Share

Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu
Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu
Penulis: Teeyas

Bab 1 #Ketika Suamiku Dipinjam.

Bab 1

"Dek, pinjem sebentar suamimu, ya." Suara mbak Nung lewat ponsel.

Aku berusaha menelan salivaku. Sejenak aku diam untuk menetralisir emosi yang bergejolak dihati. Pelan-pelan kuambil nafas panjang, lalu kubuang dengan kasar.

"Dek." Suaranya lagi.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sambil membayangkan kondisi Mbak Nung yang sedang hamil tua, sebenarnya kasihan melihat perutnya yang sudah berat dibawa kemana-mana.

"Hallo, Dek." Suara manis istri almarhum Mas Fadli kakak iparku.

"Ya, Mbak Nung." Suaraku kubuat ceria, supaya enak didengar wanita cantik yang sedang menunggu kelahiran anak ke duanya itu.

"Mas Irfan suruh jemput aku di terminal, ya. Aku sudah tiba sepuluh menit yang lalu," kata Mbak Nung dengan lancar dan jelas.

Dia sama sekali tidak mengerti bagaimana perasanku sebagai istrinya Mas Irfan yang selalu dimintai tolong ini dan itu. Juga tidak pernah peduli suamiku sedang sibuk atau santai, pokoknya langsung hajar kalau minta tolong.

"Ya, Mbak Nung," jawabku, walaupun hatiku dongkol. Beruntung tidak berhadapan, sehingga tidak bisa melihat wajahku yang kacau.

Setelah mengucapkan salam, kukembalikan ponselku di atas nakas. Dengan mulut mengerucut kutemui Mas Irfan yang sedang menyelesaikan pekerjaannya sebagai montir mobil, di bengkel miliknya sendiri.

"Kenapa, Yang?" tanyanya tanpa melihat wajahku yang kutekuk-tekuk.

"Mbak Nung!" rengekku, sambil memainkan ujung baju.

Mas Irfan melirikku sebentar, bibirnya mengulum senyum. Laki-laki hitam manis itu selalu menyeringai kalau aku ngambek gara-gara Mbak Nung.

Suamiku itu orang yang penurut, sabar, baik hati dan ringan tangan, sehingga sering dimanfaatkan oleh siapapun.

Lebih-lebih Mbak Nung, Aku sebagai istrinya kadang ingin marah, tapi tidak bisa. Karena ibu mertuaku yang mengendalikan semuanya.

Gegas alat bengkel yang di pegang diletakkan ke tempat semula. Lalu mencuci tangan dan kaki dengan sabun sampai bersih.

"Bukannya tadi waktu aku minta tolong untuk mengantar ke pasar, katanya sibuk. Giliran mbak Nung yang minta tolong kenapa langsung sat set, sat set." Gerundelku dalam hati.

"Kenapa mbak Nung, Yang?" ulangnya. Tangannya yang sudah bersih di keringkan dengan kain, lalu meraih bahuku mengajak masuk ke dalam rumah.

"Ada apa dengan Mbak Nung?" ulangnya lagi, karena aku tidak segera menjawab pertanyaannya tadi.

"Disuruh jemput Mbak Nung di tempat biasa," kataku kesal.

Mas Irfan melihat jam yang menggantung di dinding, lalu mengangguk. Dia sudah tahu apa yang harus dikerjakan di saat ini. Tadi siang sudah menjemput sekolah Fara, sekarang jemput mamanya.

Diambilnya jaket, helem, masker, lalu dipakai. Aku hanya memperhatikan dari belakang dengan hati dongkol. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya.

Sejak Mas Fadli -- suami Mbak Nung meninggal, Mas Irfan lah yang repot, mengantar dan menjemput kerja, memgurusi sekolah Fara, menemani periksa kandungan. Belum yang urusan kecil, rapat di sekolahan dan masih banyak lagi.

Usia kandungan Mbak Nung memasuki sembilan bulan, sudah mendekati hpl nya. Dokter melarang bekerja berat, termasuk naik kendaraan, sehingga kemana-mana harus diantar.

Nah, ini dia yang bikin aku sakit hati.

Tugas mas irfan adalah sebagai suami siaga bagi Mbak Nung. Kadang aku cemburu, apalagi perkawinanku selama tiga tahun belum diberi momongan, hatiku bertambah perih.

Sebelum mengeluarkan motor, laki-laki tinggi, kurus, hitam manis itu mencium keningku, lalu mengacak rambutku dengan lembut.

"Mas keluar sebentar, ya," pamitnya.

"Ya!" kucium punggung tangannya. Walaupun kesal, aku tetap melakukan kebiasaanku sebagai istri.

Sejak Mas Fadli meninggal, seakan Mbak Nung merampas perhatian Mas Irfan dari sisiku.

Netraku mengembun saat memandangi punggung suamiku dari belakang, yang rela mengendarai motor berpanas-panasaan demi Mbak Nung. Kutatap sampai bayangannya menghilang.

Mas Irfan orangnya baik sekali, aku bangga mempunyai suami seperti dia. Seandainya aku yang hamil, pasti mas Irfan lebih siaga. Namun, ketika kuraba perutku masih datar, aku pasrah. Kuambil nafas sepenuh dada lalu kubuang dengan kasar.

