Aku mulai memejamkan mata. Merasa embusan hawa dingin menyembur dari pendingin. Merasakan aroma jeruk dan mint yang terasa maskulin. Ada campuran cendana dan kulit berkualitas tinggi.Aku seperti terseret ke malam itu. Saat baru melihat Biru, tepatnya pada kemasannya sebagai CEO JMTV.Ia di sana, duduk dan segera berdiri ketika aku jatuh terjerembab di depan pintu kantornya yang mewah. Ia membantuku berdiri. Lelaki itu, dengan matanya yang tajam, pakaian yang berkelas masih mau melihatku. Mengadakan interview kecil yang sedikit kacau.Dia menoleh, seperti merasakan kalau pikiranku sedang mengghibahinya. Mobil memasuki sebuah restoran yang taman-tamannya terasa hijau dan segar."Kita sarapan dulu," katanya sembari memarkir kendaraannya di salah satu sudut. Ia turun dan membukakan pintu mobil. Aku meringis, sembari mengucapkan terima kasih. Ia tak ambil peduli.Ia mengambil tasku. Lalu mendekapnya seperti membawa jaketnya sendiri. Jemarinya yang kukuh dan besar menangkup tas itu. Entah
"Pagi yang indah kan, Jani?"Apa dia sedang berkata-kata manis? Seorang Biru yang galak dan menyeramkan? Aku tentu saja menanggapi dengan senyum dan perkataan yang baik, sudah ditraktir, dan diberi kesempatan di sini."Tentu, Pak," aku berhenti sebentar, menimang-nimang, apa aku bisa berteman dengannya, orang yang terasa musuh bebuyutan ini? "Terima kasih ya Pak.""Buat apa?""Ya, kan sudah mentraktir saya makan. Untuk kedua kalinya.""Ah, lupakan."Lalu hening. Seperti ada gerakan listrik yang merambat di udara. Atau ini hanya perasaanku saja? Seolah semua yang ada di sini sedang bergerak melambat layaknya lilin yang mencair."Aku tidak tahu kalau kalian di sini. Sungguh kebetulan sekali kan?"Oh. Benar sekali. Rumus kebetulan yang luar biasa."Wow, Argo. Aku tidak tahu kau sering ke sini.""Apa Jani tak bercerita padamu?""Buat apa?" Biru mengedikkan bahunya. Ia menyesap teh, mengusap mulutnya dengan tisu, dan merapikan jasnya."Go, kamu sarapan di sini?" kataku, seperti terbangun d
"Mama! Ada orang berkelahi betulan, Ma," teriak seorang anak kecil kegirangan. Dikiranya ini pertunjukan mungkin."Seru!""Hah? Apa?""Lihat, cepat-cepat dong.""Wah, asyik nih bisa dibuat konten.""Ada yang lagi berantem. Betulan berantem lho!" teriak seorang anak remaja. Sembari menangkup kedua pipi gembulnya dengan dua telapak tangan. Mirip sekali gaya Macaulay Culkin dalam film Home Alone yang termasyhur di masanya.Hih. Di mana sih petugas keamana restoran ini?Dugh!Dugh!Brak!Hais. Nggak keren banget sih, ini dua orang. Berantemnya nggak brutal dan macho seperti Iko Uwais di The Raid. Jauh banget. Ini malah seperti jambak-jambakan. Ya, tapi sesekali diiringi adu jotos, biar ada kesan manly-nya.Aku meringis, saat dua tinju Biru menghantam rahang Argo. Argo terhuyung-huyung seolah ada ribuan bintang kuning kecil-kecil di kepalanya. Berputar-putar begitu mungkin.Biru mengibaskan tangannya, "Nyerah, lu?" katanya dalam bahasa yang kutahu jarang sekali digunakan. Bahasa yang sedik
Keesokan pagi, aku sangat sulit bangun dari tempat tidur. Kepalaku diserang rasa sakit luar biasanya, mirip sekali vertigo. Semoga saja bukan. Hanya pusing sebelah. Pandangan mataku berkunang-kunang.Aku menelepon Bos Tisu, mengabarkan jika aku akan terlambat. Di luar dugaan Bosi Tisu mengiyakan, dengan penuh kasih sayang. "Istirahatlah, yang baik An. Aku tahu kamu butuh waktu untuk sendiri."Lha, dikiranya apa aku sedang patah hati?Ulah orang-orang di divisi Aneh Tapi Langka memang di luar nalar sehat. Seperti tanggapan Bos Tisu tadi. Berbeda dengan Bang Napi, yang kemarin sepanjang perjalanan menjahiliku dengan video viral di taman resto.Secepat itu bisa viral di medsos, apa mereka tahu kalau orang yang sedang mengomeli dua laki-laki yang berkelahi itu aku. Aku melihat video itu hanya memperlihatkan stiletto merahku saja. Bersama suaraku yang khas.Sialan, kalau jeli para pendengar di radioku dulu bisa saja mengenali kalau perempuan misterius itu aku.Judul video berdurasi dua men
