Share

Bab 3 #Terpaksa berkata jujur.

Bab 3

"Siapa dia?" desaknya.

"Ibu ..." Suaraku seakan tercekat. Maaf Mas, terpaksa aku mengatakan dengan jujur, bisikku dalam hati.

Setelah menyebut seseorang wanita yang melahirkannya, aku merasa bersalah. Seketika wajah Mas Irfan luruh, dia menunduk sedih. Pasti tidak menyangka kalau Ibunya sendiri yang ikut memojokkanku.

"Mungkin Ibu tidak bermaksud seperti itu, Yang. Kamu yang sabar, ya," rajuknya setelah sekian menit berlalu, sambil memeluk hangat.

Tidak terasa air mataku menganak sungai. Aku membiarkan tubuhku dipeluk Mas Irfan sampai tangisku reda. Lalu kususuti air mata dengan jari.

"Maafkan Ibu ya, Yang." Mas Irfan melepaskan pelukannya, dipandangi wajahku dengan seksama.

Akhirnya aku mengangguk. Mas Irfan tersenyum, senyumanya membuat hatiku tenang.

***

Selepas subuh aku sibuk di dapur akan membuat nasi goreng, pesanan mas Irfan. Kebetulan masih ada nasi sisa semalam. Sayang sekali kalau dikasihkan ayam, karena masih bisa dimanfaatkan, apalagi dibuat nasi goreng untuk sarapan.

Ternyata di dapur kehabisan garam, Aku berniat mengambil di warung tempat ibu, tetapi belum buka sebab masih terlalu pagi.

"Gimana dong kalau gitu? Padahal aku harus segera membuat nasi goreng untuk sarapan Mas Irfan," batinku.

Iseng aku pergi ke dapur Ibu mertua, mencari keberadaan mbok Rah, mau minta garam. Aku sering melakukannya kalau kehabisan cabe dan lainnya.

Betapa kagetnya, melihat Mas Irfan yang tadi pamitnya ke bengkel memeriksa mobil milik orang, ternyata duduk bersama Mbak Nung dan Ibu mertua di meja makan

"Assalamualaikum," sapaku dengan suara bergetar. Salamku membuat Mas Irfan berjingkat.

Fara duduk di pangkuan Mas Irfan, sedangkan Mbak Nung duduk di samping sambil menyuapi anaknya. Mereka ngobrol sangat akrab. Sejenak aku mematung melihat pemandangan yang menyakitkan itu.

"Walaikumssalam," balas mereka bersamaan.

"Dela ...sini, kamu!" Teriak Ibu mertua yang ada di dapur, sepertinya kaget dengan kehadiranku.

Rupanya aku datang di waktu yang tidak tepat. Mas Irfan kelihatan salah tingkah, Mbak Nung juga.

"Nasi goreng, Dik." Mbak Nung berdiri, mengambil piring memasukkan nasi, kemudian diserahkan kepadaku.

"Terima kasih, Mbak. Aku gak biasa sarapan sepagi ini," tukasku.

"Kamu makan sana! Enak sekali nasi goreng buatan Nungky." Ibu mertua sedang promosi masakan menantu kesayangannya.

Mas Irfan menyilahkan aku duduk di sebelahnya, namun aku menolak dengan halus. Sepertinya aku harus segera pulang, sebelum bulir air mata jatuh menggelinding.

"Maaf, lagi masak air, pamit dulu, ya," bohongku, sambil membalikkan badan.

"Del!" Panggil Ibu mertua, Aku menghentikan langkah.

"Ya, Bu, " jawabku menunduk setelah berhadapan.

"Nanti buka toko sendiri, ya," titahnya.

"Ya,Bu." Masih menunduk.

"Sekalian pinjem suamimu ya, Dik. Untuk ngantar Mbak Nung," sela Mbak Nung.

Aku mengangguk. Mas Irfan melirikku, kelihatan sekali kalau gugup dan salah tingkah.

"Iya, Del. Sekalian antar Nungky kerja, juga ambil dagangan di pasar beringharjo, trus mampir kerumah Nungky ambil barang-barangnya." Jelas Ibu mertua panjang lebar, nadanya ketus.

"Ya, Bu." hanya itu jawabku.

Aku gegas membalikkan badan, mataku sudah perih, ingin nangis rasanya, entah kenapa aku merasa asing di depan suami sendiri.

Aku sangat kecewa dengan Mas Irfan, katanya pamit ke bengkel mbetulin mobil pelanggan, ternyata ada di dapur ibu sambil memangku Fara yang sedang disuapi Mbak Nung, mereka kelihatan bahagia sekali.

Mas Irfan sendiri yang minta dibuatkan nasi goreng, ternyata dia sudah makan di tempat ibu. Menurutku ini sangat menyakitkan.

Aku berdiri mematung menatap nasi yang akan kugoreng, seketika itu aku kehilangan selera. Lagi pula Mas Irfan sudah makan di sana yang katanya nasi gorengnya lebih enak. Ya, sudahlah.

Nasi segera kutaruh mangkok, kemudian kubawa kebelakang, biar untuk sarapan ayam saja. Aku gampang kalau mau sarapan, nanti bisa beli bubur krecek disebelah rumah.

"Loh, mana nasi gorengnya, Yang?" tanya Mas Irfan ketika melihat meja makan masih kosong.

"Bukannya sudah sarapan nasi goreng buatan Mbak Nung," ucapku ketus.

"Hanya makan sedikit, untuk menyenangkan hati Ibu dan Mbak Nung. Gak enak kalau menolaknya," terangnya.

Aku semakin dibuat sewot, rasanya ingin marah, tapi masih pagi. Aku bingung menjelaskannya.