Astaghfirullah aladzin.

Aku gegas lari ke dapur, baru ingat kalau sedang menggoreng tempe. Kudenguskan hidungku, sepertinya ada bau agak gosong.

Ya ampun, benar juga, tempe yang hanya empat potong itu warnanya sudah menghitam. Duh, lauk untuk makan siang hangus.

"Gara-gara Mbak Nung, sih," gerutuku.

Kucari simpanan telor di kulkas, ternyata habis.

Ya udah, nanti kalau Mas Irfan pulang, pinjam motor sebentar untuk beli lauk di depan pasar modern, di situ ada warung makan, yang terkenal murah dan enak rasanya.

Coba kalau tadi ditungguin, tidak akan gosong.

Hufgh! Semua gara-gara Mbak Nung, masih gerutuku.

*

Lima bulan yang lalu, Mbak Nung kehilangan suaminya karena sakit jantung. Membuat kita semua terkejut dan sangat berduka. Terlebih Ibu mertuaku, sepertinya belum siap ditinggal anak tercinta.

Kondisi Mbak Nung yang sedang hamil tua, dan juga anak pertama yang masih balita, membuat kita sedih. Namun, bagaimana lagi? Semua sudah menjadi takdirnya.

Kehidupan harus tetap berjalan. Terlebih Mbak Nung, dia harus segera bangkit dan kuat karena ada Fara dan anak yang dikandung, mereka masih butuh perhatian, dan kasih sayang.

Sepeninggal Mas Fadli, Mbak Nung disuruh pulang ke rumah yang ada di sleman oleh Ibu mertuaku. Supaya Ibu bisa membantu mengasuh Fara dan mengawasi kandungan Mbak Nung.

Rumah yang ada di Pugeran Yogja, sengaja ditinggal karena Mbak Nung belum bisa melupakan kenangan yang indah bersama almarhum.

Terdengar suara motor masuk halaman, walaupun aku tahu itu motor milik Mas Irfan, tetap saja aku menjulurkan kepala, ingin melihat janda cantik itu ketika diboncengin Mas Irfan.

Aku mencebik dari balik cendela depan.

Kudengar langkah Mas Irfan masuk ke dapur, aku memang menunggu kedatangannya. Akan meminjam motor untuk beli lauk, sekalian ambil uang di ATM di dekat minimarket.

"Pinjam motor sebentar ya, Mas," pintaku.

"Kunci ada di depan, mau kemana?" dia balik bertanya.

"Ke pasar, beli lauk," jawabku.

""Perlu diantar?" tanyanya.

Hufh! Paling hanya basa basi saja, bukannya tadi pagi dia tidak bisa mengantar katanya masih repot, batinku.

"Gak usah! Aku bisa pergi sendiri," jawabku, seakan menirukan jawaban dia. Kalau aku minta diantar ke pasar, dia menjawab, "Sayang 'kan bisa pergi sendiri." Selalu begitu jawabnya.

Mas Irfan hanya mengulum senyum.

"Sepertinya bau gosong," katanya sambil mendengus.

"Iyaa, aku gosongin tempenya. Ni,mau beli lauk di pasar!" seruku.

"Ini ada ayam pop kusakaanmu, dari Mbak Nung," kata Mas Irfan sambil mengulurkan tas kresek warna putih yang ditenteng.

Netraku terbelalak, aku tidak bisa diam kalau yang ini. Kuraih tas, ayam pop itu segera kutaruh di mangkok.

"Alhamdulillah sepertinya ayamnya enak, nih."

"Sekalian ambilkan nasi, Yang. Aku lapar," titah Mas Irfan, tangannya mengelus perut pertanda sudah keroncongan.

Tanpa jawaban, kuambil secentong nasi ke piringnya, kemudian ke piringku. Tiba-tiba perutku juga lapar. Entah kenapa, sekali mendengar ayam pop, isi perutku langsung berontak minta makan.

Siang ini aku tidak perlu repot kepasar untuk mencari lauk. Aku bersyukur karena ada ayam pop, pemberian Mbak Nung.

Rumah yang kami tempati warisan dari keluarga Mas Irfan. Ada tiga bangunan yang berderet. Yang sebelah kanan sendiri milik almarhum Mas Fadli. Sementara dipakai untuk gudang, karena mereka sudah punya rumah di Pugeran Yogja.

Bangunan tengah di tinggali Ibu mertua dengan mbok Rah asisten yang menemaninya. Bangunan rumah Ibu yang depan ada toko kelontong, dibantu satu pegawai laki-laki, namanya Kang Nono.

Aku juga ikut membantu di toko milik Ibu mertua, untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu panggilan kerja di kantor.

Bangunan sebelah kiri jatah Mas Irfan yang ditempati bersamaku. Yang depan ada bengkel mobil milik almarhum Ayah mertua, kemudian diterus

kan Mas Irfam.

Kerika aku asyik menikmati ayam pop. Bersamaan dengan itu...

Bersambung.

.

.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
amymende
bacanya bikin bego, taunya ngomong dalam hati, sama dinding sekalian.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status