Jakarta, 17 April 2018 Usai meeting dengan semua anggota timnya, Bram bersiap pulang. Beberapa pekerjaan sudah dia delegasikan pada Gilang, Ranggi, dan Alena. Rasanya ingin segera sampai di apartemen. "Jadi, Mbak Andra beneran resign, ya, Pak?" Tiba-tiba Niken muncul di depan pintu ruangannya. Gadis itu bersandar di dinding kaca memasang ekspresi sedih. Bram yang sedang memasukkan laptopnya ke dalam tas menyahut singkat. "Iya, Ken." "Pak Bram besok jadi cuti?" tanya Niken lagi. "Saya sudah memberitahukan di ruang meeting tadi." Bram menjawab enggan. Buat apa sebuah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya diajukan berkali-kali? "Memang ada masalah apa, Pak?" "Tidak ada masalah apa-apa." Gadis itu menunggu Bram selesai melakukan apa yang dilakukannya. Kemudian, dengan ragu-ragu gadis itu bertanya lagi, "Apa Pak Bram dan Mbak Andra mau menikah?" "Doakan saja, ya." Senyum Bram merekah kali ini. "Dalam waktu dekat ini?" Niken terbelalak. "Saya maunya begitu." Jawaban dari Bram me
Jakarta, 17 April 2018 Kedua mata Amara berbinar melihat isi sebuah paper bag kecil yang Bram berikan. "Terima kasih, Mas," ucapnya semringah. "Tidak apa-apa, Sayang. Itu pengganti handphone-mu yang kemarin. Kamu bisa menelpon mamamu sekarang," balas Bram sambil mengusap kepala Amara. Sementara Amara sibuk membuka handphone barunya di sofa, Bram berjalan ke lemari pakaian. Diambilnya pakaian lalu melangkah ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Bram mendekati meja makan. Lelaki itu menyunggingkan senyum. "Semua ini kamu yang masak?" Amara mengangkat wajahnya. "Iya. Tapi seadanya saja. Hanya itu yang aku temukan di kulkas." "Hmmm. Mas jadi lapar," seloroh Bram. "Kalau begitu, ayo, kita makan dulu. Aku juga lapar," balas Amara. Gadis itu beranjak dari sofa ke lemari dapur mengambil peralatan makan dan minum. "Besok, pergilah ke supermarket di bawah itu kalau kamu mau memasak lagi," ujar Bram. Lelaki itu sudah duduk di depan meja makan."Baiklah," balas Am
Jakarta, 18 April 2018 Sensasi geli di hidungnya membuat Amara mengerjap. Samar netranya menangkap sebuah telapak kecil di depan wajahnya. “Bona?” gumam Amara sambil melebarkan kedua matanya. Makhluk gembul berbulu abu-abu itu sedang berdiri di depan wajahnya. Dia terus menyentuhkan telapaknya ke hidung dan pipi Amara. Mata bulatnya memandang penuh keingintahuan. Sementara kepalanya dimiringkan. Amara bergelung ke arah sebaliknya. Didapatinya Bram sedang mengaitkan kancing lengan kemejanya. Lelaki itu berdiri di depan cermin dengan rambut yang sudah tersisir rapi. Tubuhnya yang atletis dibungkus kemeja pas badan warna putih dan celana panjang abu-abu. “Kenapa Mas nggak bangunin aku?” Amara terperangah sambil menegakkan tubuh. Aroma parfum Bram memenuhi indera penciumannya. Wangi yang selalu melekat di ingatan gadis itu. “Tidurmu nyenyak sekali. Lagipula ini masih pagi,” sahut Bram santai. "Tapi perban di tangan Mas harus diganti dulu. Tangan Mas juga harus diobati lagi," balas
Yogyakarta, 18 April 2018 Utari baru saja kembali dari makan siang dan hendak meletakkan bokongnya di kursi. Sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk," tutur Utari. Diraihnya gelas air mineralnya untuk meredakan haus usai sedikit berjalan kaki tadi. "Permisi, Bu," sapa seorang perempuan muda dari balik pintu. Dia melangkah mendekat sambil membawa sebuah bingkisan bersampul biru muda. "Apa ini?" tanya Utari sambil menerimanya. "Kiriman dari Jakarta, Bu," jawab pegawainya tadi seraya berpamitan "Mari." "Terima kasih," ucap Utari. Matanya mulai memindai setiap sisi benda di hadapannya. Mencari-cari keterangan mengenai si pengirim. Rahayu? Perempuan itu mencoba mengingat-ingat siapa gerangan si empunya nama. Utari mendengkus kasar setelah mendapat jawabannya. "Mau apa lagi mereka itu?" Mulutnya menggerundel tetapi tangan Utari dengan cekatan membongkar kemasan paket di mejanya. Perempuan itu membelalak takjub. Diangkatnya selembar kebaya brokat berwarna keemasan berpot
