Bab 7Aku terbelalak, ketika barang yang aku susun di motor sudah setinggi gunung. Mbok Rah mengambil tali rafia untuk diikat ulang, takut kalau ditengah jalan jatuh berantakan."Pegangi dulu ya, Mbok. Aku ambil ponsel dulu, takut kenapa-napa di jalan," titahku. Kulihat Ibu mertua mengawasi dari jauh. Kuikat ulang seperti yang dianjurkan Mbok Rah, setelah rapi kugoyangkan, ternyata aman. Aku melangkah siap mengendarai. Betapa kagetnya masih ada barang yang belum terangkut. Satu tas kresek yang hampir ketinggalan, akhirnya nongkrong didepan, diatas tabung gas yang terletak di tempat bagian kaki."Hati-hati, ya, Neng Dela," bisik Mbok Rah memberi semangat."Ya, Mbok. terima kasih," Aku duduk agak maju karena terdesak barang yang tersusun meninggi. Sedang yang didepan, ada tabung gas, setumpuk tas kresek , sehingga aku harus mendongak kalau melihat jalan.Bissmillah...Sesampai di perempatan sebelum belok ke Masjid, motor tiba-tiba macet, untung lalu lintas tidak ramai, mesin mendadak
Bab 8Aku terbangun dari tidur siang, netraku masih sedikit kabur. Aku berusaha mengumpulkan ingatan, sambil mengerjapkan kedua netraku. Bayangan laki-laki yang sangat kukenal, duduk disampingku."Mas Irfan, sudah pulang?" tanyaku setelah ingatan dan pandanganku pulih.Laki-laki yang selama ini kukagumi itu mengangguk, duduknya beringsut lebih dekat, lalu memelukku. Kaki dan tanganku dipijat bergantian, sambil berkata dengan mimik yang lucu."Aduh kacian, pasti capek ya, cini dipijitin cama Papa, yuuuk," celotehnya dengan mimik yang lucu.Aku termenung, dalam hati kesal. Namun, setelah melihat wajahnya yang polos, dan bercandanya yang garing, aku berusaha memberikan senyum ala kadarnya supaya hatinya senang."Udah makan, Mas?" tanyaku, sambil mengingat kira-kira makan pagi apa siang, ya?Aku suka bingung, kalau bangun tidur mendadak seperti ini.Mas Irfan menggeleng."Pingin makan ditemani, Cayang," jawabnya."Oh, ayuk. Eh, ini makan siang, ya," cetusku, masih ragu-ragu."Sana! Basuh m
Bab 9 Aku menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan setelah menerima telepon dari belahan jiwaku. Mengabarkan kalau dia sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan pagi ini. Setelah itu dia mengirim foto keadaan motor yang mengangkut barang dagangan yang dibeli pelanggan, minta diantar kerumahnya.Selintas terbersit wajah ayu, pendamping hidupku, Dela Padma. Aku sering merasa bersalah kepadanya. Disaat Dela membutuhkan bantuan, aku tidak ada disampingnya. Ada saja alasanku. Sedih melihat perjuangan yang tidak ada hentinya.Tidak lama kemudian, Dela mengirim foto kondisi motor yanģ mengalami ban kempes. Hari ini dia sedang banyak ujian, aku sedih melihatnya, dan tidak bisa hadir membantu kesulitannya. Hanya bisa mengarahkannya, aku yakin Dela wanita mandiri, sehingga ujian itu bisa dilewati.Dela sudah banyak berkorban untukku, kadang aku prihatin kalau mendengar cerita dari Mbok Rah. Ibu selelu memusuhinya, apa yang dilakukan selalu salah dimata Ibu. Aku mengenal sifat Ibu k
Bab 10 "Bawa ini," kata ibu kepada Mbok Rah, sambil menyerahkan mangkok penuh isi sayur brongkos. Diambil juga telur asin dua butir, dan beberapa potong tempe goreng.Aku hanya bisa menelan salivaku, bingung mau bicara apa, ketika Ibu begitu kalap mengambil macam-macam tapi katanya masakanku tidak enak.Kulihat Mas Irfan membulatkan kedua matanya, mungkin takut kalau sayur itu akan dibuang. Aku menahan senyum. Tadi Ibu mengambil telur asin dan tempe goreng, aku yakin itu tidak akan dibuang. Semoga untuk pelengkap makan siangnya.Kutarik lengan Mas irfan ketika akan mengejar Ibu yang pulang tanpa pamit. Aku memberi sinyal menggelengkan kepala, dengan maksud supaya membiarkan saja."Kalau dibuang gimana, Yang." ada rasa kekawatiran di nada suamiku."Gak mungkin," aku menyela."Ibu orangnya nekad," bisiknya."Tadi membawa lauk lengkap, gak mungkin dibuang," jelasku.Mas Irfan mengernyitkan alis, seakan memikirkan sesuatu, lama sekali dia terdiam, setelahnya baru manggut-manggut."Oh iy
