Bab 9
Aku menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan setelah menerima telepon dari belahan jiwaku. Mengabarkan kalau dia sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan pagi ini. Setelah itu dia mengirim foto keadaan motor yang mengangkut barang dagangan yang dibeli pelanggan, minta diantar kerumahnya.Selintas terbersit wajah ayu, pendamping hidupku, Dela Padma. Aku sering merasa bersalah kepadanya. Disaat Dela membutuhkan bantuan, aku tidak ada disampingnya. Ada saja alasanku. Sedih melihat perjuangan yang tidak ada hentinya.Tidak lama kemudian, Dela mengirim foto kondisi motor yanģ mengalami ban kempes. Hari ini dia sedang banyak ujian, aku sedih melihatnya, dan tidak bisa hadir membantu kesulitannya. Hanya bisa mengarahkannya, aku yakin Dela wanita mandiri, sehingga ujian itu bisa dilewati.Dela sudah banyak berkorban untukku, kadang aku prihatin kalau mendengar cerita dari Mbok Rah. Ibu selelu memusuhinya, apa yang dilakukan selalu salah dimata Ibu. Aku mengenal sifat Ibu kandungku, memang sedikit temperamen sejak kepergian Ayah.Ibu sangat terpukul dengan kepergian sosok imam yang baik, bertanggung jawab dan selalu melindungi kam. Kaget dan tidak percaya ketika mendengar kabar Ayah meninggal secara mendadak karena sakit jantung.Ibuk teriak histeris. Baru saja mereka ngobrol tentang perkembangan warung kelontong, tentang usaha bengkelnya, sepuluh menit kemudian Ayah terjatuh di kamar mandi. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun jiwanya tidak tertolong."Aku tidak bisa hidup tanpamu, Yah," kata Ibu di depan jenazah Ayah waktu itu. Ibu sangat shock, air matanya mengalir deras, berkali-kali pingsan, beliau sangat terpukul.Ibu menjadi janda diusia muda, Ibu harus membanting tulang, menghidupi dua anak kecil yang masih membutuhkan biaya, perhatian, dan kasih sayang. Dengan gigih Ibu membesarkan warung kelontong untuk membiayai kami berdua.Waktu itu aku dan Mas Fadli masih kecil belum tahu arti kehilangan seorang Ayah. Kami juga tidak bisa membantu Ibu bekerja, Ibu hanya ditemani Mbok Rah yang selama ini masih setia ikut mendampingi Ibu.Sifat Ibu berubah menjadi keras dan disiplin mendidik kami, sampai akhirnya kita menjadi anak yang pintar, penurut, dan berhasil melanjutkan kuliah sampai sarjana.Namun sayang, Ibu kembali terpukul dengan meninggalnya Mas Fadli yang mendadak karena sakit jantung juga. Peristiwa puluhan tahun yang lalu seakan terulang kembali. Ibu kembali terluka.Apalagi Mbak Nung dalam keadaan mengandung anak kedua, yang belum sempat dilihat oleh Mas Fadli. Ibu semakin berubah sifatnya menjadi gampang marah, tersinggung. Aku maklum, karena Mas Fadli anak yang paling disayang.Ibu juga sayang denganku, tapi ada satu yang membuat ibu marah, Aku menolak ketika dijodohkan dengan wanita lain pilihan Ibu. Tidak menurut seperti yang dilakukan Mas Fadli ketika dijodohkan dengan Mbak Nung."Dia anak tunggal, kaya. Orang tuanya juragan beras. Ibu jodohkan dengannya supaya hidupmu terjamin, kamu tidak perlu kerja keras! Tinggal ongkang-ongkang kaki!" Jelasnya.Aku bergeming."Mbok yo nuruti Ibu, kaya Mas mu