“Rencana yang bodoh, Danapati!” gumam Arya nyaris tertawa di tangah sakitnya.Danapati dan Pitaka begitu panik setelah kemana pun mereka pergi hanya menemui api dan dinding penghalang Pancawala. Mereka mulai kehabisan udara setelah Aruna berhenti menghembuskan api. Sedang untuk memberi tahu lima rekan mereka sepertinya percuma.“Apa yang harus kita lakukan, Gusti Patih?” tanya Pitaka. Perempuan itu bertumpu pada lututnya demi mendapatkan udara lebih baik dibanding asap.“Dan siapa yang harus aku tanyai, hah?” hardik Danapati. “Minta mereka untuk menghentikan Pancawala!”“Tapi....”“Kau ingin mati terpanggang di sini? Beruntung ini bukan api Cundhamani!” hardik Danapati lagi. Tidak ada pilihan baginya selain membuka dinding penghalang Pancawala, atau dia akan binasa.Pitaka segera berlari ke salah satu sudut dinding yang di luarnya terdapat seorang pengawal raja. Pria itu memejamkan mata dan berkonsentrasi menjaga dinding Pancawala tetap kuat berdiri. Pitaka segera menghantam dinding t
Arya duduk bersandar pada pembaringan mewah istana raja Dipa Kencana. Istrinya, Rara Anjani setia menemani. Aruna yang masih menyembunyikan jati diri masih mengobati luka di pinggang ayahandanya. Sementara Rara Sati yang baru tiba menyusul ibundanya tampak sedih sekaligus bahagia ayahandanya kembali.“Jenar benar-benar sudah gila!” rutuk Rara Anjani. “Ia benar-benar menginginkan kematianmu, Suamiku!”Arya tak menjawab. Ia masih meringis menahan sakit meski lukanya sudah jauh lebih baik. Sejak memutuskan untuk beristri dua, Arya selalu menahan diri untuk tak menimpali tiap ucapan istrinya terkait istri lainnya. Hal yang berdampak baik setidaknya sampai enam belas tahun berlalu.“Bagaimana dia bisa tahu keberadaanmu?” tanya Rara Anjani masih dengan amarah yang tinggi.“Aku tak tahu, Rara. Beruntung aku bertemu Garjita, ilmu pengobatannya mungkin setara dengan mendiang Ki Bayanaka,” kilah Arya menyebut putranya sebagai Garjita.“Ki Bayanaka sudah wafat? Benar kah itu?” Rara Anjani begitu
“Aruna?”“Ayunda....” Aruna tampak kebingungan. Ia berusaha untuk menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Namun percuma ia sudah memanggil Rara Sati dengan panggilan yang hanya ia seorang melakukannya.“Tak usah kau sembunyikan wajahmu!” tepis Rara Sati. Ia menampik tangan Aruna agar tak menutupi wajahnya sendiri.Aruna mematung menyaksikan ayundanya mulai menangis. Pemuda itu ragu, ingin ia merangkul pundak yang bergerak beriring isaknya. Rara Sati membuang pandangannya ke kanan. Maka tampak lah bekas luka di pipi kiri gadis yang lebih tua beberapa bulan darinya itu. Buah dari amukan Aruna tiga tahun lalu.“Ayunda....” Kedua mata Aruna sudah penuh dengan air mata. Seberapa kuat pun di tahan, Aruna tetap lah pemuda 19 tahun yang begitu perasa. Tiga tahun bukan lah waktu yang cukup untuk merubah semua tabiat seorang pangeran.“Kau bodoh, Aruna!” lirih Rara Sati.“Bodoh?”“Mengapa kau menyamar menjadi Garjita dan membiarkan dirimu diperlakukan sebagai tamu? Bahkan kau menyebut ayahanda
“Kau sudah lebih dahulu tau ya, Sati?” ucap Arya seraya tersenyum menyelisihi istrinya yang tampak terkejut. Ia bergerak menghampiri dua anaknya yang berdiri dengan gamang. Dirangkul keduanya. Arya di kanan dan Rara Sati di kiri.“Jadi kau dan dia sengaja menyembunyikan jati dirinya?” tanya Rara Anjani pada suaminya.“Ya, semata-mata karena Aruna masih menyimpan begitu banyak rasa bersalah atas kematian ayahanda Kertajaya. Sedang kami tak punya pilihan selain datang ke sini. Ke tempat kami dianggap sebagai keluarga,” terang Arya sama sekali tak mengendurkan rengkuhan tangannya.“Dan kau pun sudah mengetahuinya, Sati?” tanya Rara Anjani. Wajahnya benar-benar dipenuhi emosi yang akan segera meluap.“Aku mengikutinya tadi. Suara dan posturnya benar-benar menyerupai Aruna. Adikku yang sudah tiga tahun menghilang,” jawab Rara Sati dengan senyum mengembang.“Ibunda ... Maaf,” lirih Aruna.“Diam kau!” hardik Rara Anjani. Seketika Arya, Rara Sati dan Aruna menegang. Hal ini lah yang amat dita