"Aku tunggu, Yang. Nasi gorengmu lebih enak, ayuk cepetan," titahnya.

"Gak! Gak mau! Nasinya sudah kukasih makan ayam!"

Maa Irfan tersenyum, "Rupanya lebih sayang sama ayam, dari pada suami, ya," rengeknya merayu.

Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak, tetapi segera kuurungkan. Nanti Mas Irfan seperti mendapat angin kalau aku tertawa. Sebenarnya tidak lucu, sih. Hatiku hanya tergelitik saja. Eh, sebenarnya lucu juga ya, entahlah.

***

Aku jaga di warung ditemani mbok Rah, dan ada satu pegawai laki-laki namanya Kang Nono. Tugasnya membantu kalau ada yang beli dengan jumlah yang banyak, misalnya beli gas, beras, galon, kemudian minta diantar sampai rumah.

Di warung sangat ramai, sampai tidak terasa kalau hari sudah sore. Tadi siang tidak sempat istirahat, hanya berhenti ketika makan dan salat, bergantian dengan mbok Rah, dan kang Nono.

Baru sadar kalau Mas Irfan dan Ibu belum pulang. Perginya kok lama sekali, bukannya tadi hanya antar Mbak Nung, ke pasar beringharjo, kemudian mampir kerumah yang ada di Yogja. Aku membatin.

Sampai sore begini belum pulang. Aku sedikit cemas, kulihat ponselku juga tidak ada berita apapun. Kucari aplikasi warna hijau, mulai kuketik, aku ingin tahu kabarnya Mas Irfan.

"Nanti sajalah." Segera kuurungkan.

Setelah warung tutup, aku segera mandi supaya segar sekalian ambil wudhu untuk salat ashar. Setelah selesai semuanya aku ingin kirim pesan ke Mas Irfan.

[Mas, kok lama sekali perginya?] lalu kukirim.

Centang satu. Ada apa ya? Semoga tidak terjadi apa-apa. Biasanya Mas Irfan langsung membalas chat ku, tidak pernah dibiarkan lama seperti ini. Kecuali kalau sedang diisi baterai atau ketinggalan di mobil.

Di luar, terdengar pintu rumah diketuk seseorang, aku gegas ke depan. Ketika pintu kubuka, ada seorang Bapak pelanggan mau mengambil mobil yang masuk bengkel beberapa hari yang lalu.

"Janjinya hari ini sudah selesai," kata bapak itu agak emosi.

"Iya, Pak. Tapi suami saya sedang pergi mengantar Ibu ke pasar beringharjo."

"Mobilnya akan saya pakai ke luar kota, gimana dong kalau belum jadi. Janji itu harus ditepati, tidak asal omong. Kalau caranya gini bisa lari pelanggannya," omelnya.

Aku mengambil nafas sepenuh dada, kesal sekali.

Kulihat ponselku masih centang satu, akhirnya ku beranikan diri untuk menelepon Mas Irfan.

"Ditelepon dong suaminya, jangan diam begitu!" bentaknya.

"I-iya Pak, ini juga mau telepon," ujarku sedikit gugup dan kesal. lebih kesal lagi dengan Mas Irfan yang meninggalkan pe-er seperti ini.

Astaghfirullah aladzin, mimpi apa aku ini sampai dibentak bapak itu, pakai melotot juga. Duh, matanya!

Ku telepon lagi Mas Irfan , tetapi tidak diangkat. Kuulangi lagi sampai berkali-kali, supaya bapaknya tahu kalau aku sudah berusaha menghubunginya.

Alhamdulillah, akhirnya diangkat.

"Assalamualaikum, Mas," sapaku.

"Walaikumsaalam!" suara Ibu mertuaku dengan nada tinggi membuat aku berjingkat. Ya ampun, keringat dinginku langsung mengucur.

"Irfan masih salat! Kenapa sih, Del? Kok kamu sampai telepon berkali-kali. Irfan itu pergi nganter Ibu ambil barang di pasar beringharjo, kamu keberatan ya! Suara teleponmu membuat bising telingaku!" Ketusnya, kemudian hapenya dimatikan.

"Bu..." lah, ponsel sudah terputus, padahal aku belum diberi kesempatan untuk bicara permasalahannya.

Kulihat wajah Bapak yang mengesalkan itu menatapku tanpa berkedip.

"Gimana!" Cecarnya. Aku bingung harus menjawab apa pada Bapak itu.

"Masih salat, Pak. Tadi Ibu mertua yang jawab," jelasku akhirnya.

"Aku tidak mau tahu!" Gertaknya.

Duh, lama-lama hatiku ciut juga, menghadapi bapak ini. Ya ibu mertua, suami, lebih-lebih Mbak Nung, semua kacau, membuatku geregetan.

Kulihat bapak itu menelepon seseorang, nadanya juga marah. Tapi aku bisa menangkap pembicaraan mereka, bahwa perginya ke luar kota ditunda agak malam karena mobil belum bisa diambil sekarang, begitu yang kudengar.

"Kutinggal sebentar, nanti kuambil mobilnya. Kuharap sudah jadi seperti janjinya! Paham?" Ujarnya dengan sinar mata yang kesal.

"Baik, Pak." Aku menunduk, merasa bersalah. Aku tidak mau mengikuti suasana hatinya yang sedang marah.

"Permisi...!"

Aku mengagguk dengan senyum yang terbaik.

Sepeninggal bapak itu, segera kukunci kembali pintu bengkel dengan agak kasar, kali ini aku mengikuti suasana hatiku yang sedang marah.

Bersambung.

..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status