Karleen merasa jantungnya akan meledak. Dia mengatur napasnya tidak beraturan. Entah mengapa dirinya terasa sangat kacau. Karleen mencuci wajahnya dengan air keran yang membuat wajahnya mendingin. Karleen tidak mau menebak kalimat apa yang diutarakan Warren tadi. Menebak kalimat itu sama saja dengan sengaja membuat jantung Karleen semakin tidak aman.‘Gawat! Apa yang harus aku katakan ketika aku kembali nanti?’Perasaannya membuncah. Karleen membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk mengontrol dirinya. Perasaan ini tidak pernah Karleen alami. Dia merasa sedikit ganjil dengan fenomena yang dialaminya sekarang. Karleen tidak mau menebak apa nama perasaan itu.Karleen yang masih mengenakan jaket pinjaman Warren semakin membuat dirinya malu. Dirinya memutuskan untuk membuka jaket itu dan melipatnya. Setelah perasaan Karleen sudah kembali normal, dia keluar dengan wajah yang sedikit berbinar.“Maaf telah membuatmu menunggu lama,” kata Karleen yang mulai duduk di hadapan Warren. Dirinya ya
Hidung Karleen masih berkedut. Dia menjauhkan wajahnya dari dekapan Warren. Matanya yang masih basah berubah menjadi merah. Warren tersenyum. Mengusap rambut Karleen dengan pelan. Karleen menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Sungguh yang dilakukan Warren membuat Karleen seakan menjadi tidak waras.“Kau sudah tenang?” Karleen mengangguk menjawab pertanyaan Warren sambil sesekali segugukan.“M-maafkan aku sudah menangis. Maafkan aku selalu memperlihatkan sisi lemahku kepadamu,” lirih Karleen pelan.“Kau tidak perlu minta maaf. Menangis itu perlu dilakukan untuk melepaskan perasaan kita yang tertahan,” ucap Warren. Dia tidak dari mana asalnya dia bisa mengatakan hal seperti itu kepada Karleen.“Baiklah Warren, terima kasih banyak. Jadi jaketnya, bagaimana?”“Jaket itu untukmu Karleen. Aku tidak perlu mengatakannya berulang kali agar kau mengerti, bukan?”Karleen menggelengkan kepalanya. Dia memeluk jaket yang semula terlipat rapi. “Warren, bajumu basah.”“Tidak masalah Karleen.”“T
Karleen menyerahkan surat kepada Conrad. Tanpa dipandu, Conrad langsung membuka surat itu. Dia tersenyum senang membacanya. “Karleen, bisakah aku meminjam kertas dan bolpen?” Tanpa menjawab Karleen ngacir menuju kamarnya. Dia mengambil secarik kertas dan bolpen. Conrad menulis sebuah alamat yang lumayan panjang. Conrad kemudian memberikan kertas tersebut kepada Karleen. “Ini alamatku, Karleen. Kau bisa mengirimkan suratmu ke sini.” Karleen membaca alamat itu. “Ah, apa kau perlu alamat rumahku?” “Tidak perlu Karleen, aku sudah tahu. Besok-besok aku akan mengirimkan surat ke asramamu.” Karleen tersenyum simpul. Conrad menatap Warren dengan tajam. Seperti memberikan suatu sinyal. “Karleen, aku pamit dulu ya! Jaga kesehatanmu! Jangan pula di hari minggu kau sudah harus tiba di asrama. Jaga dirimu dengan baik!” Warren tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kanannya. “Baiklah Warren, kau juga! Hati-hati di jalan!” Karleen mengantar Warren keluar dari rumahnya. Setelah punggung War
Conrad berlari menuju sebuah kedai minuman di sudut desa. Kedai minuman sederhana itu tidak terlalu besar dan tidak mencolok dari luar. Interior di dalamnya terbuat dari kayu yang membuat nuansa malam hari semakin sejuk. Suasana yang tidak terlalu ribut ini sangat cocok bagi mereka untuk berdiskusi. Mata Conrad berpendar mencari dua sosok yang dia tebak sudah tiba. Gunther melambaikan tangannya dengan semangat ke arah Conrad. Sosok berkemeja biru sudah duduk di seberang Gunther. Conrad mengambil tempat di sebelah Gunther. “Kapten, akhirnya kau sudah datang!” ucap Gunther dengan riang. “Terima kasih telah menyambutku, Gunther. Apakah kalian sudah memesan?” “Belum Kapten, kami menunggumu datang. Kalau begitu bagaimana kalau kita pesan sekarang?” Warren dengan suara baritonnya memanggil pelayan. Mereka memesan tiga porsi makanan dan juga minuman. “Kapten Warren apakah sudah mengenal Kapten Conrad. Kapten Conrad apakah sudah mengenal Kapten Warren?” “Sudah,” jawab Conrad. Warren hany