“Cih! Berani sekali kau menantangku!” seru prajurit bertubuh besar sambil berkacak pinggang. Memperlihatkan otot-otot di lengannya yang juga besar. “Siapa yang menantangmu, Orang besar?” Perdana melakukan kuda-kudanya. “Aku menantang kalian semua!” Kelima belas prajurit itu awalnya merasa ragu. Bagaimana pun yang mereka datangi adalah sebuah padepokan. Meski rombongan prajurit lain akan segera menyusul, tetap saja mereka pasti akan kewalahan jika semua orang di tempat itu menyerang mereka. Keraguan mereka justru membuat insting berlaku. Mereka mencabut pedangnya masing-masing, pertanda kesiapan untuk bertarung. “Tak usah meragu. Yang akan kalian hadapi hanya aku. Mereka tak akan ikut!” seru Perdana seolah mengerti keraguan calon lawannya. Pemuda itu mencungkil sebuah toya yang tergeletak di tanah dengan kaki. Lalu menangkap dan menjadikannya sebagai senjata. Para prajurit itu saling pandang. Lima belas melawan satu, tentu tak seimbang. Lima belas pedang melawan satu toya, kemenanga
Pria besar itu tampak gusar. Seekor kuda sudah berdiri dengan gagah dan siap ditunggangi. Sepertinya kuda itu memang disembuhkan agar dapat ia gunakan untuk pergi. Empat belas rekannya masih bergelimpangan mengaduh memegangi anggota tubuhnya yang sakit. Pria itu merasa tak tega meninggalkan mereka.“Kau akan pergi atau hanya berdiri di situ?” sindir Perdana. “Oh, aku tahu!” Perdana mengatupkan tangannya dan seolah merapalkan sesuatu.“Baik! Aku akan pergi!” seru pria besar itu dan segera melompat ke punggung kuda. Sekali sentak dan kuda hitam itu segera melesat diiringi tawa murid-murid Padepokan Rakajiwa.Perdana tersenyum menyaksikan pria besar itu meninggalkan padepokan dan meninggalkan rekan-rekannya yang masih kesakitan. Namun ia juga menyimpan kekhawatiran. Sebentar lagi pasti ada pasukan dalam jumlah lebih besar akan segera datang.“Perdana! Apa yang terjadi?” seru Legawa yang baru saja datang dari rumahnya. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri Perdana dan menyaksikan empat be
Tanah Rakajiwa bergetar. Dari getaran yang besar, kemungkinan pasukan berkuda Astagina yang datang berjumlah ratusan. Para pemanah tampak sudah menggenggam busur dan memasangkan anak panahnya. Keringat bercucuran di wajah mereka meski tak ada yang dilakukan selain menunggu. Usia mereka rata-rata dua puluh tahun dengan pengalaman bertarung yang minim.Debu mulai berterbangan buah dari tanah yang dipijaki ratusan pasang kaki kuda. Panji-panji Astagina berkibar di ujung-ujung tombak yang dibawa prajurit terdepan. Dalam jarak 200 depa itu pasukan Astagina melambatkan lajunya. Kini mereka seperti pemburu yang mendekati mangsanya dengan perlahan.“Minta para pemanah untuk bersiap!” titah Legawa seraya berjalan keluar pagar padepokan. Seorang pria segera berlari untuk menyampaikan titah itu pada para pemanah di balik pagar bambu itu.Legawa berjalan cepat dan segera disongsong oleh seorang berkuda. Mereka bertemu tepat di tengah-tengah antara pagar padepokan dan ratusan pasukan berkuda itu b
Teriakan seorang pria paruh baya tanpa perisai itu segera disambut oleh teriakan rekan-rekan lainnya. Mereka hanya sepuluh orang, namun menyongsong 150 prajurit Astagina yang masih sehat. Mereka tak berpelindung. Bahkan tak mengenakan alas kaki. Tak ada rasa takut di mata mereka, meski puluhan anak panah tengah terhunus di hadapan.“Guru, ayo lakukan lagi!” pinta Perdana setelah menyaksikan sepuluh pria yang biasa ia panggil paman itu berlari sambil menggenggam pedang ke arah pasukan berkuda itu.“Tidak, Perdana. Kau hanya harus melihat dan percaya mereka akan kembali dan berkumpul dengan kita lagi. Lagi pula tenagaku banyak terkuras tadi. Kerjamu bagus, sudah seratus lebih yang terkena Mandaraji-mu,” ucap Legawa begitu percaya.“Tapi, Guru, mereka tanpa perlindungan!” kilah Perdana. Pemuda itu menggenggam kuat toyanya. Ia masih tak mengerti mengapa gurunya itu membiarkan para pria paruh baya menyerang dan mengorbankan dirinya.“Diam dan saksikan!” tampik Legawa.Perdana segera diam d