Share

6 Surat Pengunduran Diri

Dalam perjalanan, Alzam dan Elif ditemani kebisuan. Tak ada yang ingin memulai percakapan. Meski sesekali, Alzam mencuri-curi pandang pada wajah sendu yang sibuk menatap kosong sekitar.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, mobil yang dikendarai Alzam berhenti di depan sebuah resto yang ingin Elif kunjungi. Ada beberapa teman yang sudah menunggu di dalam sana.

"Masuklah! Teman-temanmu sudah menunggu bukan?" perintah Alzam.

"Lalu ... Kak Alzam, bagaimana?"

Tatapan tidak enak dari wanita di sampingnya, membuat senyum laki-laki itu mengembang.

'Kau terlalu sibuk menjaga perasaan orang lain. Hingga lupa dengan perasaanmu sendiri yang hampir hancur tak berbentuk.'

"Aku bukan anak kecil, aku juga punya urusan di sekitar sini. Habiskan waktu bersama mereka hingga kau bosan. Jangan khawatir kakau kita telat kembali ke kantor! Itu akan menjadi urusanku. Ingat, hubungi aku kalau sudah selesai!"

"Benar, Kak Alzam tidak apa-apa sendirian? Eum, kalau tidak keberatan, Kak Alzam bisa ikut bergabung dengan mereka," ujar Elif.

Menggemaskan. Simpul Alzam ketika bola mata keduanya berpapasan. Menurutnya, Elif bagian definisi dari bunga Edelweiss, segudang ketulusan begitu memancar dari manik matanya.

Sayang, dendam membuat sang suami tidak mampu melihat itu semua. Elif tetaplah Elif. Perebut hak orang lain. Ammar dan Elif sesuatu yang berbeda.

Perbedaan sikap keduanya, membuat orang tua Ammar membanding-bandingkan Ammar dan Elif.

Lebih tepatnya, Ammar adalah anak yang keras kepala dan pembangkang. Pembuat onar. Melakukan apapun yang diinginkan tanpa peduli itu benar atau salah.

Toh, dirinya anak sultan, dan uang bisa menyelesaikan semuanya.

Tuan Rasyid dan Nyonya Risma kewalahan, mereka menyesal karena telah salah mendidik putra semata wayang.

Sering dinasehati hingga berakhir dengan omelan, tapi Ammar tidak pernah mau peduli. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Tapi, kehadiran Elif membuat keadaan rumah megah itu semakin parah kian hari.

Elif dengan aura positif yang dibawanya dari gubuk sederhana. Membuat Ammar merasa terusik. Mereka sangat bertolak belakang. Tuan Rasyid dan Nyonya Risma sering memuji gadis berusia 15 tahun itu. Dan menyuruh Ammar yang lebih tua 4 tahun belajar darinya.

Apa-apaan. Maki Ammar dalam hati.

Ammar yang tadinya sebagai anak tunggal. Menganggap kehadiran Elif sebagai rival dan mengira Elif sangat menikmati setiap kali mendengar Ammar mendapat omelan dan kemarahan orang tuanya.

Siapapun tidak tahu, sering kali Elif menangis diam-diam karena merasa tertekan dengan rasa bersalah.

Hari demi hari Ammar menatapnya penuh kebencian, hingga kepergian Ammar ke luar negeri memisahkan mereka.

"Trust me, Elif. Bukannya keberatan untuk bergabung, tapi aku ada urusan dengan seseorang. Pergilah! Atau ..."

"Atau apa?"

Elif merasa was-was melihat Alzam mengangkat alisnya.

"Atau ... kau menunggu aku membuka pintu mobil untukmu?"

"Ish, mnyebalkan."

Tanpa menunggu tanggapan Alzam. Elif buru-buru keluar dari sana dan berjalan masuk ke dalam restoran dengan tergesa.

Ada semu yang muncul dengan lancang dari kedua pipi. Humor Alzam membangkitkan sebuah rasa dalam relung hati. Bermekaran, lalu kuncup kembali. Sesingkat itu kebahagian sederhana menghampiri.

Bagaimana bisa dia mengira aku berharap dibukakan pintu. Apa aku terlihat seperti wanita yang jarang dibelai, Ammar memang tidak pernah membuka pintu mobil untukku, dia hanya bisa membanting sesuatu saat di depanku.

Tuhan, bisakah aku menyalahkan takdir? Apa aku salah satu wanita yang kuat di dunia ini, hingga harus melewati hidup semacam ini?'

Atau, aku memang tidak layak untuk dicintai?

Elif adalah wanita miskin yang menginjakkan kaki di istana dengan cara yang tak pernah wanita itu duga. Tapi, kisahnya tak seberuntung cinderella.

Jauh sekali perbedaan suami Elif dengan pangeran dalam kisah dongeng cinderella.

"Hai!" sapa Elif saat tiba di meja di mana para sahabatnya sudah berkumpul.

Darius, Bima, Hilya dan Elena menatap rindu pada sosok yang kini berdiri di hadapan mereka.

"Hai, El! Duh kangen tauuu!"

Peluk Hilya yang memang posisi duduknya di samping Elif.

"Hehe, aku juga kangen sama kalian."

"Ayo, duduk, El! Darius dari tadi nanya-nanya kamu terus tau," timpal Elena terbahak.

