Tatap mata dua orang yang saling merindukan itu bertemu. Aruna seolah tak percaya melihat ayahandanya lagi. Arya pun bahagia, setelah tiga tahun, orang yang menemukannya adalah putranya sendiri dan gurunya Legawa. Pria paruh baya itu sibuk memperhatikan sekitar, memindai risiko yang mungkin di hadapi di dunia ruh ini.“Apa yang terjadi denganmu, Ayahanda?” tanya Aruna dan segera mendekat.“Tunggu, Aruna! Kita tak tahu apa yang mungkin mengancam!” cegah Legawa. Pria itu masih saja mengedarkan pandangannya.“Paman Legawa, terima kasih sudah menjaga putraku. Mendekat lah, tak apa-apa, Lokawigna sudah mengenali kalian berdua,” ucap Arya begitu tenang.Arya berdiri dalam posisi kedua telapak tangan mengatup di depan wajahnya. Ujung tusuk konde emas terjepit di antara telapak tangan itu. Sedang separuh bilahnya terjebak antara dunia ruh dan dunia nyata. Itu sebab pangkal tusuk konde masih bisa dilihat dari luar.“Loka apa?” tanya Aruna.Belum sempat Aruna mendapatkan penjelasan dari ayahand
Aruna terus berusaha menahan benda di tangannya agar tak terlepas. Itu lah yang terlihat oleh Legawa dan Danapati, meski sebenarnya benda itu lah yang tak mau pergi dari tangan pemuda itu. Aruna bahkan sampai terus menahan dengan mengaitkan pergelangan kaki pada sebuah tanaman rambat di dinding jurang.“Apa kita harus membantunya, Paman?” tanya Danapati.“Andai kita mampu menyentuh pusaka itu, Danapati. Mari berharap Arya segera keluar dari dunia ruh dan membantu putranya,” jawab Legawa lirih. Meski khawatir, pria itu terus berusaha untuk tenang. Ia yakin Aruna mampu mengatasinya.“Arya? Dunia ruh? Apa yang kau bicarakan, Paman?” tanya Danapati tak mengerti.“Aku rasa sebentar lagi kau akan melihatnya,” ucap Legawa datar.“Melihatnya? Siapa?”Sebuah teriakan panjang dari Aruna mengiringi lesatan tusuk konde emas ke atas membawa serta tubuh sang Pangeran ke atas. Legawa dan Danapati hanya mampu menatap kepergian Aruna tanpa mampu melakukan satu hal pun.“Ayo kita ke permukaan!” ajak Le
“Tak apa, Aruna. Kayu sarayu pasti mampu mengatasinya,” ucap Arya begitu percaya diri. Lelaki itu mundur namun matanya terus memperhatikan toya yang bergetar semakin cepat.“Apa kayu sarayu sehebat itu?” tanya Aruna tak percaya. Pemuda itu berjalan mendekati ayahandanya. Meski kejadian yang memisahkan keluarga mereka bermula dari pertarungan mereka berdua, tetap saja Aruna tak bisa menyembunyikan rasa rindu.“Kau lihat lah sendiri,” ucap Arya datar.Lelaki itu melirik sekilas pada putranya. Ada rasa bangga dan bahagia yang tercermin dari seutas senyum di sudut bibirnya. Aruna sudah dewasa. Berguru pada Legawa, mewarisi ilmu pengobatan Ki Bayanaka, dan juga mampu menguasai kekuatan api.“Tunggu! Jadi, dia sudah bisa menguasainya?” tanya Arya dalam hati.Perlahan getaran pada toya yang tertancap tusuk konde emas mereda. Aruna tersenyum lebar. Usahanya tak sia-sia, bergelut dan bertukar energi dengan ayahandanya. Benda pusaka milik ibundanya itu kini dapat dijinakkan.“Apa yang kau lihat
Ilalang setinggi leher itu bergerak seirama tersapu angin. Mentari baru saja muncul dari pekatnya kabut di puncak gunung Payoda. Sinar temaram cukup untuk menerangi dua makam sahabat dekat di hadapan Arya. Demi menahan dingin lelaki itu menghamparkan kain yang digunakannya memeluk malam di pundak. Hal yang tak bisa ia lakukan tiga tahun ini.Kesedihannya sudah habis. Menguap bersama usahanya menahan laju tusuk konde emas milik Jenar agar tak menembus dahinya. Itu pun dengan bantuan sahabat dari dunia lain untuk menghimpit separuh tubuh pusaka perempuan Astagina itu. Rasanya amat mustahil seseorang dapat mengeluarkannya dari sana.“Maafkan aku, Ayahanda. Aku tak mampu memberimu ketenangan di akhir hidupmu,” lirih Arya memandangi pusara Sanggageni.Hembusan angin kembali meniup ilalang rimbun itu hingga menimbulkan suara serupa simfoni alam yang indah. Sebagian meniup rambut sebahu milik Arya. Tanpa ikat kepala, mahkotanya itu bergerak tak terkendali hingga menutup sebagian wajah.“Ki B