Semilir angin malam di musim dingin tidak membuat suasana di sekitar mereka menjadi dingin. Gunther merasakan api yang menggebu-gebu dari Conrad. Sedangkan Warren, dia tetap tenang meskipun Gunther tahu Warren menahan emosinya. Dia bingung dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Suara Conrad melembut. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk meminta dua orang ini menjaga Karleen. “A-aku, aku adalah kakak sepupunya Karleen.” Pernyataan Conrad membuat Warren membeku. Selama ini Warren mengira Karleen adalah sebatang kara, tanpa satu pun sanak saudara. Dia tidak menyangka orang seperti Conrad adalah sepupu dari Karleen. “A-anda, bagaimana bisa? Aku tahu betul bahwa Karleen tidak memiliki siapapun!” Warren terdengar seperti menyangkal pernyataan Conrad. “Aku adalah kakak sepupu Karleen dari pihak ibunya Karleen.” Warren yang semula berdiri, terduduk. Dia tidak mempercayai kata-kata yang baru saja dia dengar. Karleen, selama dia di panti asuhan selalu mengharapkan salah satu kelu
Musim dingin sekarang sudah tidak sedingin awal tahun. Salju-salju sudah mulai mencair. Meninggalkan bekas-bekas es di berbagai tepian. Minggu ini bisa jadi minggu terakhirnya beraktivitas bebas sesuai kehendaknya. Setelah masuk asrama nanti, dia tidak akan dapat bangun kesiangan, membantu ibunya di toko, tidur siang, membaca novel romantic di perpustakaan, dan bertemu dengan Conrad. Karleen berniat untuk jalan-jalan dengan Lisette dan Edwyn pada hari ini. Dia ingin sekali mengunjungi tempat-tempat yang sering mereka kunjungi saat masih kecil dulu. Sudut bibir Karleen melengkung setelah membaca jurnal yang ditulisnya dulu. Sejak kecil, Karleen memiliki kebiasaan menulis jurnal. Dia tertawa membaca peristiwa lucu yang ditulisnya saat dia masih sekolah. Karleen baru ingat dia belum menyelesaikan novel kedua yang dia pinjam kemarin. Novel romantis yang membuat Karleen tersenyum tipis. Meskipun dia bukan penggemar novel bergenre romantis, dia membaca novel itu untuk sekadar memenuhi ras
Karleen mengetuk pintu rumah Lisette. Dari sebelah matanya, Karleen bisa melihat Edwyn yang tampak gelisah. Pintu rumah itu terbuka dari dalam setelah Karleen mengetuknya sebanyak tiga kali. “Edwyn, kau sudah da-.” Ucapan Lisette terhenti ketika dia melihat Karleen yang berdiri tegak di seberangnya.“Karleen, kau ke sini juga?” tanya Lisette yang sedikit terkejut dengan kedatangan Karleen.“Pasti ada yang kalian sembunyikan dariku, ya?” Karleen mencoba tidak marah. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Lisette memalingkan wajahnya. Dia sebenarnya belum siap bertemu langsung dengan Karleen setelah percakapannya dengan Edwyn kemarin. Lisette menatap Edwyn.“Wah! Ada apa dengan kalian berdua? Kalian sedang berkencan tanpa sepengetahuanku, ya?” Karleen menebak seraya tertawa. Ekspresi Edwyn seketika berubah. Karleen tidak bisa menebak apa yang dirasakan Edwyn. Bukannya marah, Edwyn malah terlihat sedih.“Kau salah paham Karleen. Tidak terjadi apa-apa di antara kami,” respo
“Warren memberikannya kepadamu? Bagaimana bisa? Kapan kalian bertemu?” tanya Lisette yang benar-benar penasaran. Dia tidak menyangka progresnya akan secepat itu.“Kemarin, dia datang ke rumahku dan memberikan jaketnya kepadaku,” jawab Karleen dengan volume yang rendah.“Bagaimana bisa dia tahu rumahmu?” tanya Edwyn kemudian. Dari nada bicaranya, Karleen bisa mengetahui bahwa Edwyn sedang kesal.“Dari data militer. Dia tidak datang sendirian. Warren datang bersama Komandan Jaye.”“Dari data militer, itu berarti dia senior kita?” tebak Edwyn.Karleen kemudian menyeringai tipis. “Warren adalah kapten di Militer Kassel.”Edwyn sangat kaget mendengarnya. Rahangnya turun, seakan tidak percaya dengan pekerjaan Warren.“Dia seorang kapten?” ulang Edwyn dengan pelan. Lisette memandang Edwyn prihatin. Pasti Edwyn merasa kecil jika dibandingkan dengan Warren. Meskipun dia belum pernah bertemu dengan Warren, Lisette bisa membayangkan bahwa Warren itu sangat tampan.“Kenapa kau terkejut seperti it