atau ucapan terima kasih, malah sebaliknya.

"Tuh bantu Mbok Rah, banyak yang antri," titahnya.

Aku segera beringsut kedepan, lebih baik aku membantu melayani pembeli, gak pa-pa capai asal jangan menghadap ibu mertua yang sedang tidak bersahabat.

Memang terasa berat kalau kang Nono tidak masuk, setiap ada yang beli beras karung besar, galon, tabung gas dari yang melon, warna pink sampai yang warna biru harus kuangkat sendiri, kadang dibantu Mbok Rah. Paling kesal kalau ada yang minta diantar sampai rumah.

"Pembeli adalah raja! Sehingga harus kita layani dengan baik!" ketus ibu mertua.

Disinilahi aku merasa capai. Itu juga tidak ada penghargaan dari mertua, bahkan tetap dinyinyiri.

Ketika adzan luhur sudah terdengar, aku segera pamit pulang istirahat. Bagusnya di warung kelontong Ibu mertua ada jam istirahat, satu jam untuk makan siang dan salat. Warung buka kembali pada jam 13.00.

Selesai salat kuselonjorkan kakiku, mataku kupejamkan, kunikmati waktu istirahat yang hanya sebentar. Kutenangkan pikiranku, kuhembuskan nafas pelan-pelan....1,2,3 aku ingin tidur sejenak.

.

Bersambung

Tinggalkan jejak kebaikan, supaya author bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ibu Sigit
kasihan ya..
goodnovel comment avatar
Susi Munsiah
Della jgn pasrah aja berdoalah k Allah SWT, gmn mau unya qnak kalo tiap hati stres dan tertekan
goodnovel comment avatar
Nurul Qamariah
lanjut yaaang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status