itu, lo. Dapat istri orang kaya. Mbak Nung jadi pegawai itu cuma untuk sambilan," celotehnya.Aku tetap menolaknya. Karena sudah mempunyai kekasih hati sendiri, adik kelas ketika kuliah. Dia cantik, sabar, pintar, keibuan dan sederhana. Ibu kurang setuju, katanya kurang kaya dan kurang cantik.Aku hanya bisa mengelus dada.Anak Ibu hanya dua, laki semua. Sepeninggal Mas Fadli, tinggal aku satu-satunya anak Ibu. Sebagai anak laki-laki, aku bertanggung jawab penuh atas ibuku. Aku ingin berbakti kepada wanita hebat yang melahirkanku, disisi lain aku mengorbankan perasaan Dela istriku."Kasihan Mbak Dela, Mas. Tadi Ibu marah-marah," kata Mbok Rah yang selalu melaporkan kejadian sehari-hari ketika jaga di warung."Kenapa Ibu marah-marah, Mbok?" Desakku."Halah biasa, Mas. Tidak ada angin, tidak ada hujan, pokoknya marah aja," jelas Mboķ Rah."Apa reaksi Dela, kalau Ibu marah, Mbok?" Aku sengaja bertanya, siapa tahu wanita cantik yang membersamaiku itu ikut emosi, dan adu mulut dengan Ibu kandungku."Walah, Mbak Dela cuma diam, paling-paling nanti dipojokan nangis. E...sama ibu malah dibilang cengeng. Duh, si Mbok gak tega lihatnya," ucap wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun ikut Ibu."Ya udah, Mbok. Tolong dibantu ya kalau Dela ada apa-apa. Jaga Ibu juga jangan sampai dia marah dan emosi lagi," titahku. Mbok Rah hanya mencebik.Aku kagum dengan Dela, tidak pernah mengadu kepadaku, walau setiap harinya diomeli ibu. Diluar sana banyak mertua dan menantu saling bertengkar, saling mengadu satu dan lainnya..Sepeninggal almarhum Mas Fadli, Ibu menyuruh Mbak Nung pulang ke desa. Katanya, kasihan melihat mereka, sudah tidak ada suami, ngurus balita sendiri. Apalagi bayi yang dikandung akan segera lahir.Kedekatanku dengan Mbak Nung, membuat Dela sering marah, dan cemburu. Karena aku lebih sering mendampingi dan mengantar kakak iparku itu, dari pada mengantarnya."Kenapa mulut manyun begitu, Yang," tanyaku bingung."Tuh, Mbak Nung kalau nyuruh se-enaknya. Apa dia gak tahu kalau kita lagi santai kaya gini, " protesnya. Ketika kita sedang ngadem diteras belakang tiba-tiba dipanggil Mbak Nung."Oh, dia minta dibelikan sate padang. Mau ikut?" ajakku.Dela menggeleng, mulutnya masih mengerucut. Walaupun begitu, wajahnya bertambah cantik. Aku tersenyum geli.Ibu menyuruhku memggantikan peran Mas Fadli, untuk antar jemput Mbak Nung bekerja, belanja bahkan periksa ke dokter kandungan sekalipun. Juga mengasuh Fara dan mengurusi sekolahnyaSebenarnya Aku tidak keberatan. Namun, kadang terlalu sibuk, sehingga lupa kalau sudah mempunyai istri yang harus kuperhatikan dan kujaga perasaannya.Dela Padma, selain cantik, sabar, pekerja keras, dia juga mandiri. Sayang sekali, pernikahan yang sudah berjalan tiga tahun ini, belum diberi momongan. Itu juga yang membuat Ibu semakin menyindir dengan keadaan kami.Kasihan, sepertinya Dela menjadi tempat pelampiasan kekesalan Ibu. Aku maklum Ibu sudah capai mengurusi kami waktu kecil, mengurusi usaha warungnya dan sekarang ada Mbak Nung dan cucu yang harus diperhatikan.Dela, bagaikan malaikat tanpa sayap. Aku semakin cinta, dan berharap supaya