"Fitnah woi, fitnah! Jangan percaya El! Elena itu udah nggak waras gara-gara ditinggal nikah pacarnya."

"Enak aja lo bilang gue nggak waras. Emang cuma dia laki-laki di dunia ini. Sorry ya, gue bukan wanita bodoh yang menyiksa diri gara-gara laki-laki buaya seperti itu. Ya 'kan, Elif?"

"Eh, iya- iya."

"Lo kenapa sih, kaku banget sama kita?"

Elif merasa tersentil dengan ucapan Elena. Meski, sahabatnya tidak bermaksud menyindir. Tapi, hati kecil Elif tersadar, sudah terlalu lama dirinya bertahan dalam kebodohan.

Membiarkan harga diri terinjak-injak. Untuk kesalahan yang tak sepatutnya dia terima.

.

Entah seperti apa ceritanya Ammar dan Rani berakhir dalam Private Room sebuah restoran bintang lima.

Nyatanya, laki-laki itu lebih banyak membisu. Mengabaikan aneka hidangan mewah juga Rani yang sedari tadi sibuk mengoceh.

"Diam dan habiskan saja makananmu!" ujar Ammar datar dengan tatapan mematikan.

Wanita itu memilih diam dan menghabiskan makanannya, setelah membujuk laki-laki kepala batu dengan berbagai cara.

Aneh.

Sementara di tempat lain.

Lumayan lama Elif menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Hingga baru menghubungi Alzam saat waktu telah menunjukkan pukul empat sore.

Mereka bercerita banyak hal, lebih tepatnya Elif menjadi pendengar untuk setiap cerita mereka.

Tentang Darius yang baru kembali dari luar negeri untuk meneruskan bisnis sang papa. Bima yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Elena yang sibuk memaki mantan kekasihnya. Dan Hilya yang sedang menempuh pendidikan S-2nya.

Elif?

Wanita itu menciptakan beberapa kebohongan untuk menutupi kisah pelik rumah tanggannya.

Hingga para sahabat berkesimpulan, pernikahan mewah yang mereka hadiri beberapa bulan yang lalu, hanya ada kebahagiaan yang Elif dapatkan di dalamnya.

Sampai-sampai hati Darius yang awalnya terasa perih berubah lega. Ikut bahagia mendengar dongeng Elif yang penuh kebohongan.

.

Elif berdiri di samping jendela dengan tirai yang tersibak. Menatap kota dalam gemerlapan yang tengah diguyur hujan lebat.

Apa yang terjadi besok? Hidup macam apa yang akan kujalani ke depannya?

Dosakah aku jika memilih terjun lewat jendela ini untuk menyusul ayah dan ibu?

Elif bergidik ngeri, membayangkan tubuhnya remuk saat jatuh dari ketinggian puluhan meter dari tempatnya berdiri saat ini.

Tidak. Tuhan akan membenciku. Begitupun ayah dan ibu. Meski lelah, aku tak boleh menyerah.

Setelah menutup tirai rapat-rapat. Elif berjalan ke sofa minimalis yang terletak tidak jauh dari tempat tidur.

Sejenak merebahkan diri, lalu bangkit duduk kembali. Itu-itu saja yang dilakukannya hingga berulang kali sebelum tangisnya pecah menyusul derasnya hujan yang sedang mengguyur bumi.

Tiba-tiba Elif teringat dengan ucapan Elena tadi siang. Tentang definisi wanita bodoh yang berkorban untuk laki-laki tidak tahu diri.

Aku hanya ingin menangis untuk yang terakhir kali. Ya, aku tidak ingin menghabiskan waktu seumur hidup untuk penantian tidak berguna seperti ini.

Harusnya aku tidak memikirkan laki-laki itu lagi. Tapi, kenapa dia tak juga pergi dari hatiku? Kenapa? Batin Elif menjerit. Lukanya semakin menganga.

Elif terus menampik bahwa dirinya masih mencintai Ammar. Meski ... kenyataan begitu bertolak belakang.

.

Tepat pukul sepuluh pagi. Pintu ruangan Ammar diketuk dari luar.

"Masuk!"

Laki-laki itu bersorak dalam hati, setelah melihat siapa yang datang.

Ammar mengeluarkan cincin yang sempat bertahta di jemari Elif dari laci meja, tepat setelah Elif berdiri di hadapannya.

'Aku tahu kau akan mengambil langkah yang tepat. Tidak mungkin kau sanggup menjalani kehidupan yang keras di luar sana apalagi dengan pergi dari hidupku.'

"Ambillah, apa perlu aku yang pakaikan?" tanya Ammar dengan senyum penuh arti.

"Maaf, Pak! Saya hanya ingin menyerahkan ini."

Elif mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya kemudian meletakkannya ke atas meja Ammar.

Sekilas Ammar memicingkan mata. Sebelum meraih amplop berwana putih itu untuk dibuka.

SURAT PENGUNDURAN DIRI.

Mata Ammar membulat, seperti ingin keluar dari kelopak, lalu beralih pada wanita yang masih membeku di depannya.

"Kalau begitu, saya permisi!"

Laki-laki itu masih sibuk mencerna apa yang terjadi, hingga akhirnya tersadar saat Elif sudah sampai di depan pintu.

"Hei, tunggu! Elif!"

.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status