Singapura, 18 April 2018 Bram bersama Arya dan Satria serta dua orang rekanan ayah mereka, yang merupakan ahli di bidang masing-masing, sudah berada di sebuah ruang meeting. Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh waktu setempat. Sebelumnya, mereka berlima menyempatkan diri untuk sarapan sekaligus briefing di sebuah tempat makan tak jauh dari gedung yang mereka kunjungi. Ruang meeting yang mereka singgahi adalah milik sebuah perusahaan consumer goods asal Indonesia yang sudah mendunia. Letaknya di lantai dua puluh sebuah gedung di kawasan Raffles Place. Dinding terluarnya terbuat dari kaca sehingga mereka bisa melihat pemandangan kota di siang hari yang terik. Kantor pusat perusahaan itu berada di Jakarta. Singapura adalah cabang mereka yang terbesar di kawasan Asia. Sang pemilik perusahaan dan tiga orang kepercayaannya datang menemui mereka setengah jam kemudian. Pemilik perusahaan itu merupakan salah seorang kawan lama Baswara. Kebetulan, beberapa minggu ini lelaki tua itu sedang m
Jakarta, 18 April 2018 Amara berdiri bertopang dagu di pagar pembatas balkon. Memandangi matahari yang pelan tertelan cakrawala jingga kekuningan yang membentang. Angin sore mengelus kulit yang halus dan membelai rambutnya yang bergelombang. Di sisi gadis itu, Bona duduk dengan tenang di atas pagar pembatas balkonTanpa terasa waktu bergulir. Amara sampai lupa sudah menghabiskan waktu tanpa si pemilik apartemen hampir seharian. Tidak ada kabar yang Amara dapatkan lagi semenjak Bram memberi tahu sudah mendarat di Singapura. Amara tidak ingin mengganggu kesibukan lelaki itu. Dia pun memilih menyibukkan diri. Usai sarapan, Amara pergi berbelanja. Setelahnya, gadis itu menyempatkan diri mengolah sebagian bahan makanan yang dibelinya. Sehabis makan siang hingga menjelang senja, dia mulai berkutat dengan sebuah proyek yang sedang dikerjakannya.Diketiknya semua yang bergelimang di sel-sel otak. Meskipun Bram menyita beberapa sumber referensi yang berhasil dikumpulkannya, gadis itu masih i
Singapura, 18 April 2018 Malam itu suasana restoran yang disinggahi Bram tidak terlalu ramai. Banyak meja yang kosong. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu gantung menerangi seluruh ruangan bernuansa coklat muda. Lantunan tembang-tembang lawas disajikan oleh sekelompok musisi yang menguasai salah satu sudut. Seorang perempuan menunjukkan wajah semringah di hadapan Bram. Memamerkan deretan gigi putihnya. Jika pada hari-hari biasanya dia memakai make up lengkap, malam ini dia terlihat lebih natural. Penampilannya juga lebih casual. Meskipun terlihat berbeda, dia tetap saja cantik. Rekan-rekan satu mejanya menatap Bram dan perempuan itu bergantian. "Sebentar," pamitnya pada mereka. Bram beringsut dari duduknya. Dia menggiring perempuan itu ke area bar. Dalam hati, lelaki itu berharap agar tidak bertemu orang lain lagi yang dikenalnya di tempat ini. Mereka mendudukkan diri di kursi tinggi. Saling berhadapan dengan sebelah lengan bertopang di meja. "Sedang apa di sini?" tanya B
Jakarta, 18 April 2018 Satu jam setelah mendarat di Soekarno-Hatta, Bram memacu mobilnya dengan kecepatan yang membuat pengguna jalan lain memaki ke arahnya. Diterjangnya rinai gerimis yang menjatuhi jalanan ibukota. Menuju ke sebuah kawasan elit di Jakarta Selatan. "Sayang, kamu belum tidur?" tanya Bram begitu Amara menjawab panggilan teleponnya. Sementara satu tangan memegang kemudi, tangannya yang lain menempelkan ponsel ke telinga. "Aku nggak bisa tidur," sambut Amara dengan suara mengantuknya yang membuat Bram menggeram. Darah lelaki itu tersirap. "Kenapa Mas lama sekali?""Kenapa? Sudah kangen? Mas hanya pergi sehari saja kamu sudah kehilangan," goda Bram seraya menyeringai. "Kamu baik-baik saja, kan?" Tawa samar Amara terdengar sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja. Mas nggak perlu khawatir. Aku aman di sini." "Syukurlah. Mas menuju ke sana. Mau menunggu?" "Iya. Hati-hati. Nggak perlu jadi pembalap liar." Bram tersenyum mendengar istilah yang diungkapkan oleh Amara. Tidak