Secangkir kopi yang kuteguk tanpa sisa tak bisa membuat mataku bekerja dengan normal. Semalaman suntuk hampir aku tak bisa memejamkan mata. Hingga mataku ini bisa terpejam tanpa sadar saat aku berniat merebahkan diri sebentar di atas sajadah seusai sholat subuh tadi. Aku tergagap saat panggilan dari Pak Rama terdengar. Dia heran karena tak biasanya aku telat dalam pertemuan yang sudah kami jadwalkan sebelumnya di kafe. Ada tawaran kerja sama dari salah satu acara TV lokal yang berniat menyewa salah satu space di ruangan terbuka untuk salah satu acara mereka yang bertajuk kuliner. Pak Rama yang kebetulan kenal dengan pemilik TV tersebut langsung merekomendasikan kafe kami yang masih membutuhkan branding agar makin dikenal banyak orang. Setelah berkali-kali meminta maaf aku langsung mempersiapkan diri untuk langsung berangkat ke lokasi. Kebetulan hari ini jadwalku ke kafe untuk meminta laporan evaluasi selama seminggu ke belakang karena ada beberapa kendala yang kurasa membuat pendap
Aku sudah mematut diriku di depan cermin. Gaun berwarna navy sudah melekat di tubuhku. Kupadukan dengan clutch warna senada dan dengan riasan yang natural sesuai dengan seleraku. Aku menarik nafas perlahan, kubayangkan apa yang akan terjadi di acara pernikahan Andira dan Satya nanti. Aku meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Begitupun dengan Bintang, semalam tadi sudah kuberitahu panjang lebar apa yang harus dan tidak harus dia lakukan di acara penting itu. Apalagi setelah mendengar pernyataan pak Rama yang mengatakan bahwa pernikahan cucu Pak Guntoro itu hanya mengundang kerabat dekat saja. Aku yakin alasan lelaki itu mengundang kami adalah atas rekomendasi Satya yang menganggap kami sudah menjadi saudara dekatnya.Bintang memeluk pinggangku cukup erat. Dia pun sudah siap dengan penampilannya. Anakku sepertinya paham bahwa ibunya sedang berjuang memantapkan diri. Kurasakan dekapan Bintang makin melonggar. Wajah putih yang mirip sekali dengan ayah kandungnya itu menata
Kursi-kursi yang dihias dengan kain tile warna putih berderet rapi, membentuk dua barisan yang terbagi di sisi kanan dan kiri jalan. Sementara di bagian tengah, kursi yang dikhususkan untuk calon mempelai terlihat sangat cantik dengan hiasan bunga hidup yang makin membuat kesan mewah acara ini. Aku meremas punggung Bintang hingga anak itu menoleh ke arahku. Lagi-lagi dia tersenyum melihat ibunya yang mungkin tengah diserang kepanikan. Rasanya serba salah, aku tak mengenal satu orang pun yang ada di tempat ini. "Sebelah sini, Mas. Ini tempat duduk kita," ucap seorang wanita dengan perut sedikit membuncit. Kurasa dia tengah hamil. Mereka yang duduk tepat di hadapanku mau tidak mau membuat tatapan mataku terarah ke mereka berdua. "Hati-hati," ucap laki-laki yang kali ini berpenampilan cukup segar. Motif batik yang dikenakannya pun sangat serasi dengan warna brokat hijau mint yang digunakan oleh pasangannya. Tangan lelaki itu memegang punggung sang wanita. Mesra. Tak ada kecanggungan
“Om Satya!” pekik Bintang sambil berlari ke arah lelaki yang berdiri berjeda jarak kurang dari lima meter. Pegangan tanganku di pergelangan tangan Bintang terlepas. Aku mematung, entah apa yang harus kulakukan saat ini. Kupaksa bibir ini tersenyum. Kulihat Satya mencium puncak kepala anakku berkali-kali. Desiran aneh kurasakan menjalar di seluruh tubuhku. Bila ada tempat lain untuk bersembunyi, kurasa itu pilihan paling tepat untuk menenggelamkan diriku saat ini. Satya yang puas mengacak rambut Bintang lantas bergerak mendekatiku. Suasana agak canggung, tidak seperti biasanya. Aku mulai tak nyaman melihat senyumnya yang merekah. Lima bulan lebih tak bersua membuat hawa aneh menyelimuti pertemuan ini. “Kau baik-baik saja?” tanyanya padaku. Aroma parfum laki-laki itu masih sama.Hanya potongan rambut yang terlihat lebih rapi. Tak hanya itu, kantung mata Satya terlihat begitu jelas. Lingkaran hitam di matanya membuatku bertanya-tanya. Apakah dia baru saja melewati hal yang berat selam
Tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Aluna. Dia pernah mengancam Bu Pertiwi di depan mataku sendiri. Dia tak akan pernah diam setelah keputusan Giandra yang akan tetap menceraikan wanita itu. Inikah yang dimaksud Aluna? Apakah wanita itu benar-benar menjalankan misi balas dendamnya? Aku tergidik ngeri, belum lagi saat video yang dikirimkan Aluna yang menampilkan bagaimana laki-laki yang kuketahui sebagai dokter sekaligus pemimpin rumah sakit ternama itu bisa melakukan kekerasan pada wanita yang telah memberinya anak. Dadaku sesak membayangkan bagaimana perasaan Bu Pertiwi saat ini. Aku bukan tak punya hati. Meski aku sedikit puas dengan satu per satu hal buruk yang menimpa mereka, tetapi sebagai seorang perempuan aku paham sedikit banyak hancurnya wanita itu. Di usia senja, dia harus menanggung hal memalukan sekaligus menyakitkan seperti ini. Tak hanya itu, anak laki-laki satu-satunya yang diharapkan sebagai penerus keluarga pun harus mengakhiri pernikahannya. “Ehm.” Suara lak
“Silahkan duduk,” ucap laki-laki yang sepertinya sudah menungguku beberapa saat lamanya. Aku mengangguk seraya memohon maaf karena keterlambatanku kali ini. Jalanan yang kulalui mendadak macet parah karena kecelakaan yang truk container yang membuat laju kendaraan menjadi terhambat. Dia menyodorkan buku menu padaku. Aku menerimanya dan segera memesan nasi goreng thailand yang menjadi menu favorit di restoran ini. Untuk minuman, aku memesan lemon tea hangat yang sepertinya sangat cocok dengan cuaca dingin di luar sana. “Sepertinya selera kita sama,” ucapnya dengan wajah sedikit bersahabat, berbeda dengan pertemuan kami sebelumnya. Bahkan saat aku menghadiri undangan pernikahan cucunya, kami tak sempat saling menyapa. Pak Guntoro terlihat kurang sehat hingga harus duduk di atas kursi roda dengan didampingi asistennya yang setia. “Terima kasih sudah datang ke pernikahan Andira,” ucapnya lagi. Aku mengulas senyum sedikit. “Terima kasih juga telah membuat cucu saya yang lain bahagia,”
Wajahnya tertunduk. Isak tangis tertahan lelaki itu membuat punggungnya terlihat terguncang hebat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Harapanku satu-satunya adalah meminta bantuan pada laki-laki di ujung meja yang terus menatap keberadaan kami. Namun lagi-lagi aku tercengang manakala melihat asisten Pak Guntoro hanya mengangguk perlahan tanpa bergerak dari posisi duduknya. Posisi kami yang berjarak kurang lebih lima meter itu membuatku mampu melihat ekspresi wajahnya yang penuh keprihatinan. Sebagai asisten pribadi Pak Guntoro, kuyakin dia tahu persis apa yang membuat lelaki tua di hadapanku menyimpan duka sedalam ini. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan aku tetap diam di tempatku duduk dan mendengarkan apa yang Pak Guntoro katakan. “Berkali-kali Satya mengatakan, dia melihat dua orang lelaki berboncengan motor membawa senjata api mengejar mobil orangtuanya. Bahkan dia sempat mendengar bunyi letusan senjata api sebelum mobil orangtuanya terjun ke dalam jurang yang akhirnya membuat
Kudekati tubuh Satya yang mematung di tempatnya duduk. Kedua tangannya mengepal dan dijadikan tumpuan dagunya. Matanya menerawang, menatap ruangan di depan sana dengan wajah yang tak bisa dijelaskan. Bahkan kedatanganku di sisinya mungkin tak sampai dia sadari sebelum kusentuh perlahan pundaknya.Laki-laki itu terlonjak. Wajahnya sedikit mencair, tak setegang tadi, meski bibirnya berat mengurai senyum untukku.“Rindu? Bukannya ini sudah malam? Kau pulang saja,” ucapnya dengan nada perintah. Aku yakin dia dihubungi oleh asisten kakeknya hingga tahu laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit terbaik di kota ini.Aku menggeleng. Tak mungkin meninggalkan Satya seorang diri seperti ini. Apalagi tak mungkin menghubungi Andira yang kudengar sedang berbulan madu ke tanah seberang.“Bintang sudah kuberi tahu. Dia aman bersama Mbak Tini. Kau tenang saja,” jawabku berusaha menghilangkan kekhawatirannya. Aku mendesah, mengeluarkan beban berat yang terasa menghimpit dadaku. Di saat seperti ini pun Sat