Share

Bab 2 #Dijulidi tetangga dan ibu mertua

Bab 2

Bersamaan dengan itu, Mbak Nung muncul dari pintu belakang yang menghubungkan antara rumahku, dan rumah ibu mertua. Sengaja dibuat pintu seperti itu, katanya supaya enak aksesnya.

"Ayam popnya enak enggak, Dik?" tanya Mbak Nung, dengan senyum yang tulus.

Seragam ASN sudah diganti dengan daster longgar. Ditangan kanannya menggelendot Fara, balita cantik yang menggemaskan itu.

"Enak banget, Mbak. Terima kasih, ya," ucapku. Saking enaknya, sampai aku lupa dengan kekesalanku terhadapnya.

"Syukurlah kalau enak, Dik. Bisa jadi langganan kalau gitu," katanya sambil duduk di sebelahku.

Tidak diipungkiri, Mbak Nung itu orangnya baik, ramah, cantik, dengan rambut hitam lurus sebahu.

"Iya, enak banget. Terasa bumbunya, beda dengan yang lain," balasku sambil menggerogoti sisa-sisa daging yang menempel di tulang.

"Ayuk Mbak, sekalian makan," ajak Mas Irfan.

"Tadi di kantor sudah makan, masih kenyang," balasnya.

"Fara sudah makan?" tanyaku selanjutnya setelah mencuci tangan. Balita cantik itu mengangguk.

Begitulah kehidupan kami setelah Mbak Nung pindah menjadi satu sepeninggal suaminya. Sehingga tidak heran kalau sewaktu-waktu dia seenaknya membangunkan, minta tolong supaya Mas Irfan mengantarkan ke rumah sakit, ketika bayi dalam kandungan kontraksi.

Aku sendiri tidak bisa marah, karena hanya Mas Irfan yang bisa dimintai tolong, entahlah antara kasihan dan sedih, pokoknya bercampur menjadi satu.

"Aih, jadi suami waspada." sindirku ketika Mas Irfan pulang tengah malam mengantar mbak Nung pergi ke dokter, jadwal periksa kandungan.

Mas Irfan memang irit bicara sehingga kalau aku ngomel kemana-mana, dia cuma diam, paling hanya tersenyum tipis. Membuat emosiku naik sampai ubun-ubun sehingga bikin gemes, aku ingin ada umpan balik, bukan diam seperti itu.

Kata Mas Irfan, lebih baik diam kalau aku sedang marah, supaya tidak memperuncing masalah. Itulah suamiku, laki-laki yang polos.

Kadang dia pergi ke teras belakang untuk menenangkan pikiran, hati dan juga menghindari omelanku.

Kalau sekiranya aku sudah tenang, Mas Irfan mendekatiku, kemudian kita bicara baik-baik. Memang benar, dengan begitu emosiku sudah reda.

Dan akhirnya kami rukun kembali, sehingga hampir tidak pernah ada pertengkaran hebat, kendati emosiku kadang memuncak.

***

Setiap pagi, aku membantu menjaga toko kelontong milik Ibu mertua. Dari pagi toko sudah ramai dikunjungi pembeli, selain dagangannya lengkap, harganya juga murah, sehingga mereka senang belanja di warung ibu mertua.

Tugas Mas Irfan setiap pagi mengantar Mbak Nung ke kantor sampai di terminal Jombor saja, setelah itu dilanjut naik trans Jogja ke menuju Timoho tempat Mbak Nung bekerja.

"Pinjam sebentar suamimu, ya, Dik," pamitnya setiap hari seperti itu.

"Iya, Mbak." jawabku juga seperti itu setiap hari, walaupun hati kecilku meronta.

Aku tersenyum masam, sambil melayani pembeli di toko. Walapun begitu ekor mataku mencuri pandang ke arah Mbak Nung, yang kulihat semakin hari semakin cantik saja.

