Share

Bab 4 #Menginap di Kaliurang

Bab 4

Menjelang mahgrib, kudengar mobil masuk halaman rumah. Aku gegas ke depan, mengintip dari balik cendela. Walaupun hati panas dingin, aku tetap ingin melihat mereka.

Mas Irfan menggendong Fara yang sedang tidur pulas, Mbak Nung mengikuti dari belakang, tangannya membawa tas kresek warna putih. Kemudian disusul ibu mertua, mereka seperti keluarga yang bahagia, membuatku kian nelangsa.

Sungguh, aku sangat cemburu. Aku seperti tidak ada artinya dihadapan mereka, merasa tersisihkan.

Mertua yang julid, dan suka mencela. Suami yang selalu dipinjam tanpa memikirkan perasaan istrinya.

Aku membuang nafas kasar. Aku sadar kalau aku mempunyai kekurangan, sebagai wanita aku belum sempurna. Kuelus perut yang masih rata, aku juga ingin seperti mbak Nung, mempunyai buah hati.

Memang aku bisa apa? Semua ini karena kehendak Nya. Kami belum diizinkan, elum dipercaya mempunyai momongan. Dokter kandungan bilang, aku dan Mas Irfan sehat, tidak ada masalah. Itu yang membuat kami tenang.

Rupanya ibu mertuaku tidak paham, selalu saja membandingkan antara aku dan mbak Nung. Apalagi anaknya sudah hampir dua, aku semakin tersudut.

Anehnya Mas Irfan tidak pernah membela kalau ibunya menyindirku.

Ibu mertuaku aneh, ya? Kok bisa begitu? Apa karena Mbak Nung lebih cantik? Seorang ASN? Sudah memberikan cucu pula.

Namun, apa aku juga salah? Batinku berkecamuk di dalam hatiku.

"Yang, lagi ngapain?" Suara Mas Irfan mengagetkanku, karena aku masih mematung dibalik korden cendela, ruang tamu.

"Barusan nglihat keluarga cemara pulang dari jalan-jalan," ledekku kesal.

Laki-laki hitam manis itu membulatkan netranya. Entah mengerti atau tidak sindiranku ini, yang pasti aku sudah lega mengucapkannya.

"Maksudnya apa sih, Yang? Gak ngerti aku," balas Mas Irfan dengan wajah lugu.

Perubahan ekpresinya seperti itu, dengan wajah polos, dan sok tidak tahu. Apa hanya dibuat-buat untuk mengurangi resiko pertengkaran kami, atau biar aku iba melihatnya. Tetapi menurutku kesannya mengesalkan sekali.

"Aku barusan lihat ada keluarga cemara yang nampak bahagia, pulang dari ...entah dari mana," ulasku sambil mengangkat dua bola mataku, sepertinya harus dijelaskan secara rinci kalau masih belum paham.

"Oh, maksudnya aku sama mbak Nung?" Masih dengan wajah yang sok imut.

Bibirku mulai mengerucut. "Iyaaaaa ..."

"Loh? tadi sudah pamit kan? Ibu juga bilang, Mbak Nung juga sudah minta izin. Apa Sayang, lupa?" belanya dengan wajah masih kalem.

"Iyaaa, tapi lama banget perginya!" cetusku semakin kesal.

"Sudah dibilangin to, Yang. Kalau kami sekalian mampir rumah Mbak Nung yang di Pugeran," terangnya.

"Itu aku juga tahu, Maaaas." Netraku sudah mulai terbelalak.

"Lalu? Apa yang membuat Sayang marah?" Masih dengan wajah yang sok imut.

"Yang membuat kesal, tadi yang punya mobil datang. Dia marah-marah!" sahutku.

"Astaghfirullah aladzin. Iya, aku lupa kasih tahu Sayang, kalau kunci mobilnya ada di laci kamar. Sudah selesai kok, tinggal ambil. Coba aku cek lagi," kata Mas Irfan sambil buru-buru menuju bengkel.

Aku mengikuti dari belakang dengan perasaan cemas.

"Belum selesai servisnya?" cercaku.

"Alhamdulillah sudah kelar, cuma lupa kasih tahu Sayang, kalau hari ini mobilnya mau diambil."

"Orangnya marah-marah," gerundelku.

"Kenapa Sayang tidak meneleponku?" Nadanya sedikit tinggi.

Bibirku langsung mengerucut. Apa perlu diceritakan bagaimana sakit hatiku disemprot oleh ibunya, kata-katanya pedas lagi. Sepertinya malas aku menceritakannya, dikira aku menantu yang suka mengadu.

"Tinggal telepon, apa sih susahnya?" Cecarnya dengan nada masih tinggi, sambil tangannya memegang senter memeriksa satu persatu mesin mobil.

Aku malas berdebat, lebih baik diam. Melihat Mas Irfan panik membuat emosinya meradang kalau kutambahi kata-kata yang pedas.

"Alhamdulillah," ucapnya lirih, tetapi sempat kudengar. Aku ikut lega, berarti tidak ada masalah.

