Deg. Om Satya lagi?Kenapa anakku mendadak aneh seperti ini?Apakah kehilangannya akan sosok itu membuatnya berhalusinasi?“Bintang…Jangan ngomongin Om Satya terus. Nanti kalau urusannya selesai juga pulang. Bintang doakan Om Satya ya.” Aku mengusap lembut kepala anakku. Ada rasa miris, namun buru-buru kuhentikan laju perasaanku agar tak makin berlanjut. “Sepertinya Bintang sangat dekat dengan Pak Satya,” ujar Mbak Kemala dengan cukup hati-hati. Aku hanya menimpalinya dengan senyum karena memang tak tahu harus menjawab dengan jawaban seperti apa. Bintang dan Satya bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Bunyi dering ponsel Mbak Kemala membuatnya segera meraih benda pipih itu. Aku masih sempat melihatnya menampilkan raut wajah aneh, namun buru-buru kualihkan tatapanku ke arah ponsel yang juga berbunyi menandakan sebuah pesan masuk ke dalam sana. Sebuah pesan dari Putri, salah satu pegawai yang membantuku di kafe. [Mbak, ada Mbak Andira. Dia nyari Mbak R
Kucermati barisan tulisan yang tertera dari laporan keuangan yang disodorkan padaku. Mataku membesar seiring angka-angka bernilai fantastis itu seolah meluruhkan rasa lelah yang akhir-akhir ini hampir membuat tubuhku tumbang. Rasanya aku hampir tak percaya bahwa pencapaian bulan ini benar-benar melampaui target penjualan. Kedatangan beberapa foodvlogger nampaknya berpengaruh cukup signifikan dengan penjualan produk baik di restoran maupun kafe yang baru buka satu bulan yang lalu itu. Meski harus ada sedikit drama karena beberapa pelaku industri digital itu yang didominasi anak muda itu harus diperlakukan bak raja. Namun tak masalah, selagi permintaan mereka masuk akal dan tetap menerapkan sopan santun aku pun tak keberatan. Beberapa dari mereka sudah kutandai, bahkan mereka yang juga terkesan dengan makanan di kedua tempat usahaku ini tanpa ragu memberikan review cukup memuaskan sesuai harapanku. “Mbak. Ada tamu,” ucap Putri sesaat setelah ketukan pintu terdengar. Aku mengingat-in
Mataku masih tertuju pada sedan mewah berwarna hitam yang perlahan-lahan meninggalkan halaman restoranku. Laki-laki yang akhirnya kutahu bernama Guntoro Adyatama itu masuk ke dalam mobil setelah seorang laki-laki yang memakai jas warna hitam membukakan pintu mobil untuknya. Tanpa menoleh padaku sekalipun, lelaki itu masuk ke dalam kendaraannya hingga kini menghilang, berbaur dengan puluhan mobil lain di jalanan. Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kuhadapi. Pertemuan kurang dari setengah jam itu menyisakan tanda tanya dan perasaan tak habis pikir. Apa yang dikatakan oleh Pak Guntoro membuatku kaku seketika. Kisah tentang Satya menjadi satu-satunya alasan mengapa lelaki itu bergerak menemuiku. “Berapa lama mengenal Satya?” Lelaki dengan garis-garis halus di sekitar matanya itu menatapku dengan pandangan membidik tajam. Beruntung aku masih bisa mengendalikan diriku agar tetap bersikap tenang meski tanpa banyak berkata pun lelaki itu mampu mengintidasiku. “Satu tahun? du
“Hai, Mbak.” Senyum Andira merekah. Kupaksa bibirku melengkungkan senyum. Andira mendekat dan mencium kedua pipiku. Agak kaget dengan sikapnya yang terkesan friendly. Atau memang beginilah sifat aslinya. “Bintang nggak ikut, Mbak?” Lagi-lagi dia menanyakan sesuatu seolah kami sudah mengenal lama. Kurasa Satya yang menceritakan perihal kami padanya. Sedekat itukah mereka? Hatiku rasanya tercubit. “Bilang sama Bintang ya, Mbak. Kupinjam dulu Om Satyanya. Agak sebal juga sebenarnya, bisa-bisanya tiap saat yang dia bicarakan adalah Bintang.” Tawanya pecah. Entah di bagian mana yang lucu. Jangan tanya hatiku saat ini. Semacam luka yang tak kasat mata. Bibir bersemu merah alami itu benar-benar tak lepas dari senyumannya. Perlahan-lahan jiwa kotorku menggeliat. Ada rasa tak suka padanya. Namun buru-buru aku menepis pikiran itu agar tak makin menguasai diriku. “Dia sering cerita Mbak Rindu dan Bintang. Terima kasih ya, sudah menemaninya selama ini. Sayangnya mungkin beberapa waktu ke de