“Bagaimana pun Jenar harus dihentikan! Dia harus disadarkan bahwa kini dia sudah menyerupai Prabu Ranajaya dalam bentuk perempuan!” tandas Danapati. Lelaki itu baru saja menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi terkini Astagina kepada Arya, Legawa dan Aruna.Arya geram. Tampak sekali pada kedua tangan yang mengepal sejak tadi. Suami mana yang terima sang istri berlaku gila dengan banyak laki-laki. Apa lagi demi kekuasaan semu yang tak mampu membuktikan apa pun. Sebuah tindakan yang justru mencoreng dirinya sendiri dan Astagina tentunya.“Apa kau punya rencana, Danapati?” tanya Legawa. Sengaja ia tak bertanya pada Arya karena tak akan ada rencana baik dari seorang yang tengah dikuasai amarah dan putus asa.Danapati diam dan mengusap dagunya beberapa kali. Ia menatap Aruna yang sama sekali tak ingin namanya disebut dalam perbincangan itu. Mereka bertemu pandang dan segera mengelak satu sama lain.“Semua bergantung pada Pangeran Aruna,” ucap Danapati datar.“Aku? Mengapa aku?” elak Aru
Aruna memang dikawal dan digendeng sang ibunda hingga ke biliknya. Namun setelahnya Jenar segera pergi seolah kepulangan putranya serupa kepulangan anak yang lepas bermain. Jenar pergi dan menurut seorang pengawal tengah menemui Pangeran dari Prastawarna. Tak ada yang bisa dilakukan Aruna. Danapati dan Legawa tak diijinkan masuk ke istana.“Apa yang harus kita lakukan, Paman?” tanya Danapati beberapa langkah pergi dari gerbang istana.“Mencari penginapan, atau setidaknya sebuah kedai untuk beristirahat,” jawab Legawa datar.“Istirahat? Bukan kah kau tinggal berkedip dan seketika kembali ke Rakajiwa?” protes Danapati.Legawa menghentikan langkahnya dan berbalik menatap tajam Danapati yang nyaris menabrak pimpinan Padepokan Rakajiwa itu. “Diam dan ikuti aku! Jangan karena kau bekas Patih, kau merasa tahu segalanya tentang Astagina!”Seketika Danapati mengunci mulutnya. Lelaki itu hanya tak kuasa untuk menahan keinginannya mencari tahu. Aruna sudah masuk ke istana, sedang mereka berdua t
Legawa tersenyum sinis setelah menghentikan langkahnya. Ia sudah menyangka makhluk ini mengenal Ki Bayanaka. Mendiang ayah angkat Jenar itu satu-satunya orang yang menguasai Meraga Sukma di Astagina. Kemungkinan makhluk itu dan Ki Bayanaka sudah sering bertemu atau mungkin berkomunikasi.“Kau mengenal Ki Bayanaka, Manusia?” tanya makhluk itu sekali lagi.“Kalau iya kenapa? Apa kau akan mengijinkan aku masuk?” tanya Legawa merasa di atas angin.Pria itu berbalik dan segera terkejut. Makhluk itu telah berubah menjadi begitu mengerikan. Pakaian serba putihnya telah dipenuhi bercak darah. Matanya merah dan lidahnya menjulur terus meneteskan air liur. Ia memamerkan kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan tajam.“Aku mencarinya! Katakan padaku dimana dia?” gertak makhluk itu dengan suara parau yang berat.“Apa setelah aku katakan kau akan mengijinkan aku masuk?” tanya Legawa berusaha memulai negosiasi.Makhluk itu tampak diam sesaat. Tawaran dari manusia di hadapannya tampak cukup adil. I
“Apa yang sebenarnya terjadi, Guru?” tanya Aruna tak mengerti. Dalam wujud halusnya, mereka berdua dapat menyaksikan tubuh-tubuh mengenaskan diseret dan dilemparkan ke dalam pedati.“Ibundamu melakukan pembantaian, Aruna. Tapi kita harus tahu apa sebabnya!” ucap Legawa sama terkejutnya dengan Aruna.Jenar melangkah menuju sebuah sumber mata air yang dialirkan ke dalam ruangan itu. Ia basuh kedua tangan yang dipenuhi darah. Tak tampak sedikit pun rasa takut atau bersalah sudah membunuh Pangeran Wirabhumi dari Prastawarna beserta tujuh pengawalnya.“Ampun, Gusti, bagaimana dengan rencana penyerangannya?” tanya Senopati Jatiwungu di belakang Jenar.“Berapa orang yang sudah disiapkan dekat Prastawarna?” tanya Jenar tanpa menoleh.“Seribu lima ratus orang, Gusti. Terbagi menjadi tiga arah serangan masing-masing lima ratus orang,” terang Senopati Jatiwungu.“Apa kau yakin jumlah itu mampu mengungguli kekuatan Prastawarna?” tanya Jenar seraya berbalik. Ia sudah selesai membasuh tangan berlum