Share

Bab 8 #Dibandingkan-bandingkan ibu mertua

Bab 8

Aku terbangun dari tidur siang, netraku masih sedikit kabur. Aku berusaha mengumpulkan ingatan, sambil mengerjapkan kedua netraku. Bayangan laki-laki yang sangat kukenal, duduk disampingku.

"Mas Irfan, sudah pulang?" tanyaku setelah ingatan dan pandanganku pulih.

Laki-laki yang selama ini kukagumi itu mengangguk, duduknya beringsut lebih dekat, lalu memelukku. Kaki dan tanganku dipijat bergantian, sambil berkata dengan mimik yang lucu.

"Aduh kacian, pasti capek ya, cini dipijitin cama Papa, yuuuk," celotehnya dengan mimik yang lucu.

Aku termenung, dalam hati kesal. Namun, setelah melihat wajahnya yang polos, dan bercandanya yang garing, aku berusaha memberikan senyum ala kadarnya supaya hatinya senang.

"Udah makan, Mas?" tanyaku, sambil mengingat kira-kira makan pagi apa siang, ya?

Aku suka bingung, kalau bangun tidur mendadak seperti ini.

Mas Irfan menggeleng.

"Pingin makan ditemani, Cayang," jawabnya.

"Oh, ayuk. Eh, ini makan siang, ya," cetusku, masih ragu-ragu.

"Sana! Basuh muka dulu, Yang. Biar tidak bingung," ujarnya.

Aku mengikuti perintah Mas Irfan. Segera bangkit, lalu menuju ke kamar mandi. Kubasuh muka dengan air yang mengalir dari kran, dingin dan sejuk, rasanya segar sekali.

Sebelum ke dapur, kulihat jam yang menggantung di dinding, "Oh, makan siang, ya. Aku juga lapar," bisikku dalam hati.

Kusiapkan nasi, sayur brongkos, telur asin, tempe goreng dan sambal. Mas Irfan tidak pernah rewel soal makanan. Apapun yang kumasak dan kuhidangkan di meja selalu disantap dengan lahap.

*

Pernah aku mendengar, suatu ketika Mas Irfan menolak makan ditempat Ibu, Ibu mertua marah besar. Lututku sampai gemetar mendengarkan suaranya.

"Makan dirumah aja, Bu. Kasihan dari pagi Dela sudah sibuk di dapur untuk membuat sayur pesananku," elak Mas Irfan.

"Sejak kapan kamu menolak masakan ibumu! Ha?Apa iya Dela bisa masak? Gak percaya! Pasti kamu gak enak hati untuk menolaknya, kan? Kamu pura-pura suka." Suara Ibu mertua naik beberapa oktaf.

Waktu itu aku mau masuk kedapur Ibu, segera kuurungkan. Mangkok berisi sayur, yang sedianya kukasihkan untuk Ibu mertua langsung kubawa pulang. Namun langkahku terhenti, karena mendengar suara yang menggelegar, membuat lututku lemas seketika.

"Iya, Bu. Kemaren tercium bahu masakannya harum," kata Mbak Nung menimpali. Sambil siap-siap mau berangkat kerja. Aku masih mematung diujung pintu.

"Aku gak sudi makan masakan Dela." cetus Ibu membuat nyaliku langsung menciut.

Aku semakin ragu meneruskan langkahku. Kalau membalikkan badan, Mbak Nung akan menagih sayur yang kujanjikan ini. Jika kulanjutkan, mulut ibu mertua akan bertambah nyinyir kepadaku.

"Tante, ngapain berdiri disitu sambil bawa mangkok?" tegur Fara balita cantik dengan logat lucu sedang melintas disampingku.

Barangkali dia heran melihatku mematung dibalik pintu. Celotehnya membuat semua mata menoleh kearahku, Mas Irfan juga. Wajahnya kelihatan pucat.

"Kamu, Del!" Ibu mertua bukannya merasa bersalah, tetapi makin menjadi.

"Mau ngantar sayur, Bu. Mbak Nung kemaren ingin mencicipi masakan Dela," jawabku, terasa keringatku sebesar jagung langsung membasahi wajah dan tibuhku.

"Taruh sana!' titahnya sambil mencebik.

Fara menarik tangan kananku masuk kedapur, Mas Irfan kelihatan salah timgkah.

"Nung, masakanmu enak juga, loh," sebut Ibu kencang, supaya terdengar olehku. Setelah meletakkan semangkok sayur dimeja makan, aku segera pamit.

"Setelah menikah, almarhum suamimu tubuhnya gemuk, karena doyan makan. Kamu pintar masak, sih. Lihat Irfan, sudah tiga tahun menikah, badan seperti tiang listrik. Tinggi, kurus! Istrinya gak becus masak!" ujar Ibu mertuaku.