dia jodohlu sampai jannah. Dan tetap bersabar menghadapi semua ini.Ibu sengaja membuat Dela cemburu dengan cara mendekatkan aku dengan Mbak Nung. Semoga wanita bermata indah itu tidak terpancing emosi dan bertambah sabar.Seperti kejadian pagi ini, setelah mengantar Mbak Nug sampai terminal Jombor, sekalian aku mengantar sekolah Fara. Ternyata Fara sedang ngambek, entah karena apa, sehingg dia tidak mau ditinggal, ingin ditunggui sampai sekolahnya usai.Aku tidak tahu kalau pagi ini karyawan Ibu yang bernama Kang Nono izin tidak masuk kerja. Bisa dibayangkan kalau di warung tidak ada yang laki-laki, akan terasa berat. Biasanya aku yang menggantikan jaga di warung, kalau dia tidak masuk.Benar juga, kali ini Dela yang terjun sendiri mengantar dagangan kesana kemari. Namun, hal kurang menyenangkan terjadi pada dirinya. Foto yang dikirim lewat aplikasi hijau menunjukkan kalau sedang kehabisan bensin, ban kempes, membuat aku iba.Disaat dia butuh, aku tidak ada disampingnya. Seharusnya ini tugasku, aku disibukkan dengan urusan lain. Kuharap semua ini tidak membuatmu lelah untuk mencintaiku."Maafkan aku, Yang" bisikku.Sampai dirumah, kutemukan bidadariku sedang terlelap. Ingin kupeluk, tapi aku takut mengusik mimpinya. Hanya bisa kupandangi wajahnya yang ayu nan keibuan.Bersambung.Mohon tinggalkan jejak kebaikan, supaya author semangat untuk.menyeleaaikan cetita ini. Terima kasih.Bab 10 "Bawa ini," kata ibu kepada Mbok Rah, sambil menyerahkan mangkok penuh isi sayur brongkos. Diambil juga telur asin dua butir, dan beberapa potong tempe goreng.Aku hanya bisa menelan salivaku, bingung mau bicara apa, ketika Ibu begitu kalap mengambil macam-macam tapi katanya masakanku tidak enak.Kulihat Mas Irfan membulatkan kedua matanya, mungkin takut kalau sayur itu akan dibuang. Aku menahan senyum. Tadi Ibu mengambil telur asin dan tempe goreng, aku yakin itu tidak akan dibuang. Semoga untuk pelengkap makan siangnya.Kutarik lengan Mas irfan ketika akan mengejar Ibu yang pulang tanpa pamit. Aku memberi sinyal menggelengkan kepala, dengan maksud supaya membiarkan saja."Kalau dibuang gimana, Yang." ada rasa kekawatiran di nada suamiku."Gak mungkin," aku menyela."Ibu orangnya nekad," bisiknya."Tadi membawa lauk lengkap, gak mungkin dibuang," jelasku.Mas Irfan mengernyitkan alis, seakan memikirkan sesuatu, lama sekali dia terdiam, setelahnya baru manggut-manggut."Oh iy
Bab 11[Kapan hari liburmu, Del?] chat dari Diana teman kuliahku. Hanya dia temanku yang tinggal di Yogja, yang lain diboyong suaminya, menyebar diseluruh Indonesia, walaupun saling berjahuan komunikasi tetap berjalan kewat group aplikasi hijau.Aku langsung mengetik...[Emangnya kenapa? Sewaktu-waktu aku bisa kok ambil libur, kok][Oh, ya? Gitu ya, kalau diambil menantu oleh sultan?] diiringi stiker mengejek[Sultan Hamengkubuwono kw] balasku, diiringi stiker gambar tertawa. [Ayuk kita ketemauan di Es Murni, tempat kita nongkrong dulu, sambil nostalgia] ajakku.[Ayuk, siapa takut?.Jam berapa?"][Besok sore, habis ashar. Selepas toko mertuaku tutup] Ajakku, walaupun belum minta izin Mas Irfan, aku sudah memutuskan sendiri.[Deal ya]Kuletakkan kembali ponsel diatas nakas, kutunda dulu rasa rindu kepada Bapak dan Ibu yang ada di kampung. Semoga pertemuan dengan Diana bisa mengobati rasa kangenku kepada mereka."Kenapa senyum-senyum," Mas Irfan keluar dari kamar mandi, hanya dibalut
