Share

7 Pergi

"Arghh ...!"

Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina.

Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata.

Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti.

"Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh."

"Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck."

Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali.

Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu dan bla bla bla.

"Dia sangat menyebalkan. Aku membencinya."

Ammar tersenyum sinis, sebelum akhirnya keluar dengan tergesa menuju pintu lift. Tujuannya ke lantai satu, menanyakan tentang Elif pada resepsionis. Dan menurut laporan, Elif sudah pergi beberapa saat yang lalu.

.

Di apartemen, Elif tengah sibuk memasukkan pakaian serta beberapa dokumen penting lainnya ke dalam koper berukuran sedang.

Semalam Elif telah bertekad untuk pergi. Tanpa persiapan yang sempurna,kecuali kemantapan hati. Entah tempat mana dan seperti apa yang hendak dituju, yang penting baginya, terlepas dari jeratan kebencian Ammar terlebih dahulu.

Dengan mengandalkan tabungan yang lumayan jumlahnya, hasil jerih payah selama ini, Elif berharap cukup untuk bertahan hidup hingga dirinya mendapat pekerjaan baru.

Selesai mengemas semuanya, wanita itu mendaratkan tubuhnya di atas ranjang. Seketika, sepasang netranya beralih pada bingkai kecil yang terletak di atas nakas.

"Mama, papa, Elif akan pergi. Terimakasih untuk segalanya yang Elif dapatkan selama ini."

"Maaf, jika Elif lancang melakukan semua ini. Bukan Elif tidak tahu terimakasih, tapi ini adalah bentuk terimakasih Elif yang paling tepat. Selama ini kalian menerimaku dengan sepenuh hati. Tapi, tidak dengan Ammar. Ammar membenciku, karena telah merebut apa yang hanya menjadi miliknya selama ini," lirih Elif dengan pilu.

Saat Elif tengah bernostalgia dengan masa lalu. Bunyi bel terdengar dari luar. Sempat menerka-nerka siapa yang datang. Namun, langsung mempebaiki diri yang tampak berantakan dan bergegas keluar ketika bunyi bel terdengar kian memaksa.

"Siapa?"

Elif termagu saat tahu siapa yang kini berdiri di depan pintu.

"Mas, ada perlu apa ke sini?" ucapnya datar.

"Apartemen ini milikku. Apa aku butuh alasan untuk ke sini?" balas Ammar angkuh dengan memasang wajah kelewat dingin.

Lagi-lagi Elif merasa terhina mendengar ucapan suaminya.

'Benar. Apapun yang aku gunakan selama ini memang miliknya. Dan karena itu dia sangat membenciku. Ya Tuhan, kenapa takdir hidupku harus menyusahkan orang lain. Kenapa kehadiranku harus menghancurkan hubungan seorang anak dengan orangtuanya?'

"Silahkan masuk, Mas!"

Elif mencoba bersikap seperti biasa. Seolah hinaan Ammar tidak berpengaruh apa-apa bagi kondisi psikologisnya.

Ah, atau barangkali, hati Elif sudah kebal. Hinaan semacam itu tidak ada apa-apanya dibanding luka-luka lain yang Ammar torehkan.

Tanpa memberi jawaban apapun. Ammar mendahului Elif masuk ke dalam langsung menuju kamar yang selama ini ditempati Elif. Ammar tidak perlu bertanya untuk memastikan sebelumnya. Karena di apartment itu memang hanya ada satu kamar.

"Ck."

Selama ini yang Ammar sadari, dirinya begitu membenci Elif. Dan kebenciannya semakin menggila saat melihat sebuah koper di atas ranjang.

"M–as." Elif yang muncul di belakang, tampak gelagapan saat mendapati Ammar sudah berada di kamarnya.

"Koper itu isinya apa?"

Ammar langsung berbalik menghadap Elif yang hanya setinggi dadanya.

"Hanya beberapa baju dan perlengkapanku yang lain."

Ammar berjalan mendekat ke arah jendela. Membelakangi Elif yang masih menatap bingung pada pemilik punggung tegap itu.

Ammar menghela nafas kasar.

"Kau benar-benar akan pergi?"

"Ya."

"Ke mana? Kalau suamimu tidak mengizinkanmu pergi, bagaimana?"

'Suami? Sejak kapan aku punya suami?'

Hati Elif tersenyum sinis.

"Aku tetap akan pergi."

Elif masih berbicara dengan normal dan itu membuat Ammar semakin jengah. Muak sekali dengan istrinya yang sekarang.

Rahang Ammar tampak mengeras, laki-laki itu mendekati Elif dan mencengkram kedua bahunya.

"Apa susahnya sih, untuk kembali ke rumah, hah?! Memangnya kau mau ke mana? Tidak ada tempat yang mau menerima wanita sepertimu!" bentaknya menggelegar. Wanita dalam cengkramannya tampak gemetar.

Di hari-hari yang lalu, Ammar juga sering marah hingga membentaknya. Tapi, tidak sampai main fisik.

"Ke–napa? Kenapa aku tidak boleh pergi?"

"Ishh."

Mendengar Elif meringis kesakitan, Ammar buru-buru menarik tangannya dari bahu wanita itu.