"Hai...melamun apa!" Mas Irfan menoel hidungku. Aku galagepan. Membuat aku sadar dari mimpi yang buruk.

Gara-gara masak brongkos reques laki-laki hitam manis suamiku, aku jadi ingat peristiwa di dapur bebeapa minggu yang lalu. Batinku.

"Ayuk, aku sudah lapar, Yang! Bau brongkos buatanmu membuat cacing diperutku meronta-ronta," ocehnya, sambil mengelus-elus perutnya.

"Aku juga lapar, Mas." potongku ikutan mengelus perutku.

"Tadi gimana ceritanya, kok sampai kehabisan bensin, kempes ban juga. Kamu istri yang hebat!" puji Mas Iran disela-sela mengunyah nasi.

"Kang Nono izin gak masuk kerja, katanya ada urusan keluarga. Yah, aku lah yang nangani semuanya, dari angkat galon, beras, tabung gas, sampai ngantar belanjaan untuk katering. Masa Mbok Rah yang ngerjain," Aku berusaha membuat lelucon tapi garing.

"Istri yang hebat. Nih, aku sampai nambah nasi dua kali. Masakanmu enak. Tapi...aduh, aduh. Minum, minum, mana air putih," tetiaknya.

Aku gugup, kusodorkan air mineral yang ada digelas.

"Pedas, huh hah, pedas!" masih teriaknya setelah meneguk beberapa gelas air putih.

Aku ingin tertawa melihat wajahnya yang merah, apalagi diarea bibir, semakin merah dan berminyak.

Rupanya Mas Irfan mengingit cabe merah yang sengaja kubiarkan utuh.

"Ih, apaan sih, Mas. Katanya penggemar makanan berbau mercon, kegigit satu cabe saja, wajah kaya kepiting rebus," ledekku sambil menahan tawa.

"Ini kebangetan pedasnya, Yang," Mas Irfan berusaha membela diri.

Aku masih mengulum senyum, "Ya udah, minum lagi, biar hilang pedesnya," hiburku.

"Fan, ada apa teriak-teriak," kata ibu dengan nada cemas, wajahnya nampak kuatir.

Ibu mertuaku tiba-tiba masuk lewat pintu belakang yang menghubungkan rumah kami. Pintu belakang memang tidak pernah dikunci kalau siang, sehingga bisa masuk tanpa permisi.

"Mas Irfan tidak sengaja menggigit cabe merah, Bu," jawabku menahan geli.

"Kenapa kamu malah senyum-senyum kaya gitu!" tukasnya, wajah Ibu berubah cemberut.

Aku berusaha menelan salivaku, "Salah lagi," batinku.

"Jangan main-main dengan perut Irfan, dia gak tahan pedas! Aku ini ibunya, paham dengan kesehatannya!"

"Mas Irfan sendiri yang minta, Bu!" aku berusaha membela diri. Aku tidak mau disalahkan terus menerus. Kebetulan ada anak bungsunya, sampai dimana dia membelaku."

"Gak pa-pa, Bu," jawabnya, Mas Irfan berusaha menegahi. Berhubung Ibu mertua sudah tidak suka padaku, tetap saja aku disalahkan.

"Emangnya masak apa, kamu?" tanya Ibu sambil melihat meja makan. Kepalanya menjulur, mengamati yang ada dimeja makan.

"Ada sayur brongkos, tempe goreng, telur asin dan kerupuk. Saya ambilkan piring, ya,Bu," terangku.

Tangan Ibu mengambil sendok, lalu mengaduk sayur yang ada di panci. Dilihat cabe yang utuh berwarna merah bèrcampur dengan kacang tholo, daging, tahu dan telor. Aroma bumbu kluwek menguar, membuat hidung Ibu kembang kempis.

"Mbok Rah!" panggilnya, sekali teriak Mbok Rah sudah hadir diantara kami, Mas Irfan melirikku. Aku berharap-harap cemas, melihat apa yang dilakukan Ibu mertuaku.

"Gih, Bu." Badan Mbok Rah sedikit membungkuk.

"Ambilkan mangkok, aku ingin tahu rasanya seperti apa. Jangan sampai Irfan sakit perut!" titahnya.

"Ambil mangkok di rumah, jangan ambil mangkok di sini!" perintahnya dengan nada kesal, tangannya maaih memegang sendok mengaduk-aduk sayur bringkos.

Mbik Rah gegas masuk ke dapur Ibu, tidak lama kemudian muncul membawa mangkok ditangan lalu diserahkan ke Ibu mertua. Mas Irfan tegang, aku lebih tegang.

Bersambung.

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status