"Sudah beres?" tanyaku untuk meyakinkan. Aku takut kalau bapak itu datang, ternyata belum jadi mobilnya.

Tidak bisa membayangkan betapa marahnya dia, kalau mobilnya belum siap.

Mas Irfan mengangguk. "Alhamdulillah."

"Sudah selesai, sudah beres. Hanya memastikan saja," ujarnya.

Aku ikut senang, karena mobilnya akan dipakai ke luar kota setelah mahgrib. Benar juga, bapak itu datang kembali tepat waktu, mobil sudah siap dan tidak ada masalah.

***

"Ya udah, untuk permintaan maaf, kita besok nginap di Kaliurang." Mas Irfan memelukku dari belakang ketika aku sedang mencuci piring.

Aku seperti tersiram air dingin di padang gersang ketika mendengar ajakan Mas Irfan. Menginap di Kaliurang itu bagiku sesuatu banget, Mas Irfan tahu kesenanganku. Aku lebih suka suasana gunung dari pada pantai, kulitku tidak kuat kalau harus berjemur di sana.

"Serius, Mas?" Aku membalikkan badan. Laki-laki pekerja keras itu menatapku lekat.

"Iya, kita menginao di sana," jelasnya lagi.

Kedua netraku langsung membulat sempurna. Sudah lama aku merindukan seperti yang sering kita lakukan dulu.

"Mbak Nung gimana?" Aku memastikan, siapa tahu dia minta diantar kemana gitu.

"Hari minggu Mbak Nung libur, Sayang?"

"Oh, iya."

"Quality time, Yang. Waktunya untuk kita, supaya kita segera punya dedek." Mas Irfan mengedipkan sebelah mata.

Aku tertawa geli, maunya romantis, tapi ekspresi wajahnya lucu. Benar juga, kita harus mempunyai kesempatan untuk dinikmati berdua, tidak direcoki urusan orang lain.

Jatah liburku seminggu satu kali, tetapi tidak boleh diambil hari minggu, karena hari itu warung ramai sekali. Kali ini ibu mertuaku mengizinkan dengan catatan bermacam-macam.

"Gak apalah, Bu. Mumpung Mbak Nung libur, aku gak antar jemput ke terminal," bela Mas Irfan ketika ibu agak keberatab aku izin libur hari minggu.

"Yo wis terserah, sak karepmu!" jawabnya sewot.

Aku sedikit tidak enak hati. Namun, aku juga ingin menikmati kebahagiaan bersama suami tercinta.

"Gimana, Mas?" tanyaku setelah sampai di kamar, aku ingin memastikab apakah Mas Irfan goyah setelah mendengar nada keberatan dari orang yang melahirkan itu.

"Jadi dong, ibu gak pa-pa kok, biasa kalau nada bicaranya ibu seperti itu. Di warung masih ada Mbok Rah sama Kang Nono. Gak usah dihiraukan, kita cuma menginap semalam."

Aku setuju dengan pendapatnya. Baru kali ini hatiku terharu bercampur bahagia, karena orang yang kucintai mengajak jalan-jalan.

***

Vespa butut yang sudah dimodifikasi menjadi bagus, membawa kami meneyelusuri wisata Kaliurang. Begitu enaknya kalau punya bengkel, apalagi Mas Irfan pintar mengubah motor kuno menjadi yang artistik.

Itu memang kelebihannya. Bengkel keluarga yang diwariskan ke Mas Irfan itu, katanya peninggalan almarhum bapaknya.

Katanya bengkel yang dulu sangat ramai, terkenal rapi dan murah. Namun, sejak almarhum meninggal dunia, sempat mati suri. Almarhum Mas Fadli tidak mau meneruskan, setelah lulus kuliah, dia diterima menjadi ASN. Maka Mas Irfan lah yang meneruskan usaha bengkel, kebetulan dia suka dunia otomotif.

Jarak dari rumah ke Kaliurang hanya beberapa kilo meter, cukup ditempuh kurang lebih satu setengah jam. Penginepan yang kami pilih, langganan kami ketika menjadi pengantin baru.

Dari kamar, aku bisa melihat langsung pemandangan yang indah menghadap gunung Merapi. Mas Irfan sengaja memilih kamar yang sama, karena dia tahu aku paling suka melihat gunung Merapu yang masih aktif itu.

Kuselonjorkan kakaiku, tidak lama kemudian Mas Irfan membawa nampan isi kue pesenanku. Makanan cemilan yang tadi kubeli di pasar kutarih meja, suasana Kaliurang sangat dingin pasti nanti banyak ngemil.

Malam yang indah nanti akan kita lewati bersama, tanpa ada yang mengganggu. Setelah salat ashar gawai Mas Irfan disilent dan disimpan di laci. Dia tidak mau ada yang mengganggu.

Aku lupa tidak mengatur nada silent seperti punya Mas Irfan, sehingga suaranya berisik ketika ada nada telepon masuk. Gegas kuambil dari dalam tas.

Kulihat dilayar, kedua netraku langsung membulat ...

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status