Bab 11[Kapan hari liburmu, Del?] chat dari Diana teman kuliahku. Hanya dia temanku yang tinggal di Yogja, yang lain diboyong suaminya, menyebar diseluruh Indonesia, walaupun saling berjahuan komunikasi tetap berjalan kewat group aplikasi hijau.Aku langsung mengetik...[Emangnya kenapa? Sewaktu-waktu aku bisa kok ambil libur, kok][Oh, ya? Gitu ya, kalau diambil menantu oleh sultan?] diiringi stiker mengejek[Sultan Hamengkubuwono kw] balasku, diiringi stiker gambar tertawa. [Ayuk kita ketemauan di Es Murni, tempat kita nongkrong dulu, sambil nostalgia] ajakku.[Ayuk, siapa takut?.Jam berapa?"][Besok sore, habis ashar. Selepas toko mertuaku tutup] Ajakku, walaupun belum minta izin Mas Irfan, aku sudah memutuskan sendiri.[Deal ya]Kuletakkan kembali ponsel diatas nakas, kutunda dulu rasa rindu kepada Bapak dan Ibu yang ada di kampung. Semoga pertemuan dengan Diana bisa mengobati rasa kangenku kepada mereka."Kenapa senyum-senyum," Mas Irfan keluar dari kamar mandi, hanya dibalut
Bab 12Sampai di perempatan aku bingung harus menuju kearah mana, kalau pulang aku tidak mau diomelin ibu mertua. Kalau kembali ke sekolahan tidak mungkin, karena sudah sepi, tidak ada satu guru maupun murid disana. Lalu aku haru mencari kemana?Secara tidak sadar, motor kubelokkan kekanan. Aku belum mau pulang. Akan aku cari sekali lagi, siapa tahu bisa menemukan balita cantik keponakanku itu. Setidaknya ada petunjuk, supaya ada jawaban kalau bertemu dengan Ibu mertua."Faraa, kamu ada dimana, Sayang?" bisikku berkali-kali. Terbayang wajah nya imut dengan lesung pipit dan rambut kriwil.Motorku masih menelusuri jalan kecil menuju selokan, aku tidak sadar sudah sangat jauh dari jangkauan. Gak pa-pa, siapa tahu aku menemukan petunjuk keberadaan Fara, begitu tekadku.Duijung selokan mataram, aku mengurangi kecepatan motor matic warna merah, lalu kutepikan. Kulihat banyak motor yang parkir disitu. Ada apa ini? Ada polisi yang berjaga, kulihat ada team SAR, ada beberapa wartawan.Aku men
Bab 13Aku masih menunduk, menunggu saat yang tepat untuk beringsut membantu Mbok Rah melayani pembeli. Lewat ekor mata, aku melihat Kang Nono dan Mbok Rah sibuk memindahkan barang ke motor, lalu mengikatnya.Aku ingin lari menjauh dari Ibu mertua lalu membantu mereka, aku rela capai asal tidak mati gaya seperti ini. Badanku kaku, gigiku kering karena mulut sedikit kubuka, apalagi perasaanku hampa."Sudah, Bu?" akhirnya kuberanilan dirii untuk mengucapkan kalimat itu, ketika Ibu mertua menuju meja kasir karena mbok Rah menyodorkan uang minta kembalian."Ya!" jawabnya ketus. Aku menghela nafas panjang, rasanya lega walaupun nadanya tidak mengenakkan hati. Kuikuti langkah wanita yang dipanggil Ibu oleh suamiku, dengan sorot mata iba. Baru kusadari Ibu berjalan terseok menuju meja kasir. Aku tersikap dengan cara berjalannya."Apa gula Ibu sedang naik?" batinku prihatin.Aku balik badan membantu mbok Rah sebentar, karena pembeli banyak yang antri. Setelahnya aku pura-pura memberesi pir
Bab 14"Kata Mama...." ucap balita kriwil itu tidak meneruskan kalimatnya, sambil menikmati es krem."Kata Mama apa, Far?" desak Mas Irfan.Bocah mengemaskan itu menjulurkan lidah, menyapu disekitar mulut yang kena es krem, mata bulatnya kekanan kekiri.Aku ikut tegang, sudah siap memakai jaket, helm, masker, karena akan diajak makan bakmi oleh Mas Irfan."Baca aja sendiri di hapenya, tante," jelasnyaDuh, menggemaskan, alias menjengkelkan, aku buru-buru mengambil gawai, ingin membaca sendiri apa chat dari Mbak Nung."Tan!' teriaknya, sambil jari-jarinya dimasukkan satu persatu ke mulutnya. Bikin mules itu anak."Kata Mama, Om Irfan suruh jemput. Mama gak jadi lembur," jelasnya setelah mencuci tangan di wastafel.Kuurungkan membuka chat dari Mbak Nung, karena sudah dijelaskan oleh putrinya sendiri. Jelas, akurat dan bukan hoak.Mas Irfan menatapku, aku sengaja membuang muka, kesal sekali. Seharusnya aku sudah bisa pesan bakmi godhog bersamanya, tetapi, ya sudahlah."Yang, maaf, ya. M