"Karena aku belum puas menyakitimu. Kau harus membayar semua yang sudah kau ambil dariku!"

Haha. Tidak, bukan itu yang ingin Ammar katakan. Sebenarnya, Ammar tidak rela jika ditinggal pergi. Hanya saja gengsinya terlalu tinggi. Sampai-sampai ada sebuah rasa lain yang tertimbun oleh tumpukan kebencian di lapisan paling dasar.

Dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hanya bisa mengoyak luka Elif dan membuatnya semakin menganga.

'Lihatlah! Selain kebencian, aku memang tidak pernah punya tempat di hatinya.'

Wanita itu mati-matian menahan sesak agar hanya mendekam dalam dada dan tidak muncul kepermukaan.

Bahkan di detik-detik terakhir pun, Ammar hanya bisa memberikan scene menyakitkan untuk disimpan sebagai kenangan.

'Apa salahnya dia berpura-pura baik sekali ini saja, seperti saat menjebakku dulu. Kenapa, nasibku harus mencintai manusia dalam wujud seperti ini, Tuhan?'

Elif mencoba menembus ke dalam mata suaminya, tapi yang hanya tatapan kebencian yang ia temukan.

Wanita itu tersenyum sinis, sebelum akhirnya meraih koper dan tasnya di atas ranjang dan melewati Ammar begitu saja.

Lihat! Laki-laki itu bahkan tidak tahu cara menuruti kata hati untuk menahan agar istrinya tidak pergi.

"Tunggu!"

Langkah Elif terhenti saat sudah tiba di ruang tamu. Elif menoleh bingung saat Ammar berjalan melewati istrinya untuk duduk di sofa.

"Aku hanya ingin menyampaikan satu hal sebelum kau pergi. Barangkali kau sudah lupa. Tidakkah apa kau bawa itu milik keluargaku. Kunci mobil, pakaian, ponsel, bahkan uang yang kau dapatkan itu hasil bekerja di perusahaanku dengan ijazah sarjana yang juga kau peroleh karena belas kasih keluargaku.

Kau masih ingat 'kan, apa yang kau bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku? Jadi, jika berkeras ingin pergi, maka pergilah tanpa membawa apapun," cibir Ammar dengan sinis.

'Ck, aku yakin, dengan begini dia tidak akan pergi. Mau hidup dengan apa dia di luar sana?' batin Ammar merasa menang.

Deg.

Elif masih ingat sekali saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah megah keluarga Ammar. Hanya dengan pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya.

Kasarnya, Elif hanya gadis yatim piatu yang dipungut Ny. Risma dan Tn. Rasyid. Seperti yang sering Ammar katakan untuk membuat Elif sadar diri mulai saat itu.

Ya, Elif memang tidak membawa apapun selain pakaian lusuh. Wanita itu membenarkan, semua yang Ammar sebutkan tadi, memang dia dapat karena belas kasih mertuanya.

Lalu, apa Elif harus mengembalikan semua itu agar bisa bebas dari dendam suaminya?

Laki-laki itu baru saja kembali membuka luka lama.

"Ambillah! Semua ini memang milikmu!"

Elif meletakkan ponsel, kunci mobil serta ATM dan tasnya ke atas meja. Tepat di hadapan Ammar. Kemudian, membuka koper dan mengambil map yang berisi ijazah yang diperjuangkan dengan susah payah untuk diserahkan pada suaminya.

Setelah menutup koper yang hanya berisi beberapa potong pakaian, Elif mendorongnya ke samping sofa, di mana Ammar duduk. Lalu, melepaskan high heels yang yang melekat di kedua kakinya.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Ammar tidak habis pikir.

"Apa kau sudah gila?!"

Laki-laki itu menatap nyalang pada istrinya.

"Apa aku harus melepaskan pakaian ini juga?" tanya Elif dengan suara tertahan. Sudut matanya mulai berkaca.

Melihat tingkah istrinya, kedua tangan Ammar terkepal erat.

"Tidak. Aku pikir kau masih punya sedikit nurani untuk tidak membiarkan aku pergi dengan telanjang. Tenang saja, aku akan mengganti harga pakaian ini saat aku punya uang. Kalau tidak ada lagi, aku pergi dulu."

Elif meninggalkan suaminya dalam keadaan mematung. Ammar menatap nanar pada benda-benda milik istrinya yang kini tergeletak di hadapannya.

"Dasar wanita keras kepala! Apa dia mencoba menggertakku? Mau ke mana dia dengan kaki telanjang dan tanpa uang sepeser pun," monolog Ammar setuju dengan logikanya.

Entah kapan laki-laki itu sadar dengan rasa sakit yang Elif dapatkan karena ulahnya.

Sementara Elif berjalan di pinggir jalan dengan kaki telanjang. Tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju.

Tanpa membawa apapun, selain pakaian yang melekat ditubuhnya.

Ada yang menatapnya dengan aneh, prihatin, dan banyak juga yang tidak peduli. Sebagian ada yang mengira, jika wanita cantik itu sedang putus cinta.

Nyatanya, apa yang Elif alami lebih pelik dari dugaan mereka. Telapak kakinya mulai perih, tapi luka hatinya jauh lebih kentara.

'Aku harus ke mana?'

.

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Marfuah
baik lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status