Bab 12Sampai di perempatan aku bingung harus menuju kearah mana, kalau pulang aku tidak mau diomelin ibu mertua. Kalau kembali ke sekolahan tidak mungkin, karena sudah sepi, tidak ada satu guru maupun murid disana. Lalu aku haru mencari kemana?Secara tidak sadar, motor kubelokkan kekanan. Aku belum mau pulang. Akan aku cari sekali lagi, siapa tahu bisa menemukan balita cantik keponakanku itu. Setidaknya ada petunjuk, supaya ada jawaban kalau bertemu dengan Ibu mertua."Faraa, kamu ada dimana, Sayang?" bisikku berkali-kali. Terbayang wajah nya imut dengan lesung pipit dan rambut kriwil.Motorku masih menelusuri jalan kecil menuju selokan, aku tidak sadar sudah sangat jauh dari jangkauan. Gak pa-pa, siapa tahu aku menemukan petunjuk keberadaan Fara, begitu tekadku.Duijung selokan mataram, aku mengurangi kecepatan motor matic warna merah, lalu kutepikan. Kulihat banyak motor yang parkir disitu. Ada apa ini? Ada polisi yang berjaga, kulihat ada team SAR, ada beberapa wartawan.Aku men
Bab 13Aku masih menunduk, menunggu saat yang tepat untuk beringsut membantu Mbok Rah melayani pembeli. Lewat ekor mata, aku melihat Kang Nono dan Mbok Rah sibuk memindahkan barang ke motor, lalu mengikatnya.Aku ingin lari menjauh dari Ibu mertua lalu membantu mereka, aku rela capai asal tidak mati gaya seperti ini. Badanku kaku, gigiku kering karena mulut sedikit kubuka, apalagi perasaanku hampa."Sudah, Bu?" akhirnya kuberanilan dirii untuk mengucapkan kalimat itu, ketika Ibu mertua menuju meja kasir karena mbok Rah menyodorkan uang minta kembalian."Ya!" jawabnya ketus. Aku menghela nafas panjang, rasanya lega walaupun nadanya tidak mengenakkan hati. Kuikuti langkah wanita yang dipanggil Ibu oleh suamiku, dengan sorot mata iba. Baru kusadari Ibu berjalan terseok menuju meja kasir. Aku tersikap dengan cara berjalannya."Apa gula Ibu sedang naik?" batinku prihatin.Aku balik badan membantu mbok Rah sebentar, karena pembeli banyak yang antri. Setelahnya aku pura-pura memberesi pir
Bab 14"Kata Mama...." ucap balita kriwil itu tidak meneruskan kalimatnya, sambil menikmati es krem."Kata Mama apa, Far?" desak Mas Irfan.Bocah mengemaskan itu menjulurkan lidah, menyapu disekitar mulut yang kena es krem, mata bulatnya kekanan kekiri.Aku ikut tegang, sudah siap memakai jaket, helm, masker, karena akan diajak makan bakmi oleh Mas Irfan."Baca aja sendiri di hapenya, tante," jelasnyaDuh, menggemaskan, alias menjengkelkan, aku buru-buru mengambil gawai, ingin membaca sendiri apa chat dari Mbak Nung."Tan!' teriaknya, sambil jari-jarinya dimasukkan satu persatu ke mulutnya. Bikin mules itu anak."Kata Mama, Om Irfan suruh jemput. Mama gak jadi lembur," jelasnya setelah mencuci tangan di wastafel.Kuurungkan membuka chat dari Mbak Nung, karena sudah dijelaskan oleh putrinya sendiri. Jelas, akurat dan bukan hoak.Mas Irfan menatapku, aku sengaja membuang muka, kesal sekali. Seharusnya aku sudah bisa pesan bakmi godhog bersamanya, tetapi, ya sudahlah."Yang, maaf, ya. M