Kulihat dengan tatapan nanar anak lelakiku yang kini meloncat penuh kegirangan di atas tempat tidurnya. Bintang menciumi hadiahnya yang kutaksir berharga jutaan rupiah. Ada rasa kesal yang sulit sekali kuterjemahkan. Dulu, aku selalu melayangkan protes pada Satya yang selalu menuruti keinginan Bintang. Tak hanya itu, bahkan lelaki itu melimpahi anakku dengan hal-hal yang sebetulnya tidak diperlukan. Aku tak ingin Bintang tumbuh menjadi anak manja yang terus-menerus mendapatkan barang-barang mewah. “Bintang. Jangan pernah meminta apapun lagi pada Om Satya.” Kalimatku membuatnya berhenti meloncat-loncat. Tubuhnya membeku. Bintang anak yang perasa. Dia paham dengan perubahan wajahku yang tidak seperti biasanya ini. Tak lama dia beringsut, bergerak mendekatiku yang duduk di tepian tempat tidurnya. “Mama kenapa? Apakah Mama sakit?” tanyanya sambil menyentuh keningku. Hangat. Aku tak kuasa menahan laju air mata yang tiba-tiba menerobos pertahananku. Kuraih tangan kecil itu dan menciumny
Kulangkahkan kaki ke arah pintu. Kubuka kotak kecil yang digunakan untuk melihat siapa yang ada di depan sana. Sosok lelaki asing dengan pakaian resmi berdiri sambil memberi anggukan padaku. Di belakang lelaki itu sebuah mobil yang tak asing terparkir di sana. Aku mengingatnya. Dia lelaki sama yang membukakan pintu mobil untuk Pak Guntoro. “Maaf, menganggu Anda malam-malam. Bapak mengirimkan ini untuk Anda.” Lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu mengangkat paperbag warna coklat agar aku melihat apa yang dia bawa. Segera kubuka pintu gerbang cukup untuk tubuhku. Kuterima paperbag tersebut seraya melirik ke arah mobil. Kurasa Pak Guntoro berada di dalam mobil. “Beliau tidak bisa turun,” ucapnya seolah memahami apa yang mengganjal di hatiku. Aku mengangguk paham. Melihatnya kesusahan berjalan beberapa waktu lalu membuatku yakin itulah mengapa lelaki itu menahan dirinya di dalam mobil. Atau mungkin ada alasan lain lagi. Entahlah. “Terima kasih, saya permisi. Maaf membuat Anda
Secangkir kopi yang kuteguk tanpa sisa tak bisa membuat mataku bekerja dengan normal. Semalaman suntuk hampir aku tak bisa memejamkan mata. Hingga mataku ini bisa terpejam tanpa sadar saat aku berniat merebahkan diri sebentar di atas sajadah seusai sholat subuh tadi. Aku tergagap saat panggilan dari Pak Rama terdengar. Dia heran karena tak biasanya aku telat dalam pertemuan yang sudah kami jadwalkan sebelumnya di kafe. Ada tawaran kerja sama dari salah satu acara TV lokal yang berniat menyewa salah satu space di ruangan terbuka untuk salah satu acara mereka yang bertajuk kuliner. Pak Rama yang kebetulan kenal dengan pemilik TV tersebut langsung merekomendasikan kafe kami yang masih membutuhkan branding agar makin dikenal banyak orang. Setelah berkali-kali meminta maaf aku langsung mempersiapkan diri untuk langsung berangkat ke lokasi. Kebetulan hari ini jadwalku ke kafe untuk meminta laporan evaluasi selama seminggu ke belakang karena ada beberapa kendala yang kurasa membuat pendap
Aku sudah mematut diriku di depan cermin. Gaun berwarna navy sudah melekat di tubuhku. Kupadukan dengan clutch warna senada dan dengan riasan yang natural sesuai dengan seleraku. Aku menarik nafas perlahan, kubayangkan apa yang akan terjadi di acara pernikahan Andira dan Satya nanti. Aku meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Begitupun dengan Bintang, semalam tadi sudah kuberitahu panjang lebar apa yang harus dan tidak harus dia lakukan di acara penting itu. Apalagi setelah mendengar pernyataan pak Rama yang mengatakan bahwa pernikahan cucu Pak Guntoro itu hanya mengundang kerabat dekat saja. Aku yakin alasan lelaki itu mengundang kami adalah atas rekomendasi Satya yang menganggap kami sudah menjadi saudara dekatnya.Bintang memeluk pinggangku cukup erat. Dia pun sudah siap dengan penampilannya. Anakku sepertinya paham bahwa ibunya sedang berjuang memantapkan diri. Kurasakan dekapan Bintang makin melonggar. Wajah putih yang mirip sekali dengan ayah kandungnya itu menata