Dibonceng naik motor dengan perut besar, walaupun tidak menempel Mas Irfan, setidaknya tubuh mereka saling bersentuhan. Duh, mereka bukan muhrimnya.

Aku menghela nafas kasar.

Kata orang, wanita hamil itu semakin seksi dan cantik. Banyak laki-laki yang suka melihatnya, entah kenapa tiba-tiba aku jadi cemburu, ya. Batinku sambil memgelus perutku yang masih rata.

"Sudah tiga tahun belum isi juga, Neng," kata Bu Ari, tetangga sebelah, ketika sedang belanja di warung ibu.

"Iya tuh, yang laen sudah momong anak, Dela belum juga hamil," sahut mertuaku yang duduk di meja kasir. Nyahut saja, seperti kompor meleduk.

"Nungky saja sudah mau dua," sahut Bu Ana, pembeli lain yang rumahnya masih satu RT.

"Banyakin minum jamu, biar subur rahimnya, gih," sahut salah Ibu yang aku tidak hafal namanya.

"Banyakin istighfar juga," kembali Ibu mertua nyolot.

Kemudian mereka tertawa. Pagi-pagi sudah membuat hatiku sedih. Mereka saling sahut menyahut menertawakan diriku yang belum punya momongan. Memangnya aku bisa apa? jawabku dalam hati.

Belanjaan mereka tidak banyak, hanya beli bayam seikat, ada yang beli tomat dua biji, juga hanya nanya-nanya doang, namun omongan mereka sangat menyakitkan.

Ibu mertua.juga kelihatan senang kalau ada yang mengolokku, bahkan ikut menyudutkan. Dengan begitu.jadi tahu isi hati Ibu mertuaku. Ibu mertua kelihatan senang kalau ada yang julid kepadaku, bahkan ikut tersulut emosinya.

Aku hanya bisa istighfar, diam seribu bahasa, pura-pura sibuk melayani tamu lainnya, padahal telingaku kupasang dengan baik, walupun terdengar menyakitkan.

Aku berharap Ibu mertua akan membelaku, kenyataannya ikut-ikutan menyerangku. Itu yang membuat sedih, hatiku hancur berkeping.

Ketika pulang dari jaga warung, aku dipojok kamar menangis sendirian. Mas Irfan pergi mengantar Fara ke dokter gigi setelah balita itu pulang sekolah, sehingga aku bebas mengeluarkan uneg-unegku.

***

"Kenapa, Yang?" Mas Irfan akhirnya menemukanku dipojok kamar.

"Kucari ke mana-mana tidak ada, rupanya disini."

Air mataku segera kususuti dengan ujung lengan blous warna abu.

"Kenapa? Pingin diantar kemana?" rajuknya.

Aku menggeleng. Ingin rasanya aku cerita tentang Ibunya yang julid, kalau bicara selalu menyakitkan. Terlebih kalau ada tetangga yang ngulik keadaanku, kesempatan Ibu mertua nyolot.

"Ayuk diantar kemana? Jangan sampai bilang kalau ngantar Mbak Nung saja sat set, kalau disuruh ngantar istri jawabanya ngeselin," sindir Mas Irfan

"Aku menangis bukan masalah itu," bisikku dalam hati

Mas Irfan meraih tanganku, "Kalau gitu kita makan bakmi diluar aja, yuk" ajaknya.

Aku mengangguk senang, bolehlah. Kayaknya enak menyeruput kuahnya yang panas dan pedas, sementara kesedihan ini aku tangguhkan.

Segera kuraih jaket untuk mengurangi rasa dingin, lalu gegas ke depan menyusul Mas Irfan yang sudah menunggu diatas motor. Ketika akan duduk diboncengan, Mbok Rah tergopoh-gopoh lari dari dalam rumah.

"Mas Irfan tolong! Ibu jatuh di kamar mandi!" teriaknya ketakutan. Mas Irfan langsung lari kedalam setelah motornya di standarkan.

Aku juga lari menyusul kedalam. Mas Irfan dengan cekatan membopong ibu dari kamar mandi langsung dibawa ke kamar tidur.