Bab 15Ada rasa bersalah kalau mengingat nama itu. Laki-laki asal Lombok, yang kugantung cintanya karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuaku."Bapak dan ibuk tidak setuju, titik!" kata Bapak tegas ketika aku memperkenalkan Andre Sagara sebagai kekasihku"Apa alasannya, Pak, Bu?" tanyaku dengan uraian air mata, setelah Andre pulang. Bapak dan Ibuk hanya menunduk dengan kening berkerut. Aku tidak tega melihat orang tuaku sedih. Namun, aku juga ingin cintaku bersama Andre direstui."Aku ingin alasannya masuk akal, bukan mengada-ada," imbuhku, sambil menyusuti air mata yang kian deras."Dia orang luar jawa, Nduk. Jauh sekali asalnya," tegas Bapak, membuat aku tersikap, tangisku semakin menjadi. "Hanya itu? Hal yang sepele, Pak," bisikku diantara tangis."Kamu anak Bapak satu-satunya," jawabnya tegas."Bapak dan Ibu tidak mau kehilanganmu, Nduk" rintih Ibu sambil mengelus kepalaku."Bapak, Ibukmu sudah semakin tua, kalau kamu diboyong ke tempat asal Andre, kami akan kehilangan
Bab 16Entah kenapa tiba-tiba aku ingin sarapan bubur, tentu saja bikin sendiri. Kalau beli kadang rasanya kurang nendang, Mas Irfan sering protes, kurang gurihlah, kurang ini, itu, banyak sekali komentarnya.Mas Irfan ingin aku masak sendiri, katanya lebih enak, Kebetulan aku masih mempunyai sayur krecek, pas sekali kalau dipadukan dengan bubur buatanku.Aku sudah terbiasa berada di dapur, sejak remaja aku sering membantu ibu masak di dapur. Ibu selalu mengajariku cara mengolah masakan yang enak, dan memadu padankan antara sayur dan lauk supaya cocok."Bumbunya harus berani, Nduk," begitu pesannya."Gih, Buk,""Nanti tinggal ngepaskan, antara gurih, manis dan pedas bagi yang suka cabe," imbuhnya.Aku terapkan ilmu memasak dari ibu, hasilnya tidak mengecewakan. Mas Irfan selalu memuji masakanku. Katanya sejak menikah denganku selera makannya bertambah, walaupun berat badannya tidak ikut naik.Itu yang membuat ibu mertua mencibir dan tidak percaya kalau aku bisa masak. Sudah dijelaska
bab 17Bab 17Aku buru-buru keluar mencari keberadaan Mbok Rah di dapur, namun tidak ada. Kuayun langkahku menuju depan, tidak ada. Ternyata Mbok Rah sedang menyapu di dalam warung."Sini, aku yang nyapu aja, Mbok Rah dipanggil Ibu," seruku."Gak boleh, biar Mbok Rah selesaikan dulu," elaknya."Cepetan, ibu menunggu Mbok Rah," ucapku tidak sabar."Mbok Rah harus menyelesaikan menyapu dulu sampai selesai," jawabnya kekeh."Emang kenapa gak boleh aku terusin?" tanyaku heran."Orang jawa bilang, itu tidak baik kalau nyapu belum selesai kok diteruskan orang lain." jelas Mbok Rah."Kok gitu, Mbok?" aku penasaran.""Iya, Neng. Kata simbah zaman dulu, ada yang mengganggu rumah tangga kita, merebut suami kita, merusak rumah tangga kita. Kalau zaman sekarang istilahnya ada pelakor yang ingin meneruskan suami kita," jelas Mbok Rah sambil mulutnya manyun."Oh, ya udah," aku menyerah, supaya Mbok Rah segera menemui ibu, kalau aku tanggapi sampai siang juga belum selesai. Aku terkekeh sendiri."A