Aku menyambar jilbab kaos dari balik pintu, segera membuka dan menemukan senyum sang kurir dalam kesan terpaksa."Mbak Anjadi?""Anjani.""Eh, iya maksud saya Anjani.""Ada apa?""Ini ada kiriman, tolong ditanda tangani di sini."Setelah basa basi protokoler penerimaan paket, aku menutup pintu. Mimpi apa aku semalam, ada yang mengirimkan buket besar bunga mawar seperti ini? Ini betul-betul mawar merah kan? Bukan bunga pemakaman?Maaf, sudah membuat sarapanmu berantakan.Hanya itu. Tidak ada nama pengirim apapun di sana. Aku kembali berpikir, apakah ini kiriman Argo? Jelas sekali Biru tak mungkin mengirimkan bunga-bunga ini. Lagi pula, ia tak pernah tahu di mana aku tinggal. Satu-satunya yang tahu alamat kosku ada Argo.Kenapa harus Argo sih?Tapi, ketika memandang bunga-bunga cantik ini mood-ku langsung meninggi. Tiba-tiba aku merasa begitu dihargai. Setidaknya, tidak dianggap tidak penting lagi. Aku suka bunga-bunga mawari ini.Ini terasa romantis. Bentuk permintaan maaf yang terasa
Aku menggantungkan blazer dan langsung menuju ruang MUA. Di sana, sudah berjajar beberapa presenter, artis, dan narasumber untuk program komedi dan talk show di divisi sebelah. Ruang penuh oleh orang-orang yang lalu lalang. Suara-suara MUA yang melengking dan kemayu. Aku berdiri kaku menatap semua keriuahan yang aneh ini. Kenapa aku harus ke sini sih? Biasanya, aku cukup hanya berdandan tipis ala-ala make up flawless yang tidak tebal atau norak. Sesekali, berdandan saat liputan kadang tidak tepat, misalnya saat di peternakan sapi aku sama sekali tidak berdandan, kecuali hanya untuk menghilangkan minyak di wajah. Aku tahu sapi tidak akan bisa menyaingi kecantikanku, camkan itu pemirsa! Aku terkikik geli, ketika membayangkan liputan di peternakan sapi yang riuh dan begitu ramai. Tiba-tiba seseorang mencolek pinggangku, aku tahu kalau itu Mbak Tina. Sekretaris divisi yang luwes dan terasa jauh lebih dewasa ketimbang anggota lainnya yang begitu aneh, seperti diriku ini. "Mbak juga mau
Aku berjalan perlahan dengan stiletto merah, menurut timku sebaiknya aku memakai heels karena narasumber kali ini adalah orang yang begitu penting, dan memiliki postur tinggi.Leherku akan sakit jika nekad mengenakan sepatu tanpa hak. Jadi, inilah aku dalam pakaian presenter talk show resmi, jauh sekali seperti hari-hariku bersama Bang Napi.Aku mengenakan rok span panjang dan licin dari bahan jersey dan wool, atas blus sutera dan blazer dengan bahan lembut layaknya beludru, serta hijab voal bercorak lembut dan samar.Aku tadi, nyaris protes kenapa harus memakai pakaian seperti ini. Mbak Tina, berkata nanti aku akan mendatangi narasumber di sebuah tempat peristirahatan yang sangat dingin.Tempatnya, tidak jauh. Mungkin satu jam lebih berkendara dalam minivan. Tempat itu adalah Tretes, laiknya tempat wisata di dataran tinggi yang dekat di sekitar Surabaya. Kalau berkendara ke Malang, atau Batu malah lebih jauh lagi. Aku bersyukur hanya sampai di Tretes saja."Apa kau bisa mempertahanka
Mataku menyipit menatap rumah sebesar ini. Pasti pemiliknya bukan orang sembarangan, aku menatap dari balik kaca gelap van yang sudah ditutup kembali oleh Bang Napi. Ia seperti menyiapkan diri sebaik mungkin.Aku mengernyitkan dahi, kembali berpikir. Apa rumah ini peninggalan masa-masa di era colonial?Arsitekturnya menunjukkan hal tersebut. Deretan tiang dengan lapisan marmer di sekeliling rumah. Halaman yang luas, penuh dengan taman-taman hijau yang terawat. Jalan pribadi dengan tatakan batu kali yang rapat dan tampak terawat. Hutan-hutan buatan sebelum mencapai villa.Mobil van kami berhenti di depan rumah kuno namun menawan tersebut. Serta merta, aku turun dengan hati berdebar. Di sampingku, Bang Napi cengar cengir, dan tersenyum lega. Dia agak gugup, tapi bisa mengatasinya dengan baik.Seseorang—mungkin kepala pelyan tempat ini keluar dari dalam rumah. Aku takjub masih ada orang atau mungkin keluarga yang mempekerjakan abdi dalem di dunia yang begitu modern. Eh, apa dia ini abdi