"Alhamdulillah, Ibu hanya terpeleset, tidak sampai fatal. Lain kali hati-hati, Bu," kata Mas Irfan.

Setelah itu Ibu tiduran di kamar, minta ditungguin anak bungsunya, juga menantu dan cucu kesayangan. Aku berusaha ikut bergabung sambil memijit kakinya, namun tidak berkenan.

"Gak usah. Aduh, sakit," katanya sambil beringsut. Aku seperti mati gaya, bingung, mau keluar kamar tidak ada alasan, kalau tetap di dalam susananya kaku. Mas Irfan hanya menunduk.

"Fara, tolong panggil Mbok Rah," titah Ibu mertua.

"Saya panggilkan saja, Bu," tanpa menunggu jawaban aku segera mengambil alih tugas Fara, kakiku gegas kuajak keluar.

Kesempatan untuk menghindar dari suasana yang kaku. Setelah di luar aku bisa bernafas lega, apalagi setelah sampai di kamar.

***

"Makan bakminya kita batalkan ya, Yang," rajuk Mas Irfan, setelah dari rumah Ibu. Aku menghela nafas panjang, sudah lupa tentang bakmi, sudah ngantuk berat, batinku.

Aku hanya mengangguk, supaya Mas Irfan senang.

"Yang, tadi sore kenapa menangis?" tanya Mas Irfan, rupanya masih penasaran dengan tangisku sore tadi.

Hmm, aku tidak langsung menjawab, kedua mataku sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Masalah Mbak Nung?" tanyanya dengan lembut, sangat hati-hati.

Aku menggeleng. Mas Irfan meraih bahuku. Dikecup keningku, diusap lembut rambutku.

"Trus, apa yang membuat Sayang menagis?" desak Maa Irfan. Aku tidak mungkin berkata dengan jujur, kalau yang membuatku menangis itu ibunya.

"Kenapa aku belum juga hamil, ya, Mas?" akhirnya aku berani mengeluarkan isi hatiku, tiba-tiba rasa kantukku hilang seketika.

Laki-laki yang sudah menghalalkanku tiga tahun yang lalu itu menerawang keatas, sebenarnya aku tidak tega melihatnya. Bukan salah dia juga, seakan aku ikut memghakimi.

"Kita serahkan kepada sang pencipta, Yang. Terserah kapan mau diberi momongan anak. Kita selalu berdoa dan ihtiar. Hmm, bukannya kita sudah ada Fara, dan sebentar lagi adik Fara lahir." Suara tenang tanpa beban.

Mulanya aku senang mendengarkannya, namun ketika memyebutkan anaknya Mbak Nung, aku langsung il feel. Kalau itu aku tahu, Mas, gumamku.

Maksudnya kita belum diberi momongan, sementara orang pada nyinyir termasuuk Ibu kamu, bisikku dalam hati, aku sudah mulai kesal.

Dasar Mas Irfan orangnya baik, dan lugu, dia tidak paham apa yang aku maksudkan. Mau marah, tapi melihat wajahnya sangat santun jadinya tidak tega.

"Tetangga kita sudah mulai bisik-bisik" kataku, sedikit kutekan, menahan emosi.

"Kalau memikirkan omongan tetangga, kita tidak akan maju," jawabnya sambil duduk membelakangiku. Aku berusaha meredam emosi.

"Bukan hanya tetangga saja, Mas...," Aku sengaja menjeda kalimat karena tidak sanggup meneruskannya.

"Loh, siapa yang berani ngomong seperti itu." Mas Irfan langsung membalikkan badan, manik matanya menatapku tajam. Aku tidak tega melihatnya.

Tidak terasa mataku mengembun, aku berusaha menghalau, supaya tidak menangis. Namun, terlambat.

"Katakan pada Mas, siapa dia, sehingga membuatmu nangis."

Aku mengatur nafas dengan pelan ...

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status